Sabtu, 03 Juli 2010

20. 'BAKU BEKING PANDE' DAN TEKAD MEMANUSIAKAN SESAMA

Willy H. Rawung
MANADO POST 24 Januari 1998

KEMINAHASAAN atau kekawanuaan, adalah perwujudan kodrati tou (manusia) Kawanua. Suatu perwujudan yang tidak dapat dihilangkan oleh perwujudan kemanusiaan dan perwujudan keindonesiaan, karena perwujudan keminahasaan dalam segala kekurangan dan kelebihannya adalah awal dari sebelum tou (manusia) Kawanua memasuki perwujudan kemanusiaan, perwujudan keindonesiaan bahkan perwujudan kejagatan (globalisme).

Dengan sendirinya tiada keindonesiaan tanpa keminahasaan, dan setiap ‘penyangkalan’ tehadap perwujudan keminahasaan atau kekawanuaan sama saja dengan penyangkalan atas perwujudan kemanusiaan dan perwujudan keindonesiaan.

Sebelum sampai pada kesadaran ini, saya sering mempertanyakan eksistensi keminahasaan. Mengingat betapa egaliter, demokratis, pragmatis dan kebarat-baratannya tou Kawanua dibanding etnik-etnik lain di Tanah Air.

Kerisauan kian bertambah saat merasakan langsung akibat-akibat pergolakan Permesta, pengaruh budaya Jawa yang relatif kian kuat, perkembangan ilmu dan teknologi, serta melihat mulai banyak Kawanua perantauan risih mengakui jatidiri kekawanuaannya karena – misalnya - kh-watir berdampak negatif dalam jabatan atau karir.

Berkegiatan dalam IPMMD - Ikatan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Jakarta (1967), KKK - Kerukunan Keluarga Kawanua (1973), menganalisis Si Tou Timou Tumou Tou Sam Ratulangie, Perang Tondano, Nuwu I Tua dan lain–lain. Serta mempelajari perjanjian persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10 January 1679, Perang Tondano 1808-1809, kepahlawanaan dan kecendekiaan tou Kawanua sepanjang Perang Kemerdekaan RI, pergolakan Permesta plus era Orde Baru yang tanpa seorang Kawanua pun duduk dalam Kabinet. Lalu mengikuti kegiatan-kegiatan Kawanua perantauan yang sejak era 70-an berupaya membangkitkan kembali harkat budaya Minahasa. Tetap tidak mengurangi kekuatiran saya tentang kian pudarnya keminahasaan.

Mencerna idiom seperti matombol-tombolan, maesa-esaan, pakatuan wo pakalowiren, jangang baku cungkel, jangang tunjung pande dan lain-lain. Atau saat menikmati pergelaran kesenian seperti maengket, kabasaran, maowey, musik kolintang dan seterusnya, tetap saja tidak mengatasi kerisauan tentang akan berakhirnya eksistensi keminahasaan.

Karena dari semua hal di atas tidak ditemukan substansi nilai kekawanuaan yang menjadi semacam ‘jaminan’ akan lestarinya keminahasaan. Saking tiadanya substansi, organisasi-organisasi seperti KKK-Kerukunan Keluarga Kawanua yang hampir terdapat di seluruh ibukota provinsi, YKM-Yayasan Kebudayaan Minahasa, MKM-Majelis Ke-budayaan Minahasa yang melahirkan kembali gelar Tonaas Wangko, IMKI-Ikatan Mahasiswa Kawanua Indonesia, Pinaesaan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Salatiga, Maesa dan lain-lain pun hanya dibentuk berdasar semangat asal-usul, ‘sekampung’ (arti kata ‘kawanua’).

Anggaran Dasar KKK Jakarta saja hanya mampu melukiskan keminahasaan tidak lebih dari tiga kata : ‘kawanua’, ‘minahasa’ dan ‘mapalus’. Tanpa sedikit pun dapat mendeskripsi substansi keminahasaan atau kekawanuaan itu sendiri.

Anda pun akan sia-sia menemukan – misalnya - substansi leluhur Nuwu I Tua Watu Pinawetengan yang - menurut sejarah – akibat dilecehkan kolonial Belanda telah menyulut pecahnya Perang Tondano !.

KKK Jakarta sebenarnya telah menyadari hal ini ketika tahun 1994 mengumpulkan beberapa pemikir muda untuk merenenungkan dan menggumuli substansi kekawanuaan serta menyusun semacam pedoman untuk mengaktualisasikannya.

Dengan bertolak dari Pancasila, diramulah Si Tou Tumou Tou-nya Sam Ratulangie dan Baku Beking Pande –nya Herman Nicolaas (Vence) Sumual dalam apa yang disebut “Doktrin Kawanua”. Kendati masih ‘kering’, upaya serius ini boleh disebut ‘langkah historis’, sebab menandai masuknya para pemikir muda yang masih setia kepada budaya leluhur Minahasa ke wilayah filsafat.

Seperti ingin menolak judgement bahwa tou Minahasa kurang mampu berkontemplasi, lebih mahir menjadi ‘tukang’ ketimbang ‘empu’, lebih mengutamakan ‘kulit’ ketimbang ‘isi’, lebih suka tunjung pande dan lebih bangga menyebut diri ‘manusia iptek’ ketimbang ‘manusia budaya’, lebih mengutamakan ‘aksi’ ketimbang ‘nasi’, berani bicara tapi takut berbuat dan lebih suka enjoy ketimbang kerja keras.

Adalah perenungan Vence Sumual yang mulai memicu pemikiran-pemkiran kontem-platif anak-anak muda itu. Ketika beliau pada saat bersamaan menggumuli suatu pedoman yang mendorong kebangkitan kembali tou Kawanua dalam perwujudan kemanusiaan dan keindonesian di tengah semaraknya perwujudan kejagatan, dengan tanpa menghilangkan akar budayanya sendiri. Sesuatu yang kemudian dikenal dengan Falsafah Baku Beking Pande (BBP).

Sumual mendeskripsi bahwa kebutuhan tou Kawanua akan berfilsafat kian besar dan kian menjadi kebutuhan mutlak, karena sudah terlalu lama terbenam dalam penghayatan kebudayaan yang keliru, yang berakibat pergeseran nilai budaya berlangsung di luar kesadaran, bahkan sering di luar kehendak.

Makanya Kawanua membutuhkan pemahaman yang lebih jelas mengenai apa yang terbaik dalam proses akulturasi atau pembauran nilai budaya antara keminahasaan di satu pihak dengan keindonesiaan maupun kejagatan di pihak lain.

Tantangan-tantangan yang jelas harus dijawab dengan upaya konseptual, yang mengingat obyek permasalahannya demikian luas dan meliputi persoalan-persoalan nilai yang bersifat abstrak, hanya mungkin dijawab oleh usaha filsafat (philosophical doing) yang berlatar budaya Minahasa.

Dengan usaha filsafat, akan lebih menjelaskan dan meningkatkan isi dari sistem kebudayaan Minahasa untuk semakin mampu menjadi sarana nilai yang menopang harkat kemanusiaan dan keindonesiaan dalam konteks kejagatan.

Ia akan mampu menjadi pedoman dasar bagi setiap pengkajian, pemahaman dan perancangan strategi kebudayaan Minahasa yang selalu mempertanyakan bagaimana Kawanua mampu menumbuhkan daya cipta bagi masyarakat generasi kini dan mendatang.

Karena dengan itu Kawanua dapat ikut mengembangkan peradaban yang memenuhi kebutuhan manusia, bahkan hanya dengan itu Kawanua dapat ikut mewujudkan keindonesiaan di tengah tantangan zaman yang semakin besar dan kompleks.

Sebagai suatu falsafah yang mengamanatkan tindakan-tindakan konkrit, BBP adalah falsafah rasionalistis dan realisitis berlandas pada nilai-nilai asli budaya Minahasa, yang diidentifikasi melalui - antara lain - mitos-mitosnya. Mitos dari perspektifnya sebagai bagian dari wacana era-moderen, baik yang disusun oleh para pujangga zaman lampau maupun yang dikembangkan secara estafet antargenerasi beriring proses evolusi kebudayaan, serta mewariskan pada kita harapan dan pesan-pesan luhur, yang tak lain merupakan akar dari diri tou Kawanua sendiri.

***

Proposisi ringkas sederhana Falsafah Baku Beking Pande (BBP) adalah sebagai berikut :
Ukuran kebahagiaan manusia Minahasa secara eksistensial ialah bilamana ia bisa mencapai kekayaan menyeluruh yang meliputi kaya intelektual, kaya material dan kaya spiritual.
Gerak untuk mencapai kondisi kaya total (getting rich) tersebut berlangsung ketika setiap individu mengutamakan langkah-langkah berdoa-bekerja-menabung, oleh dan untuk pemenuhan dirinya sendiri.
Dalam hal langkah ‘bekerja’, tou Minahasa akan mencapai keunggulan khasnya jika memuliakan kinerja belajar. Beking Pande (termasuk “belajar dari bekerja”, learning by doing). Kinerja beking pande ini, baik sebagai usaha beking pande yang langsung diperuntukkan bagi diri sendiri, maupun beking pande orang lain yang juga akan berpengaruh balik untuk makin pande pada dirinya sendiri. Beking pande orang lainpun merupakan syarat sukses kepemimpinan; misalnya beking pande staf tentu akan makin menjamin keberhasilan manajemen. Beking Pande = pertolongan ekonomis yang mendasar (bahasa populernya : bukan hanya memberi ikan, tapi mengajar agar pande membuat kail dan memancing ikan)
Ketika “beking pande antarsesama” menjadi kinerja dari setiap tou Minahasa, maka berlangsung gerakan massal yang menciptakan sistem sosial BBP. Dimana setiap subyek yang mem-beking pande adalah pula obyek yang di-beking pande. Dengan demikian maka :

- Kebersamaan (sosialitas) yang merupakan cita-cita terluhur tou Minahasa (sebagaimana dimanifestasikan pada namanya Min’hasa, Minaesa, Maesa, Pinaesaan) dengan ini memperoleh kohesi atau daya rekat lebih kuat. Karena terkonstruksi sebagai upaya aktif dan eksistensial (menjadi bagian dari naluri).

- Usaha mencapai kaya total tadi semakin kuat, karena diisi dari dua arah. Oleh diri sendiri sebagai subyek, dan oleh subyek lainnya terhadap diri kita.

Elemen-elemen pokok dari sistem falsa-fah hidup ini (seperti cita-cita untuk kaya me-nyeluruh, ‘suka belajar‘, ‘suka mengajar‘, baku bantu, mapalus, persatuan, kebersamaan) semua itu jelas-jelas merupakan nilai-nilai budaya Minahasa. Itupun jelas tampak secara negatif, dalam hal sikap penolakan kita terhadap sifat-sifat sebaliknya, yang terungkap dalam idiom khas “jangang baku tunjung pande” (jangan membantu hanya bermotif pamer kepandaian dan tak bertanggung jawab) atau “jangang baku beking bodok” (jangan mengajar/memberi informasi hanya untuk menipu).

Falsafah hidup yang memuliakan pande akan memelihara terus sikap rasional dalam penggunaan kekayaan material. Dari sinilah terbina unsur menabung. Menabung merupakan langkah penyerta dari berdoa dan be-kerja. Menabung menjadi perilaku eksistensial, manifestasi dari dorongan naluri. Pada gilirannya, menabung merupakan syarat pembentukan modal dan kemandirian ekonomi. Lalu, kemandirian merupakan kondisi azasi bagi pencerdasan jiwa dan sekaligus landasan bagi sikap otonomi setiap individu untuk bisa membantu serta mencerdaskan orang lain, begitulah seterusnya.
Kemandirian dan pande merupakan sumber daya paling azasi bagi demokratisasi, dan kemudian merupakan pilar penopang utama kehidupan sistem demokrasi di pelbagai lingkup kehidupan sosial (dalam keluarga, bertetangga, dalam perusahaan, organisasi, hingga negara).

Sistem demokrasi dikemukakan disini karena merupakan syarat sistemik politis bagai begitu banyak kebaikan serta keunggulan untuk manusia dan kemanusiaannya. Sebaliknya, pudarnya kemandirian dan pande merupakan lahan paling subur dari gejala antidemokrasi, totaliter, reversi (pergeseran dari sistem demokrasi ke antidemokrasi), yang semuanya menista nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, termasuk mengerdilkan unsur pande itu juga.

Kemandirian dan pande menumbuhkan harga diri dan pribadi merdeka, yaitu kondisi jiwa yang jika menipis akan sangat melemahkan suatu masyarakat dalam membangun maupun dalam persaingan merebut kemajuan. Kemandirian, pande dan BBP, merupakan fondasi hidup kebersamaan yang sejati. Kebersamaan yang bebas dari unsur dominasi satu sama lain, kebersamaan yang bebas dari eksploitasi tak bertanggung jawab. Kebersamaan sejati inilah yang akan menyiapkan Minahasa sebagai masyarakat yang tangguh dan unggul memasuki era globalisme.

Baik filsasafat rasional maupun mitos budaya yang melatarbelakangi tentu saja bukanlah jaminan tuntas bagi terwujudnya segala harapan luhur. Makanya falsafah BBP bersifat desisionik, yaitu menuntut keputusan, sikap dan tekad tou Kawanua sendiri, sebagaimana semua filsafat hidup yang benar. Sudah berlalu filsafat otomatis sebagaimana yang pernah diperkenalkan Adam Smith, Marx, Sartre dan lain-lain. Justru merupakan suatu bahaya, jika kita terlena dengan segala falsafah dan rumusan nila-nilai budaya luhur, sementara realitas semakin bergeser jauh dari padanya.

***

Dengan demikian BBP bukan slogan, himbauan atau ‘pepesan kosong’ untuk konsumsi spanduk, seperti ‘Enyoy ! Yes !’. Tetapi menjadi dorongan naluri tou Kawanua dalam gerak langkah hidup sehari-hari, memancarkan nilai-nilai budaya leluhur – nilai-nilai keminahasaan - dalam perwujudan kemanusiaan dan keindonesiaan.

Namun begitu, BBP tetap saja salah satu alternatif - salah satu upaya – dari Kawanua. Ia tidak statis dan tetap sebagai ‘buku terbuka’, yang demi keminahasaan, demi kemanusiaan dan demi keindonesiaaan, tidak boleh dibiarkan menjadi akhir – atau satu-satunya - upaya falsafi. Ia kita harapkan dapat diperberkembangkan, menjadi awal, atau mendorong upaya-upaya falsafi lain yang akan memperkaya keminahasaan dalam perwujudan kemanusiaan dan keindonesiaan. #

Pustaka, antara lain :
1. H.N. Sumual, Baku Beking Pande Sebuah Keputusan Falsafati Menuju Kebangkitan Kembali Tou Minahasa, Bina Insani, Jakarta, 1995. (Disunting Benni E. Matindas dan Bert Supit).
2. H.N. Sumual, Baku Beking Pande Sebagai Usaha Filsafat Dengan Latar Budaya Minahasa, Makalah pada Musyawa-rah Kebudayaan Minahasa, Tomohon, 1997.
3. Bert Supit, Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
4. Bert Supit, Perang Minahasa di Tondano, Yayasan Lembaga Penelitian Sejarah dan Masyarakat, Jakarta.
5. Willy H. Rawung, Baku Beking Pande Sebagai Salah Satu Upaya Konstruktif Kawanua Dalam Perwujudan Kemanusiaan dan Keindonesiaan, Makalah pada Seminar Rukun Pelajar Mahasiswa Pinaesaan Salatiga, 1997.
6. Si Tou Timou Tumou Tou, Kumpulan Makalah, KKK, Ja-karta, 1991.
7. Anggaran Dasar Kerukunan Keluarga Kawanua, KKK, Jakarta, 1973.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar