Minggu, 04 Juli 2010

26. MENANGGAPI KATAMSI GINANO

JANGAN KUATIRKAN SIAPA KITA!

Willy H. Rawung
MANADO POST 24 Juni 1998

MERATAPI musnahnya tradisi demokrasi Minahasa (MP 11/6), saya menunjuk penyebabnya kepada tatanan feodalisme monarki Jawa yang berpusat pada figur Pak Harto sebagai sentral kekuasaan. Begitu efektifnya – 32 tahun – kekuasaan beliau diejawanatahkan oleh “soeharto-soeharto kecil“ di seluruh penjuru Tanah Air (Ong Hok Kham menyebutnya "elit politik Indonesia dengan kekuasaan, jabatan dan status segila obsesi orang Cina dengan uang”), sampai-sampai tradisi demokrasi Minahasa pun ikut tertelan musnah.

Dengan terjadinya “Peristiwa 12 Juni 1998”: demonstrasi, pembakaran kertas, perusakan disket dan foto di kantor
Manado Post serta 45 menit pendudukan dan penyiaran paksa Radio Smart FM oleh sekelompok “aktivis pemuda dan mahasiswa” Sulut, membuat keyakinan saya tentang telah musnahnya tradisi kebanggaan leluhur itu kian mengental.
Anak-anak muda itu telah menjadi salah satu contoh kasus dari korban berubahnya tradisi demokrasi kepada tradisi kekuasaan-jabatan-status yang melahirkan pemaksaan kehendak dengan kekerasan fisik. Mereka sudah terbiasa mau menang sendiri, mau benar sendiri. Menggandrungi monolog yang cuma mata dan bukan telinga, tak mau mendengar, tuli dan terlalu melihat. Mulai berfaham satu bahasa ; pentungan, senjata dan massa sebagai legitimasi pembenaran. Siapapun yang menentang langsung digebuk.

Berhadapan dengan kekuasaan-jabatan-status yang telah melahirkan tradisi kekerasan ini, refleksi Katamsi Ginano,
Siapa Kita ? (MP15/6) - bila dimaksud sebagai upaya menyadarkan kelompok pelaku - adalah kesia-siaan belaka. Teguran santunpun seperti, “Apabila satu atau sekelompok orang menistakan dirinya, maka tak ada yang dapat kita lakukan kecuali menyayangkan mengapa begitu mudahnya manusia - dengan akal sehat dan kearifannya- terjebak menjadi bodoh dan lupa diri”, bagai “memberi mutiara kepada macan”. Sehingga mengharapkan timbulnya rasa malu atau berduka dari para pelaku bagai “punguk merindukan bulan”.

Obsesi berlebihan terhadap kekuasaan-jabatan-status telah membuat “tokoh-tokoh muda dan mahasiswa” pelaku 'aksi 12 Juni' kedodoran menyiasiati rasionalitas. Sebab itu tiada manfaat memuji mereka sebagai “cikal-bakal representasi tokoh-tokoh utama daerah ini 5 atau 10 tahun mendatang”. Lantaran kita sadar betul betapa percuma berharap dari hati dan pikiran yang keropos. Serta kapiran menyadarkan mereka yang hanya berani bergerak dengan “memanipulasi nama atau restu Gubernur”. Yang pengecut sebagai pribadi namun beringas dalam kerumunan massa.

Kekuasaan-jabatan-status telah membuat mereka memainkan lakon pura-pura marah karena kritik. Pura-pura memaksakan kebenaran, pura-pura menakuti-nakuti sesama lewat tekanan-tekanan sentimen SARA (suku-agama-ras-antargolongan). Pura-pura memainkan skenario membutakan intelektualitas dan kemanusiaan. Pura-pura melupakan percakapan di meja makan dalam semangat kekeluargaan yang guyup dan mesra. Pura-pura kalap dan pura-pura anarki. Pokoknya,
pura’ samua!

Makanya Bung Ginano jangan galau. Mereka terlalu kerdil dibanding kaum pengecut yang menjadi momok Revolusi Kebudayaan Cina. Serta terlalu tak berarti dibanding kebhinekaan Amerika Serikat. Apalagi dibanding “Kerusuhan Jakarta 14 Mei 1998” yang - antara lain – membuat seorang wanita keturunan Cina berteriak-teriak histeris, “Pribumi biadab”, lantaran diperkosa secara massal serta pembakaran toko-toko dan rumah-rumah diikuti - menurut Romo Sandyawan - dibakarnya 1.193 manusia, se-muanya atas nama SARA.

Jangan kuatir, Sulut tidak akan mengalami seperti yang terjadi di Jakarta dan Cina, meski jauh dari kebhinekaan Amerika Serikat. Mengapa? Sebab kita tidak memiliki sejarah pertentangan agama atau pertentangan etnik model demikikan. Hubungan antargolongan masyarakat Sulut – termasuk etnik Cina – pun tidak pernah mengalami distorsi sebagaimana terjadi di Ujung Pandang, Jawa dan Sumatera.

“Peristiwa 12 Juni 1998” tidak lebih dari ulah sekelompok - kecil sekali – kaum muda yang saking terobsesi akan jabatan-kekuasaan-status menganggap dapat cepat memperoleh sukses tanpa berkeringat - dengan "mencuri peluang menunggangi angin perubahan”. Para “manusia karton” - isitilah Gubernur Mangindaan, manusia pragmatis ini, hanya menempatkan religi-agama sekedar alat, retorika dan “stempel pos”. Saya yakin betul, tiada religi (baca : kasih) yang sesungguhnya di sana. Sebab jika ada, mustahil terjadi tindak kekerasan atas kebebasan pers di kantor
Manado Post dan Radio Smart FM.

Mereka ibarat orang-orang muda yang baru belajar bermabukan minuman keras, yang menjawab teguran bapak pendeta, “kiapa, ngana pe got so?”. Juga bukan anak-anak muda yang berideolog fanatik “siap mati untuk agama” atau “siap mati untuk Sulut”. Tetapi mereka lebih sebagai satpam bermuka garang dan berkumis lebat yang membukakan pintu untuk pencuri masuk. Mereka hanya sempalan kecil tiada berarti dari – yang Anda tuliskan – pluralitas yang telah teruji menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Sulut.

Percayalah, mereka juga baru sampai tingkat pemula dalam memainkan kekerasan di panggung politik. Dalam waktu dekat mereka akan kembali santun dengan sendi-rinya. Seiring berhentinya donasi serta copotnya kekuasaan dan status yang disandang. Mulut mereka akan kembali terkatup rapat manakala “dibubarkan” Pak Gubernur. Sebab mereka adalah dari jenis yang bila kena damprat beliau berubah menjadi – seperti kata Iwan Fals - “Partai Tikus Got”.

Dalam masyarakat Sulut yang kokoh bertradisi kemasyarakatan – Bung Ginano tuliskan, melampaui batas-batas etnis, sejarah, budaya, bahasa dan agama – kehadiran mereka ibarat iklan pesan sponsor dalam siaran berita TV swasta.

Maka jangan kuatirkan siapa kita.
Sapa kua’ torang so? Masakan mereka yang menistakan dirinya sendiri mampu menistakan kita, masyarakat asal Sulawesi Utara yang bertebaran di seluruh penjuru Indonesia?

Maka ketimbang memberi pencerahan dan teguran yang tiada efektif, adalah lebih baik mengembalikan mereka kepada pembina dan elit politik daerah yang telah mendidik dan membesarkan mereka selama ini. Untuk dilatih ulang sebagai reformis-reformis sungguhan. Dengan titipan pesan, jangan biasakan anak-anak manja itu dengan uang, jabatan, status dan kekuasaan. Tetapi didik mereka dengan baik dalam prinsip “garam dunia”. Jangan sampai garam itu menjadi tawar dan tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.

Selanjutnya agar peristiwa-peristiwa sejenis tidak terus berulang, sudah saatnya Pak Gubernur mengawali penggalian kembali tradisi demokrasi leluhur yang telah musnah tertelan feodalisme monarki Jawa itu. Mengembangkan dan melakukannya dalam teladan-teladan transparan dan mudah dicerna masyarakat.

Saya percaya, bila tradisi demokrasi para leluhur berhasil ditumbuhkembangkan lagi dan kembali menjadi naluri masyarakat Sulut, kekuatiran Katamsi Ginano - juga kekuatiran kita - bahwa anak-anak muda akan menjadi seperti kelompok pengecut dalam Revolusi Kebudayaan Cina, atau menjadi manusia-manusia yang menistakan dirinya sendiri, tidak akan terjadi.

Saya yakin benar, menemukan kembali dan mengembangkan ulang tradisi demokrasi leluhur akan menjadi jawaban mendasar bagi masyarakat Sulut untuk tidak mengkuatirkan pertanyaan “siapa kita“ dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa seterusnya. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar