Minggu, 04 Juli 2010

27. SOAL KENAIKAN HARGA SEMBAKO

UNJUK RASA MAHASISWA SALAH APA?

Willy H. Rawung
MANADO POST, 29 Juni 1998

MENDENGAR keluhan ibu-ibu rumah tangga, bahwa kenaikan harga dan kelangkaan Sembako - sembilan bahan pokok - diakibatkan aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa adalah misinformasi yang sungguh keterlaluan. Apalagi Sembako secara bergurau diplesetkan sebagai “semangat bakar toko”.
Informasi menyesatkan demikian patut dijelaskan agar para mahasiswa tidak dikambinghitamkan oleh kaum KKN-korupsi, kolusi dan nepotisme, yang adalah biang keladi sebenarnya dari krisis yang sedang kita alami.

Seperti dimaklumi, krisis kepercayaan terhadap elit pemerintahan Orde Baru baik dari dalam dan luar negeri telah menimbulkan krisis ekonomi, politik dan sosial. Bagi masyarakat luas krisis itu terasa konkrit dalam meroketnya harga-harga, penculikan, kerusuhan dan seterusnya.

Setelah para mahasiswa reformis berunjuk rasa menduduki gedung DPR-MPR, Pak Harto memang turun, tetapi rezimnya masih tetap tinggal memimpin bangsa.

Sekarang, Indonesia sudah memasuki keadaan darurat. Rakyat kian menderita, daya beli turun, semua kebutuhan biaya hidup naik. Sebagian besar sumber pendapatan hilang akibat PHK. Inflasi meroket, jaringan distribusi tidak berfungsi penuh, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai 80%. Kriminalitas meningkat, kekerasan antaretnis kian berpotensi. Kegiatan perbankan sama sekali hancur, dan seterusnya dan seterusya.

Total hutang pemerintah dan swasta kepada luar negeri lebih dari 100 milyar dolar Amerika. Sebaliknya - dari sumber PDBI - dana masyarakat Indonesia yang diparkir di Singapura setelah kerusuhan Mei 1998 tidak kurang dari 100 milyar dolar (dengan kurs Rp. 15.000) sama dengan Rp. 1.500.000.000.000.000. Belum terhitung yang disimpan di Hongkong, Eropa, dan lain-lain.

Sementara menurut majalah “Forbes” edisi 6 Juli (
Kompas 23/6/98), Pak Harto dan keluarga berada diurutan ke-74 terkaya di dunia : 4 milyar dolar plus saham di 3.200 perusahaan, berarti sama dengan Rp. 60.000.000.000.000. Liem Sioe Liong – yang juga memiliki Bimoli – menduduki peringkat ke-182 dengan kekayaan 1,7 milyar dolar Amerika atau Rp. 25.500.000.000.000. (Angka-angka ditulis dengan jumlah nol yang lengkap, supaya kita belajar membacanya).

Dalam menghadapi kekacauan ini elit pemerintahan amat kurang memiliki
sense of crisis. Contoh : sebelum dipangkas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, anggaran APBD 1998-1999 untuk baju dinas beliau sebesar Rp. 105.350.000! Total biaya untuk dirinya pribadi sebesar Rp. 11.211.350.000, termasuk biaya perawatan rumah tangga Rp. 8.206.000.000. Jadi rata-rata sebulan untuk keperluan Pak Gubernur saja warga ibukota harus menyediakan uang sebesar Rp. 934.279.000, setiap hari Rp. 31.142.000 atau setiap jam Rp. 1.297.000!

Saya tidak tahu APBD Sulut, sehingga tak dapat membandingkan dengan – misalnya – biaya untuk keperluan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Camat di Sulut.

Sedang tentang kwalitas keamanan, Komnas HAM setelah bertemu Presiden Habibie melaporkan : Kita mulai paham, bahwa persoalan penyelesaian orang-orang hilang, kasus Trisakti, maupun kerusuhan banyak hubungannya dengan persoalan konsolidasi intern ABRI”.

Fakta dan data-data di atas sekedar refleksi untuk menyegarkan ingatan kita atas rangkaian kejadian tragis yang masih terus berkelanjutan mendera bangsa. Dan dari semuanya, tiada sedikit pun data dan alasan yang mengacu kepada aksi-aksi mahasiswa sebagai penyebab dari kenaikan dan kelangkaan Sembako yang menderitakan rakyat.

Sebaliknya, mahasiswa dan rakyat adalah korban langsung dari segala kelemahan dan kegagalan penyelenggaraan negara yang sarat KKN, ketidakadilan dan keserakahan. Sementara aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa adalah kekuatan moral yang memperjuangkan perubahan dan perbaikan dari hal-hal negatif itu (reformasi).

***

Minyak Goreng

Mengaitkan aksi-aksi mahasiswa sebagai salah satu penyebab kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di kota Manado memang amat keterlaluan. Kita memang sulit menerima mengapa ibukota propinsi “Nyiur Melambai” kini menjadi “Nyiur Terkulai”. Lebih aneh lagi bila ekspor yang menghasilkan devisa dituding sebagai biang keladi penderitaan ibu-ibu di Manado. Hampir tak masuk akal kota yang sejak zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan pergolakan Permesta tak pernah mengalami kelangkaan minyak goreng, harus membayar mahal untuk komoditi yang justru menjadi andalannya.

Hemat saya, penyebab utama kenaikan harga minyak goreng di Manado lebih banyak disebabkan oleh sikap mental kita sendiri. Sebab bila di halaman, di samping, di depan, di belakang rumah, di gunung dan di lembah, jutaan pohon nyiur melambai diam dalam kebisuan, menunggu tangan-tangan rajin datang memetik untuk menjadikannya minyak goreng buatan dapur sendiri. Mengapa kita mesti mengeluh? Bukankah kita ibarat “rusa kehausan di pinggir danau”?
Kiapa kua’ nyanda beking minya for pake sandiri dang?

Semasa masih bersekolah di Manado, saya mengalami betapa banyak rekan-rekan sekampung mesti pulang “gunung” menghabiskan masa liburan atau akhir pekan untuk bekerja di kebun-kebun ; membuat minyak goreng, mengambil beras, tempurung, dan lain-lain untuk keperluan hidup di kota.

Bila saja sikap mental demikian - memenuhi kebutuhan sendiri – masih terjaga, tidak tergantung dari produsen/pabrik apalagi termanja dengan produk CPO-
crude palm oil yang didatangkan dari luar Sulut, mustahil Manado mesti mengalami kelangkaan atau kenaikan harga.

Penyebab lain, saya merujuk kepada perilaku dagang konglomerat Cina.
Dalam filosofi bisnis mereka, pasar adalah “medan perang” - yang diadaptasi dari seni berperang Sun Zi dengan “36 strategi” melumpuhkan musuh. Dalam tatanan ini, tiada substansi “belas kasihan”, “sahabat”, “derma”, “sosial”, “gotong-royong”. Semua : konsumen, pemasok bahan baku, apalagi pesaing, mesti diperlakukan sebagai musuh. “
Torang babli kopra deng harga tinggi, maar rasa akang, torang juga akang jual minya deng harga tinggi”.

Alhasil, pembelian harga tinggi untuk kopra harus dibayar pula dengan harga minyak goreng mahal oleh ibu-ibu Manado. Ironisnya disini, modal berbisnis sang konglomerat adalah uang kita juga, uang rakyat yang disalurkan melalui kredit-kredit Bank, serta pinjaman dari luar negeri yang diberikan kepada sang konglomerat. Yang karena “dikemplang” (tidak sanggup dibayar lantaran diinvestasikan kemana-mana), telah ikut memicu krisis ekonomi yang sedang kita alami.

Saya khawatir – belajar dari Sun Zi – konglomerat Liem Sioe Liong dengan penguasaan pasar melalui Bimoli telah dengan sengaja “memanjakan” kota Manado dengan produk CPO. Pemanjaan yang dilakukan dengan memanfaatkan perilaku “biar kalah nasi asal jangan kalah aksi” berbelanja di toko swalayan. Sehingga jadilah penduduk kota “Nyiur Melambai” terpuruk di depan sang konglomerat.

Dalam taktik dan strategi Sun Zi tak perduli harga kopra naik atau turun, atau harga minyak goreng naik atau turun. Satu hal selalu pasti : sang konglomerat tetap mengeruk laba. Dengan modal dan segala fasilitas warisan rezim lama, “penguasa perang minyak goreng” ini amat kuat mendikte harga pasar.

Apakah mereka berterima kasih karena mendapat bahan baku kopra dan memperhitungkan keseimbangan pasokan dan kebutuhan supaya tingkat harga tidak menyusahkan ibu-ibu? Tidak ! Apakah mereka takut terhadap elit pemerintahan karena kenaikan harga potensial menimbulkan keresahan masyarakat? Tentu tidak. Mereka terlalu yakin orang Manado
bae-bae samua. Sebab kita memang tak pernah perduli hasil ekspor Bimoli dalam dolar Amerika diparkir di Singapura, Hongkong atau RR Cina. Dan kita pun diam saja manakala Liem – Bimoli - Sioe Liong makin kaya, makin enjoy, dan tidak ikut membayar social cost membangun Sulut.

***

Sebab itu wahai ibu-ibu di Manado, dalam soal naiknya harga Sembako khususnya minyak goreng, aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa salah apa? Pokok soal adalah sikap mental kita sendiri yang berakibat selalu jadi pecundang dalam “perang” pasar melawan – sang biang keladi – konglomerat yang berlimpah modal dan kemudahan dari rezim lama. Karena kelemahan kita sendiri dan kelemahan elit pemerintahan, saudagar sekelas Liem Sioe Liong dapat mempermainkan harga minyak goreng – justru - di haribaannya jutaan pohon nyiur melambai.

Kekokohan adikuasa minyak goreng amat sulit diimbangi kecuali dengan merubah sikap mental: memproduksi kebutuhan sendiri, sebagaimana dilakukan oma-opa dan leluhur kita. Percuma mengharap belas kasihan atau tanggung jawab moral dari gurita ekonomi ini.

Adapun anak-anak, adik-adik kita, para mahasiswa yang rajin berunjuk rasa dalam gerakan reformasi. Yang tewas mengorbankan jiwa ditembaki bangsa sendiri dalam “tragedi Trisakti”, bukanlah pembuat onar yang menyebabkan membubungnya harga-harga. Mereka tidak memiliki sejumput pun kekuasaan dan daya untuk mempengaruhi naik turunnya harga Sembako. Sebagai kekuatan moral bangsa, mereka justru tengah berhadapan dengan kekuatan-kekuatan nonreformasi – kaum mapan karena ber-KKN - dalam berbagai bentuk, yang adalah biang keladi sesungguhnya dari penderitaan kita. Yang dengan menggunakan isu “mengutamakan Sembako” berupaya melemahkan dan memecahbelah aksi-aksi mahasiswa reformis agar riwayat kemapanan mereka dalam ber-KKN tidak tersingkap.

Maka inilah pesan bagi ibu-ibu di Manado: kebutuhan Sembako adalah prioritas dan tanggung jawab sepenuhnya elit pemerintahan, yang tidak ada kaitannya dengan aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa dalam menegakkan keadilan, kebenaran dan pemerintahan yang bersih. Jadi, tetaplah beri semangat dan panjatkan doa bagi perjuangan anak-anak muda itu! #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar