Kamis, 08 Juli 2010

41. PILSUNG, PEMERDEKAAN KULTURAL MINAHASA

Willy H. Rawung
MANADO POST 24 Juli 2002


Apakah DPR Minahasa ingin menjadi pelopor sekaligus menancapkan praktik yang luhur dalam kultur politik dan peradaban demokrasi di Indonesia? Ataukah mereka membentengi diri dengan UU No 22/1999 dan PP 151/2000 sebagai 'tameng' mempertahankan kenikmatan menjadi ang-gota DPR? (Suhendro Boroma, Manado Post 12 Juli 2002).

HAMPIR lima tahun lalu, ketika menanggapi rangkaian artikel saya dalam harian ini yang memrotes tekanan dari pembina politik daerah kepada DPRD Minahasa supaya menggusur K.L. Senduk dan A.J. Sondakh bagi melicinkan jalan Dolfie Tanor menjadi Kepala Daerah, Suhendro Boroma menulis artikel pendek yang “menghibur” saya. Intinya, selama Kepala Daerah tidak dipilih langsung (pilsung) oleh rakyat, maka jangan harap demokrasi dalam arti sesungguhnya dapat terwujud. Ia menunjuk sistem perwakilan sebagai penyebab akar ketidak-puasan masyarakat. Seandainya, ya seandainya saja, rakyat dapat memilih langsung, maka tekanan penguasa, tekanan tentara atau uang sogokan sekalipun, akan sulit menyetel hasil pemilihan.

September 1999, ketika artikel-artikel saya menggunakan realitas politik untuk “meramal” AJ Sondakh dan Freddy Sualang memenangi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan mengalahkan E.E. Man-gindaan, ia kembali menulis catatan kecil di harian ini. Mengingatkan saya bahwa realitas politik tidaklah ideal dan memadai ketimbang pilsung oleh rakyat sendiri.

Seingat saya, dua tulisan pilsung Suhendro Boroma ketika itu ibarat konduktor orkestra yang menyajikan lagu klasik di tengah komunitas penggemar musik dangdut. Tak ada apresiasi, tak ada tanggapan, tak ada wacana, lewat begitu saja, seolah substansi tulisan itu adalah utopia, mimpi indah yang hanya terjadi di negeri antah berantah.

Waktu berlalu dan tiba saatnya penggantian Kepala Daerah Dolfie Tanor. Orkestra yang sama - pilsung - kembali ia sajikan. Namun kini komunitas pendengarnya - masyarakat Minahasa - sudah berubah. Gayung mulai bersambut. Apresiasi berdatangan. Wacana mulai berlangsung. Dari
www.mdopost.net (MPOnline), saya membaca berbagai dukungan yang meluas, antara lain dari Johnny R. Lumolos (UNSRAT), Dave Kusoy ( Wawalintoan, Tondano), Christian Roboth (Tataaran II), Andrie Umboh dan kolumnis Pitres Sombowadile. Apresiasi, yang saya percaya mewakili sebagian besar akal sehat rakyat Minahasa yang diam tapi setuju (the silent majority).

Tak heran menyambut ramainya aprersiasi yang kian menggebu, Suhendro Boroma – sang konduktor orkestra pilsung itu - kembali menulis catatan, yang kali ini lebih menukik,
“Minahasa, Pilot Project Pilsung Kepala Daerah” (MP 18/7/02). Namun berbeda dengan artikel senada pada dua dan lima tahun lalu, ia kini mengedepankan realitas sosio-kultural Minahasa yang dikatakan “sudah berurat-berakar dan berlangsung ratusan tahun sebagai salah satu pilar utama”.

Sebagai orang Minahasa diasphora (perantau), saya haru dengan pujiannya yang begitu menghargai tinggi kultur demokrasi Minahasa. Karena saya sendiri – dalam beberapa artikel di harian ini – sering mulai meragukan kesadaran berdemokrasi masyarakat di tanah Toar Lumimuut itu, yang dalam banyak kasus, sudah jauh di belakang kesadaran berdemokrasi para leluhur.

Pasalnya, proses dekulturasi yang dilakukan rezim Orde Baru secara sistematis selama 32 tahun telah nyaris memusnahkan kultur Minahasa (antara lain ketentuan-ketentuan adat yang demokratis dan egaliter). Soeharto atas nama 'stabilitas dan pembangunan' melalui instrumen birokrasi pemerintahan yang dikawal tentara telah berhasil menyuapi kita dengan tatanan feodalisme monarki Jawa dalam bingkai formalisme demokrasi (demokrasi palsu) yang berpusat pada kekuasaan satu orang.
Masyarakat dijejali simbol-simbol monarki yang kadang kala tidak lebih dari tahayul, seperti sakralisasi tanggal 11 Maret. 'Hukum Tua' diganti 'Lurah', kota diganti 'kotamadya', 'bapak' dan 'ibu" menjadi sebutan berkonotasi ‘tuan’ dan ‘nyonya’ para petinggi terhormat, sementara di Jawa panggilan tersebut lazim saja untuk pak sopir mikrolet, pak tukang ojeg atau mbok jamu.
Di depan pejabat berjalan terbungkuk-bungkuk dengan dua tangan di pangkal paha, atau berdiri tegak menghormat layaknya tentara. Istilah Kepala 'Jaga' diganti Kepala 'Dusun', hiasan 'janur kuning' dimana-mana, dan seterusnya.
Lalu demi stabilitas dan pembangunan juga, yang layak menjadi Kepala Daerah atau gubernur haruslah tentara yang telah lama bermukim di Jawa, karena konon “situasi dan kondisi Minahasa dan Sulut cukup rawan” (baca : wilayah bekas PERMESTA).
Justifikasi-justifikasi itu terus dicekoki kepada rakyat agar presiden totaliter, gubernur, Kepala Daerah, camat dan jajaran birokrasi totaliter, resisten terhadap kedaulatan rakyat. Sementara muara dari proses Jawanisasi atau feodalisasi itu tidak lain adalah KKN(korupsi-kolusi-nepotisme) yang sampai kini masih menyengsarakan rakyat.

Jawanisasi atau feodalisasi (baca : pemusnahan kultur Minahasa), sadar tak sadar masih terus dikembangkan oleh para elit politik dan birokrasi. Ia telah menjadi bagaikan penyakit kanker yang sulit diobati, karena memang cocok untuk mengawal kekuasaan. Tak heran “ekor” dari justifikasi model Orde Baru masih saja menghiasi halaman-halaman harian ini, dalam bentuk pernyataan penolakan pilsung dengan alasan “dapat memicu konflik” (bahasa Orde Baru: “mengganggu stabilitas dan pembangu-nan”), “belum waktunya”, bahkan menuding kesadaran politik masyakat sebagai “masih rendah”. Atau, pilsung adalah ekstra yudisial, padahal seperti tulis Bung Suhendro, mereka “membentengi diri dengan UU No 22/1999 dan PP 151/2000 sebagai 'tameng' mempertahankan kenikmatan menjadi anggota DPR”.

“Ekor” yang lain terlihat pula pada kegemaran berwacana mengidentifikasi keunggulan-keunggulan sosial-politik-ekonomi, genealogi Minahasa dalam ber-NKRI, berotonomi daerah, bernegara federasi, bahkan ber-"Minahasa Raya Merdeka", yang semuanya tidak lebih dari reaksi frustatif dan berlebihan terhadap sisa-sisa “roh” sentralisasi kekuasaan yang diwariskan rezim Orde Baru. Sementara wacana fundamental yang menyangkut kemajuan peradaban dan pemulihan harkat martabat rakyat Minahasa, seperti pilsung Kepala Daerah, justru tidak digubris.

Maka menjawab pertanyaan Suhendro Boroma dan
the silent majority rakyat Minahasa: Apakah DPR Minahasa ingin menjadi pelopor sekaligus menancapkan praktik yang luhur dalam kultur politik dan peradaban demokrasi di Indonesia? Ataukah mereka membentengi diri dengan UU No 22/1999 dan PP 151/2000 sebagai 'tameng' mempertahankan kenikmatan menjadi ang-gota DPR? Saya akan menjawabnya demikian: Selama mereka belum melakukan pemerdekaan kultural dari belenggu tatanan kultur feodalisme Jawa yang ditinggalkan rezim Soeharto, mereka tidak akan pernah dapat menciptakan momentum kepeloporan dan peluang untuk membuat sejarah bagi kemajuan peradaban demokrasi di Indonesia. Tanpa melepaskan diri dari belenggu itu, DPRD Minahasa akan tetap mempertahankan hak-hak eksklusif politiknya dan tidak akan menyerahkanya kepada pemilik kuasa (daulat) yang sesungguhnya, yakni rakyat. Mereka tak akan mampu menjadi pelopor, apalagi menancapkan praktik luhur dalam kultur politik sebagai sumbangan berharga bagi peradaban Indonesia secara keseluruhan.

Masalah lain adalah, untuk pemerdekaan ini, Minahasa memerlukan Sam Ratulangi-Sam Ratulangi muda yang pemberani, berharkat martabat demokratis, egaliter, rela berkorban, seperti para leluhur Minahasa. Dan kita belum lagi memiliki Tou Minahasa seperti itu. Nama besar itu baru sebatas mampir dalam tempelan nama
aiport dan nama kampus universitas. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar