Minggu, 25 Juli 2010

The National Board APINDO - Asosiasi Pengusaha Indonesia (The Employers' Association of Indonesia) 1998 -2003

President H Suparwanto (Asuransi Bumiputera)


Vice Presidents Margono Djojosumarto, Djimanto (APRESINDO-Asosiasi Persepatuan Indonesia)

Acting Secretary General Syamsi HS (PT Esa Elok Tunggal)

Vice Secretary General FX. Djoko Sudibjo (Senior Consultant)

Treasurer Willy H. Rawung (Sawangan Golf Hotel & Resort)

Functional Affairs:

Organisation, Provencial Upbuilding & Public Relation
Acting Chairman Willy H. Rawung
Vice Chairman Djakfar Ali (Patra Drilling Contractor), Soerachim Prawirasoetisna (Summa Prakarsa Corp.)

Advocacy & Industrial Relation
Chairman Hasanuddin Rachman

Foreign Relation & International Cooperation
Chairman Herman S. Endro
Vice Chairman Agus Zunaedi

Productivity, OSH & Environmental Protection
Chairman Harjono (Gajah Purwa Inc.)
Vice Chairman Ridwan Gunawan
Soedjoko Kuswadji, Kosasih Soekma, Tan Malaka, Tata Soemitra

Training, Education, Research & Development
Chairman AB. Susanto
Vice Chairman Amyra Sindukusumo

Social Affairs (Women Workers, Child Labour, Disabilities Worker, HIV/AIDS)
Chairman Erwin Pardede (Lanze Inc.)
Vice Chairman Pudjiati Azis (Kemasindo Utama Inc.)
Grace Rubino (Tierra Alta Inc.), Berlia S. Fuady, Nurwaty CH. Harahap

Sectoral Affairs:

Chemistry, Energi & Mining
Chairman Prihadi Santoso (Freeport Ind Corp.)
Vice Chairman Djan Faridz (Impa Corp.), Nico Kanter (Atlantic Richfield Corp.)

Metal, Electronic & Machinery
Chairman M. Safiun (GIAMM)
Vice Chairman Bambang Sugianto (Infomedia Nusantara Corp.)

Textile, Shoes & Leather
Chairman Indra Ibrahim (Argo Pantes Group)
Vice Chairman Bernard (Asia Cross Corp.)

Trade, Bank & Insurance
Chairman FX. Djoko Sudibjo
Vice Chairman Yoseph A. Noesi, Rudy Wanandi

Sealiner
Chairman Pudji Sumarto (Multi Service Inc.)
Vice Chairman Taufik SP. Sumarto (Pranata Damas Corp.)

Agriculture & Plantation
Chairman : Sudjai Kartasasmita - Badan Kerjasama Perkebunan Sumatera (BKS-PPS)
Vice Chairman Harini Nalendra - Harini Asribahari Inc.

Pharmacy & Health
Chairman AM. Sugeng Utomo (Bayer Uretane Corp.)
Vice Chairman Upik SA. Susongko (Avon Ind Inc.)

Tourism
Chairman Stella Gunawan (PHRI-Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia)
Vice Chairman Machfudz Djaelani (ASITA-Asosiasi Perjalanan Wisata)

Transportation
Chairman HA. Sutisna (Mayasari Bhakti Corp.)
Vice Chairman Eddiono Salatun (Esarrindo Tirtajasa Inc.)

Timber & Forestry
Chairman Kristiyono Fajari (Kutai Timber Corp.)
Vice Chairman Nina Tursina (Nusa Wacana Sejati Inc.)

Cigarette, Tobacco, Food & Beverage
Vice Chairman Marco P. Sumampaow (Multi Bintang Corp.)

Building & Construction
Chairman Maruli Panjaitan (Sinar Cempaka Raya Inc.)
Vice Chairman Sudarto

Printing, Publishing & Information
Chairman Setya Dharma Madjid (IKAPI-Ikatan Penerbit Indonesia)
Vice Chairman Bambang Sudaryanto (National Gobel Corp.)

Migrant Worker
Chairman Saleh Alwaini (Binawan Inti Sejati Corp.)
Vice Chairman Anton Sihombing (APJATI-Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia)

Revised : 31 January 2001

KOMUNIKE BIPARTIT APINDO - Wakil-Wakil Pekerja/Buruh

Pengantar


Pada hari Minggu, 4 Juni 2000, bertempat di Restaurant Chinois Hung Wan, 7, quai du Mont-Blanc, 1201 Geneva, Delegasi APINDO ke ILC-88 yang terdiri dari Margono Djojosumarto/WKU-DPP APINDO/Ketua Delegasi, Willy H Rawung/Wakil Bendahara/Adviser dan Hasanuddin Rachman/Waka Hubungan Industrial dan Pembelaan Anggota/Sekretaris Delegasi/Adviser mengundang Charles David/F-SPSI Munas/Ketua Delegasi Wakil-wakil Pekerja ke IILC-88, Saut Aritonang/SB-SKM/ Adviser, Muchtar Pakpahan/Ketua Umum SBSI/Adviser dan Rekson Silaban/Ketua DPP-SBSI Hubungan Luar Negeri, untuk makan siang bersama sambil membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kehadiran DELRI Tripartit umumnya dan Delegasi Bipartit, Pengusaha dan Pekerja pada khususnya dalam ILC ke-88 di Jenewa.

Berdasarkan hasil tukar menukar pikiran yang berkembang dalam diskusi melalul saling mendengarkan pendapat, disepakati untuk merumuskan Komunike atau Pernyataan Bersama berkaitan dengan :

  • Penghargaan dan dukungan kepada Pemerintah sebagai negara anggota pertama di kawasan Asia dan Pacific yang telah meratifikasi 8 (delapan) Konvensi Dasar ILO.

  • Seruan dan permintaan kepada ILO untuk lebih meningkatkan bantuan teknis dan finansial secara langsung dan berkelanjutan kepada APINDO dan Serikat Pekerja/Buruh dalam pelaksanaan program sosialisasi 8 (delapan) Konvensi Dasar ILO melalui Kantor ILO Jakarta.
  • Melanjutkan kerjasama dengan Pemerintah melakukan Tripartit Social Dialog dalam upaya membantu menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
  • Upaya untuk tampil lebih optimal dan berperan di ILC, diperlukan melakukan persiapan/perencanaan yang matang dalam menghadiri ILC pada setiap tahunnya dengan meminta perhatian kepada Pemerintah agar melibatkan/mengikutsertakan Pengusaha dan Pekerja secara sungguh-sungguh sejak dini.
  • Permintaan kepada ILO untuk mengirimkan segala sesuatu yang berkaitan dengan acara persidangan ILC sejak awal tidak hanya kepada Pemerintah, tetapi juga kepada Pengusaha/APINDO dan Pekerja/Serikat-Serikat Pekerja/Buruh.
  • Hasanuddin Rachman diminta untuk menyusun rancangan rumusan Komunike Bersama Bipartit ILC-88 dan berkonsultasi dengan pihak PTRI Jenewa secepatnya agar dapat ditandatangani oleh Wakil-wakil Delegasi Pengusaha dan Pekerja/Buruh yang telah berada di Jenewa.
  • Margono Djojosumarto, menyatakan kesediaannya untuk menghubungi Ms. K. Hagen, Executive Director Social Dialogue ILO mengatur pertemuan dengan para penandatangan Komunike Bersama Bipartit ILC-88.

Selasa, 6 juni 2000 naskah rumusan Komunike Bersama Bipartit setelah mendapat koreksi dan penyempurnaan dari kedua belah pihak ditandatangani oleh :

1. Margono Djojosumarto/APINDO
2. Willy H Rawung/APINDO
3. Hasanuddin Rachman/APINDO
4. Charles David/F-SPSI Munas
5. Muchtar Pakpahan/SBSI
6. Saut Aritonang/SB-SKM

Bertepatan dengan tibanya wakil-wakil Pengusaha dan Pekerja/Buruh lainnya, hingga tanggal 8 Juni 2000 jumlah penandatangan KBB ILC-88 bertambah menjadi :

7. FX Djoko Sudibjo/APINDO
8. Eggi Sudjana/PPMI
9. Abdul Aziz Riambo/F-SBDSI
10. Bambang S Syukur/FSP-BUMN
11. Djoko Daulat/F-SPSI Munas
12. Ali Djunaedi/SARBUMUSI
13. Abdul Salam Daude/GASBIINDO
14. Diah Indriastuti M/ASOKADIKTA
15. Ruslan Effendi/SPNI
16. Ediono I Soedjadi/PP-SBAD
17. H. Taslim Zein/IK-PWI
18. Thamrin Mosii/SPMI
19. Sjukur Sarto/F-SPSI

Catatan :

Saeful Tavip dari Serikat Pekerja ASPEK telah menyatakan kesediaannya untuk turut menandatangani, tetapi yang bersangkutan ternyata telah kembali ke Indonesia lebih awal.
Ari Sunarijati dari SP-TSK telah dihubungi dan membaca KBB ILC-88, namun tidak/ belum bersedia turut menandatangani dengan alasan belum berkonsultasi dan tidak mendapat mandat dari Rustam Aksa Ketua Umum SP- TSK.

Kamis, 8 Juni 2000 , jam 17:00 hingga jam 18:00 para penandatangan KBB ILC-88 diterima Ms. K. Hagen, Executive Director Social Dialogue ILO bertempat di Ruangan A8 Gedung ILO, untuk temu wicara dan penyerahan copy KBB ILC-88. Ms. Hagen didampingi stafnya dapat memahami materi KBB ILC- 88 dan menyatakan bahwa baru pertama kali ada komunike bersama antara Bipartit, Pengusaha dan Pekerja, peristiwa ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah ILC. Ms. Hagen menyarankan agar delegasi Bipartit, Pengusaha dan Pekerja/Buruh mengajukan proposal program-program tahunan konkrit kepada ILO dalam rangka untuk mendapatkan bantuan teknik dan dukungan ILO sebagaimana yang diharapkan. Selanjutnya dalam penutup sambutannya Ms. Hagen menyatakan bahwa ILO dalam menyalurkan bantuannya senantiasa mengacu kepada prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan.

Minggu, 10 Juni 2000, mulai jam 19:00 hingga jam 22:00 diselenggarakan pertemuan/rapat tindak lanjut antara para penandatangan KBB ILC-88 yang dihadirl pula oleh Akmal Husein/Dirut JAMSOSTEK bertempat di Le Mandarin, Jenewa.

Demikian Catatan Perihal KBB ILC-88 dibuat untuk informasi dan dokumentasi.

Jenewa, 1 1 Juni 2000
Penulis,
(ttd)
Hasanuddin Rachman
Sekretaris Delegasi APINDO


KOMUNIKE BERSAMA BIPARTIT
DELEGASI PENGUSAHA/APINDO DAN PEKERJA/SERIKAT PEKERJA/BURUH
PADA INTERNATIONAL LABOUR CONFERENCE KE-88
DI JENEWA, 30 MEI - 15 JUNI 2000

Kami Para Peserta Delegasi Republik Indonesia ke International Labour Conference ke-88 yang diselenggarakan mulai tanggal 30 Mei hingga 15 Juni 2000 di Jenewa, dari unsur Pengusaha dan Pekerja menyatakan hal-hal sebagai berikut:
  1. Menghargai dan mendukung kebijakan Pemerintah Republik Indonesia yang telah meratifikasi 8 (delapan) Konvensi Dasar ILO.
  2. Langkah tersebut telah mendapat penghargaan dari berbagai pihak dan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama Anggota ILO di kawasan Asia dan Pacific yang telah meratifikasi 8 (delapan) Konvensi Dasar ILO.
  3. Dalam upaya untuk memberdayakan guna mencapai hasil optimal dari kebijakan Pemerintah tersebut kami menyerukan serta meminta agar ILO lebih berperan aktif dan meningkatkan bantuan tehnik pelaksanaan program sosialisasi kedelapan konvensi dasar tersebut melalui Kantor ILO di Jakarta sebagai Koordinator Bantuan Tehnik serta melibatkan langsung jajaran unsur Bipartit: Pengusaha dan Pekerja dalam pelaksanaan tehnisnya secara nasional.
  4. Bekerja sama dengan Pemerintah untuk melaksanakan Konvensi-konvensi Dasar ILO dengan tindak lanjutnya melalui wadah Forum Tripartite Indonesia.
  5. Mendorong melakukan Tripartite Social Dialog untuk menyelesaikan segala permasalahan ketenagakerjaan khususnya yang berkaitan dengan hubungan industrial.
  6. Dalam menghadapi persidangan ILC ke-89 dan tahun-tahun selanjutnya agar ILO Jenewa mengirim langsung agenda persiapan dan materi persidangan tidak hanya kepada Pemerintah/Depnaker tetapi juga pada unsur Pengusaha dan Pekerja.
  7. Pada setiap tahunnya kepada pihak Pemerintah diminta agar pro-aktif dan secara sungguh-sungguh mengikut sertakan sejak dini unsur Bipartit: Pengusaha dan Pekerja dalam persiapan menghadiri ILC.
Demikian Komunike Bersama Bipartit ini dibuat dan ditandatangani bersama dalam upaya untuk meningkatkan peran DELRI di ILC guna memperoleh hasil yang optimal bagi bangsa dan negara.
Semoga dengan dilaksanakannya Komunike Bersama ini dapat menimbulkan kepercayaan yang lebih besar lagi dari masyarakat internasional khususnya ILO terhadap proses reformasi yang sedang dilakukan oleh Bangsa Indonesia.

Jenewa, 6 Juni 2000

Dewan Pimpinan Pusat
Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP-APINDO)
1. Margono Djojosumarto
2. Willy H. Rawung
3. Hasanuddin Rachman
4. F.X. Djoko Sudibjo

Wakil-wakil Delegasi Pekerja/Buruh:
1. Charles David/F-SPSI-Munas
2. Muchtar Pakpahan/SBSI
3. Saut Aritonang/SB-SKM
4. Eggy Sudjana/PPMI
5. Abdul Aziz Riambo/F-SBDSI
6. Ari Sunarijati/SP-TSK
4. 7. Bambang S. Syukur/FSP-BUMN
8. Ediono I. Soejadi/PP-SBAD
9. A. Salam Daunde/Gasbiindo
10. Diah Indriastuti/ASOKADIKTA
11. Junaedi Ali/Sarbumusi
12. Djoko Daulat/F-SPSI Munas
13. Ruslan Effendi/SPNI
14. Sjukur Sarto/F-SPSI Munas
15. Thamrin Mosii/SPMI
16. H. Taslim Zein/IK-PWI

Kamis, 08 Juli 2010

42. BUKAN MINAHASA MERDEKA ATAU FEDERASI TAPI OTONOMI KHUSUS

WACANA SEPUTAR ANCAMAN UU SISDIKNAS

Willy H. Rawung
Manado Post 10 Mei 2003

MENANGGAPI sikap keras Forum Generasi Muda Minahasa (FGMM) untuk berpisah dari NKRI dan mendirikan Negara Minahasa Raya, hanya karena RUU Sisdiknas yang konon akan disahkan sebagai UU pada 20 Mei nanti, saya pikir lebih bijaksana bila kita berjuang untuk pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Sulawesi Utara (bukan hanya untuk Minahasa) demi mempertahankan kebebasan berpluralitas yang sudah terjaga sejak zaman para leluhur.
Bagi saya memisahkan diri dari NKRI adalah tindakan bunuh diri yang sia-sia, dan siapa pun tahu pernyataan demikian tidak lebih dari "gertak sambal".

Makanya kalau mau serius, ya otonomi khusus itu. Di mana seluruh komponen masyarakat dilibatkan menyusun RUU Otonomi Khusus Sulawesi Utara dan berjuang secara bermartabat sampai disahkan DPR. Kalau otonomi khusus, masyarakat, pemprov dan pemkab manapun di Sulut akan setuju, karena intinya, porsi kekuasaan yang lebih besar kepada daerah dibandingkan yang diberikan Undang-undang Otonomi Daerah yang sudah ada (UU No. 22 dan UU No.25).

Otonomi Khusus lebih realistik dan masuk akal untuk saat ini dan memang harus diperjuangkan. Sebab menurut hemat saya sesudah UU Otonomi Khusus Aceh (NAD) dan RUU Sisdiknas, akan datang lagi banyak RUU atau UU yang di atasnya berlabel UUD 1945 atau Pancasila tetapi isinya bertentangan, krusial, diskriminatif dan bertentangan dengan dengan label itu. Mengapa? Karena upaya kekuatan-kekuatan tertentu untuk mengisi setiap Undang-undang dengan muatan Piagam Jakarta tidak akan pernah berhenti selama NKRI ini masih ada. Sementara parpol-parpol besar dengan sadar "membiarkan" hal ini terjadi demi meraih suara kaum mayoritas dalam Pemilu.

Nampaknya momentum pensahan UU Sisdiknas memang dipilih menjelang Pemilu untuk me"faith a comply" parta-partai "nasionalis" seperti Partai Golkar dan PDI-P untuk menerima RUU tersebut. Dan kalau dalam Sidang Paripurna DPR-RI nanti Partai Golkar dan PDI-P meneyetujui RUU tersebut, maka ini menjadi bukti yang kesekian kali bahwa kedua partai ini semakin meminggirkan (memarginalkan) kaum minoritas yang berdiam di jazirah Sulawesi Utara, Sumatera Utara, NTT, Toraja, dll. (***)

41. PILSUNG, PEMERDEKAAN KULTURAL MINAHASA

Willy H. Rawung
MANADO POST 24 Juli 2002


Apakah DPR Minahasa ingin menjadi pelopor sekaligus menancapkan praktik yang luhur dalam kultur politik dan peradaban demokrasi di Indonesia? Ataukah mereka membentengi diri dengan UU No 22/1999 dan PP 151/2000 sebagai 'tameng' mempertahankan kenikmatan menjadi ang-gota DPR? (Suhendro Boroma, Manado Post 12 Juli 2002).

HAMPIR lima tahun lalu, ketika menanggapi rangkaian artikel saya dalam harian ini yang memrotes tekanan dari pembina politik daerah kepada DPRD Minahasa supaya menggusur K.L. Senduk dan A.J. Sondakh bagi melicinkan jalan Dolfie Tanor menjadi Kepala Daerah, Suhendro Boroma menulis artikel pendek yang “menghibur” saya. Intinya, selama Kepala Daerah tidak dipilih langsung (pilsung) oleh rakyat, maka jangan harap demokrasi dalam arti sesungguhnya dapat terwujud. Ia menunjuk sistem perwakilan sebagai penyebab akar ketidak-puasan masyarakat. Seandainya, ya seandainya saja, rakyat dapat memilih langsung, maka tekanan penguasa, tekanan tentara atau uang sogokan sekalipun, akan sulit menyetel hasil pemilihan.

September 1999, ketika artikel-artikel saya menggunakan realitas politik untuk “meramal” AJ Sondakh dan Freddy Sualang memenangi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan mengalahkan E.E. Man-gindaan, ia kembali menulis catatan kecil di harian ini. Mengingatkan saya bahwa realitas politik tidaklah ideal dan memadai ketimbang pilsung oleh rakyat sendiri.

Seingat saya, dua tulisan pilsung Suhendro Boroma ketika itu ibarat konduktor orkestra yang menyajikan lagu klasik di tengah komunitas penggemar musik dangdut. Tak ada apresiasi, tak ada tanggapan, tak ada wacana, lewat begitu saja, seolah substansi tulisan itu adalah utopia, mimpi indah yang hanya terjadi di negeri antah berantah.

Waktu berlalu dan tiba saatnya penggantian Kepala Daerah Dolfie Tanor. Orkestra yang sama - pilsung - kembali ia sajikan. Namun kini komunitas pendengarnya - masyarakat Minahasa - sudah berubah. Gayung mulai bersambut. Apresiasi berdatangan. Wacana mulai berlangsung. Dari
www.mdopost.net (MPOnline), saya membaca berbagai dukungan yang meluas, antara lain dari Johnny R. Lumolos (UNSRAT), Dave Kusoy ( Wawalintoan, Tondano), Christian Roboth (Tataaran II), Andrie Umboh dan kolumnis Pitres Sombowadile. Apresiasi, yang saya percaya mewakili sebagian besar akal sehat rakyat Minahasa yang diam tapi setuju (the silent majority).

Tak heran menyambut ramainya aprersiasi yang kian menggebu, Suhendro Boroma – sang konduktor orkestra pilsung itu - kembali menulis catatan, yang kali ini lebih menukik,
“Minahasa, Pilot Project Pilsung Kepala Daerah” (MP 18/7/02). Namun berbeda dengan artikel senada pada dua dan lima tahun lalu, ia kini mengedepankan realitas sosio-kultural Minahasa yang dikatakan “sudah berurat-berakar dan berlangsung ratusan tahun sebagai salah satu pilar utama”.

Sebagai orang Minahasa diasphora (perantau), saya haru dengan pujiannya yang begitu menghargai tinggi kultur demokrasi Minahasa. Karena saya sendiri – dalam beberapa artikel di harian ini – sering mulai meragukan kesadaran berdemokrasi masyarakat di tanah Toar Lumimuut itu, yang dalam banyak kasus, sudah jauh di belakang kesadaran berdemokrasi para leluhur.

Pasalnya, proses dekulturasi yang dilakukan rezim Orde Baru secara sistematis selama 32 tahun telah nyaris memusnahkan kultur Minahasa (antara lain ketentuan-ketentuan adat yang demokratis dan egaliter). Soeharto atas nama 'stabilitas dan pembangunan' melalui instrumen birokrasi pemerintahan yang dikawal tentara telah berhasil menyuapi kita dengan tatanan feodalisme monarki Jawa dalam bingkai formalisme demokrasi (demokrasi palsu) yang berpusat pada kekuasaan satu orang.
Masyarakat dijejali simbol-simbol monarki yang kadang kala tidak lebih dari tahayul, seperti sakralisasi tanggal 11 Maret. 'Hukum Tua' diganti 'Lurah', kota diganti 'kotamadya', 'bapak' dan 'ibu" menjadi sebutan berkonotasi ‘tuan’ dan ‘nyonya’ para petinggi terhormat, sementara di Jawa panggilan tersebut lazim saja untuk pak sopir mikrolet, pak tukang ojeg atau mbok jamu.
Di depan pejabat berjalan terbungkuk-bungkuk dengan dua tangan di pangkal paha, atau berdiri tegak menghormat layaknya tentara. Istilah Kepala 'Jaga' diganti Kepala 'Dusun', hiasan 'janur kuning' dimana-mana, dan seterusnya.
Lalu demi stabilitas dan pembangunan juga, yang layak menjadi Kepala Daerah atau gubernur haruslah tentara yang telah lama bermukim di Jawa, karena konon “situasi dan kondisi Minahasa dan Sulut cukup rawan” (baca : wilayah bekas PERMESTA).
Justifikasi-justifikasi itu terus dicekoki kepada rakyat agar presiden totaliter, gubernur, Kepala Daerah, camat dan jajaran birokrasi totaliter, resisten terhadap kedaulatan rakyat. Sementara muara dari proses Jawanisasi atau feodalisasi itu tidak lain adalah KKN(korupsi-kolusi-nepotisme) yang sampai kini masih menyengsarakan rakyat.

Jawanisasi atau feodalisasi (baca : pemusnahan kultur Minahasa), sadar tak sadar masih terus dikembangkan oleh para elit politik dan birokrasi. Ia telah menjadi bagaikan penyakit kanker yang sulit diobati, karena memang cocok untuk mengawal kekuasaan. Tak heran “ekor” dari justifikasi model Orde Baru masih saja menghiasi halaman-halaman harian ini, dalam bentuk pernyataan penolakan pilsung dengan alasan “dapat memicu konflik” (bahasa Orde Baru: “mengganggu stabilitas dan pembangu-nan”), “belum waktunya”, bahkan menuding kesadaran politik masyakat sebagai “masih rendah”. Atau, pilsung adalah ekstra yudisial, padahal seperti tulis Bung Suhendro, mereka “membentengi diri dengan UU No 22/1999 dan PP 151/2000 sebagai 'tameng' mempertahankan kenikmatan menjadi anggota DPR”.

“Ekor” yang lain terlihat pula pada kegemaran berwacana mengidentifikasi keunggulan-keunggulan sosial-politik-ekonomi, genealogi Minahasa dalam ber-NKRI, berotonomi daerah, bernegara federasi, bahkan ber-"Minahasa Raya Merdeka", yang semuanya tidak lebih dari reaksi frustatif dan berlebihan terhadap sisa-sisa “roh” sentralisasi kekuasaan yang diwariskan rezim Orde Baru. Sementara wacana fundamental yang menyangkut kemajuan peradaban dan pemulihan harkat martabat rakyat Minahasa, seperti pilsung Kepala Daerah, justru tidak digubris.

Maka menjawab pertanyaan Suhendro Boroma dan
the silent majority rakyat Minahasa: Apakah DPR Minahasa ingin menjadi pelopor sekaligus menancapkan praktik yang luhur dalam kultur politik dan peradaban demokrasi di Indonesia? Ataukah mereka membentengi diri dengan UU No 22/1999 dan PP 151/2000 sebagai 'tameng' mempertahankan kenikmatan menjadi ang-gota DPR? Saya akan menjawabnya demikian: Selama mereka belum melakukan pemerdekaan kultural dari belenggu tatanan kultur feodalisme Jawa yang ditinggalkan rezim Soeharto, mereka tidak akan pernah dapat menciptakan momentum kepeloporan dan peluang untuk membuat sejarah bagi kemajuan peradaban demokrasi di Indonesia. Tanpa melepaskan diri dari belenggu itu, DPRD Minahasa akan tetap mempertahankan hak-hak eksklusif politiknya dan tidak akan menyerahkanya kepada pemilik kuasa (daulat) yang sesungguhnya, yakni rakyat. Mereka tak akan mampu menjadi pelopor, apalagi menancapkan praktik luhur dalam kultur politik sebagai sumbangan berharga bagi peradaban Indonesia secara keseluruhan.

Masalah lain adalah, untuk pemerdekaan ini, Minahasa memerlukan Sam Ratulangi-Sam Ratulangi muda yang pemberani, berharkat martabat demokratis, egaliter, rela berkorban, seperti para leluhur Minahasa. Dan kita belum lagi memiliki Tou Minahasa seperti itu. Nama besar itu baru sebatas mampir dalam tempelan nama
aiport dan nama kampus universitas. #

40. CINGKE, PAK GUBERNUR, CINGKE !

SURAT TERBUKA UNTUK GUBENUR SULUT

Willy H. Rawung
MANADO POST 11 Juli 2002

SAYA kira bapak sudah cukup maklum bahwa petani cingke (cengkih) Sulut sedang bernasib malang. Harga yang dipatok pembeli telah di'terjunbebas'kan dari sekitar Rp 80 ribuan per kilo menjadi Rp 20 ribuan. Konon akibat dari kombinasi antara panen raya dan ulah spekulan yang membanjiri pasar dengan cingke impor. Tetapi apakah Bapak cukup sadar bahwa jika soal ini tidak segera diatasi dapat menimbulkan akibat-akibat yang cukup serius?

Prof. Adolf Sinolungan dan kawan-kawan dari Tim Petani Cengkih memang telah menggedor Komisi V DPR, Dirjen Pedagangan Luar Negeri, Dirjen Pedagangan Dalam Negeri, Dirjen Perkebunan serta beberapa fraksi partai di Senayan. Tapi apa itu cukup? Di negara seperti ini, di mana KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) masih bersimaharajalela, penghormatan kepada hukum masih di bawah standar dan pemerintah yang cenderung lebih berpihak kepada para produsen rokok sebagai pembayar cukai ketimbang kepada petani, Tim ini hanya berhasil mendapat janji pelarangan impor cingke. Dan tiada yang dapat menjamin bahwa itu bukan janji-janji kosong belaka. Sebab apa Pak Gubernur, kita sama-sama tahu bahwa anjloknya harga cingke bukan semata-mata soal ekonomi belaka. Banyak sekali pihak-pihak berkepentingan yang mengambil keuntungan dari situasi ini.

Ya, siapa yang dapat menjamin pengawasan atas larangan ini, jika mobil mewah saja bisa diselundupkan seenaknya dengan melibatkan pejabat Negara. Produk elektronik selundupan dari Cina membanjiri pasar, BBM untuk keperluan lokal bisa dijual ke luar negeri, maka apalah artinya cingke, yang bukan kebutuhan pokok itu. Di bisnis yang bergelimang uang, jangan harap akan ada pengawasan yang efektif dari aparat pemerintah.

Bapak telah pergi ke Amerika Serikat dan Eropa mengkampanyekan Sulut sebagai daerah paling aman di Indonesia dan dihuni 'anak-anak manis' sehingga ideal bagi investor asing. Tetapi pak, kampanye bapak terancam bisa menjadi kebohongan publik, jika akibat rendahnya harga cingke menyulut hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadi di daerah-daerah lain. Peristiwa di pelabuhan Cirebon, misalnya, di mana sekitar 1.500 petani dan penebang tebu serta pekerja pabrik gula yang marah menyerbu sebuah gudang, bahkan nyaris membakarnya karena berisi 3.000 ton gula pasir impor, harus menjadi pelajaran. Walau masyarakat Sulut adalah manusia santun yang tahan menderita, religius dan tak sampai hati berbuat anarki. Tidak berarti bapak hanya boleh berpangku tangan memandangi fenomena ini.

Pak Gubernur, barangkali bapak masih ingat, ketika ahasiswa-mahasiswa Jakarta jatuh bangun berdarah-darah berdemonstrasi menjatuhkan rezim Soeharto dan mendirikan Orde Reformasi, sebagian besar rekan-rekan mereka di Sulut menentang gerakan-gerakan itu atau memilih sikap 'safety first', tinggal di kampus dan menjadi penonton saja. Tetapi tidak berarti mereka akan diam seribu bahasa jika nasib petani cingke kian menderita.

Ketika pasca PERMESTA kita tidak melahirkan lagi generasi pemberani dan pemberang seperti generasi Sam Ratulangi, Daan Mogot dan Lambertus Nicodemus Palar, tak berarti generasi muda Sulut memilih menjadi pecundang jika nasib petani cingke kian runyam.

Maka itu Pak Gubernur, jika bapak dalam setahun puluhan bolak-balik ke Jakarta, seharusnya saat ini bapak tinggal saja barang sebulan dua bulan di kantor Perwakilan Pemda Sulut di Jakarta memperjuangkan nasib petani kita, dan tidak pulang sebelum berhasil.
Sebab daripada merenung-renungkan deposito Rp. 72 milyar, lebih baik bapak segera membangun "Crisis Center" di situ sebagai pusat pengendalian perjuangan. Sertakan seluruh potensi masyarakat Sulut di Jakarta. Lalu bersama-sama seluruh anggota DPRD dan potensi masyarakat lainnya, bapak sampaikan aspirasi petani cingke langsung kepada Presiden Megawati, Wakil Pre-iden Hamzah Haz, Ketua serta Wakil-Wakil Ketua MPR dan DPR, Ketua-Ketua Partai. Dan lakukan lobi intensif dengan asosiasi pabrik rokok atau pengguna cingke. Pokoknya hubungi dan ajak dialog semua pihak yang terkait dengan masalah ini.

Intinya Pak Gubernur, bapak harus segera menyatukan seluruh potensi masyarakat Sulut di daerah dan di luar daerah untuk berjuang bersama bahu-membahu, di mana bapak menjadi pemimpin dan pengendali utama.

Jika benar pemerintah pusat mengeluarkan larangan impor, bentuklah satuan-satuan tugas dari unsur-unsur LSM untuk mengawasi kebijakan publik itu agar tidak timbul kecurangan dan kebohongan. Sebab yang kita hadapi adalah gabungan para spekulan dengan para konglomerat pemodal besar plus pabrikan-pabrikan rokok yang sebagian besar sudah
go public dan saham-sahamnya diperjualbelikan di Pasar Modal.

Maka itu segera juga keluarkan biaya operasional dari Deposito Rp.72 milyar itu untuk memperjuangkan nasib rakyat petani cingke. Sebab mereka benar-benar sedang menghadapi keadaan yang sangat-sangat darurat. Saya yakin biayanya tidak akan lebih besar dari nilai yang Bapak keluarkan ketika berkunjung ke luar negeri, juga akan lebih kecil dari biaya-biaya studi banding dari anggota-anggota DPRD yang gemar pesiar ke luar daerah.

Setelah dua tahun menjadi penguasa, saya tetap berharap Bapak dapat menjadi pemimpin rakyat Sulut dalam artian sebenarnya. Karena sudah lama Sulut menantikan kehadiran seorang pemimpin. Untuk itu tiba saatnya bapak berhenti menjadi sekedar semacam General manager pemerintahan daerah yang memilih bersikap diam mengabaikan kritik masyarakat dengan berlindung di bawah naungan Partai.

Akhirnya saya mohon maaf jika surat terbuka ini sepertinya terasa memarahi atau menggurui bapak. Tuhan kiranya tetap menyertai Bapak dan keluarga. Terima kasih. #

39. 'DEMOKRATISASI’ KKN BISA GAGALKAN MINSEL-TOMOHON

Willy H. Rawung
MANADO POST 1 – 2 Juli 2002

UNTUK memelihara rezim otoriter Orde Baru selama 32 tahun, Soeharto paling tidak menempuh dua cara. Pertama, menyemaikan kultur feodalisme Jawa ke segenap penjuru Tanah Air.
Kedua, terus-menerus melimpahi birokrasi pusat-daerah dan elit ABRI-GOLKAR-PDI-PPP-KORPRI dengan dana APBN, BANPRES plus pangkat dan jabatan. Setiap tahun seluruh birokrasi daerah juga diberi jatah dana pembangunan. Dan semua dana itu – menurut World Bank dan Kwik Kian Gie – berkecukupan untuk dikorupsi sekitar 30 prosen masuk kocek pribadi.
Dengan dua cara itu, segenap jajaran birokrasi-ABRI-GOLKAR-PDI-PPP-KORPRI mempersembahkan kesetiaan dan dukungan penuh kepada rezim Orde Baru serta melayani Soeharto layaknya raja absolut tanpa cela (the king can do no wrong).

Soeharto paham bahwa untuk jangka panjang, kekuatan senjata atau kekerasan mustahil dapat membangun kesetiaan (loyalitas). Yang paling efektif membangun loyalitas adalah kombinasi antara kultur feodalisme Jawa dengan izin tak tertulis (restu) untuk mempraktikan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kalau ada kasus-kasus KKN yang sampai ke pengadilan, maka itu hanya untuk kelas
waloa (ikan teri), dan tetap di bawah kontrol, sekedar bukti kepada rakyat dan dunia internasional bahwa ia menjalankan pemerintahan yang bersih. Sebab sumber utama dana untuk ber-KKN adalah dana pembangunan yang terutama berasal dari pinjaman-pinjaman internasional (IMF, World Bank, ADB, dan lain-lain) yang jumlahnya sekarang telah mencapai ribuan triliun rupiah sehingga belum tentu dapat kita lunasi setelah generasi ketujuh.

Baru ketika Indonesia dilanda krisis moneter dan badan-badan dunia itu menghentikan pinjaman, Soeharto pun kehabisan uang untuk membiayai loyalitas. Sumber dana untuk para penikmat KKN menipis.
No money, no loyality. Tiada uang, tiada kesetiaan. Dan ketika pada saat bersamaan rakyat menjadi marah dan Jakarta dilanda kerusuhan berdarah dibarengi gelombang demonstrasi mahasiswa Jakarta yang tak terbendung, para loyalis Soeharto (segenap jajaran birokrasi-ABRI-GOLKAR-PDI-PPP-KORPRI) pun segera balik kanan menjauh, dan rezim Orde Baru ambruk.

Orde Baru tumbang, digantikan oleh – sebut saja - Orde Reformasi. Namun ironinya, Orde Reformasi tetap meneruskan KKN Orde Baru. Pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid dan kemudian Presiden Megawati – meski terpilih secara demokratis – terlalu lemah dan gagal menghentikan KKN. Akibatnya KKN tetap marak, bahkan semakin tidak terkendali dan berkembang menjijikan serta tidak bermalu sampai kepada instrumen ekonomi rakyat seperti KUD.
Lomba korupsi-kolusi-nepotisme terus saja terjadi seperti pada era Soeharto, hanya wajah pelakunya yang berubah. Prosentase uang rakyat yang dititipkan kepada pemerintah, tetap 30 prosen-nya disabet masuk kantung pribadi, kata Kwik. Tidak mengherankan jika pemilihan pejabat publik, baik di pemerintahan maupun di BUMN/BUMD masih saja menggunakan gaya rezim Soeharto: koncoisme, kawanisme, siapa dekat dia dapat. Bahkan sekarang lebih hebat: meski teman, kalau ada uang, dia dapat. Pertimbangan profe-sionalitas bukan acuan utama. Seperti tulis Audy Wuysang, “meritokrasi, penempatan seseorang atas dasar keahlian dan prestasi belum menjadi sebuah ‘budaya politik’ negeri ini”
(MP 19/6/02).

Harta republik tetap jadi “barang jarahan” yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat, sementara sebagian besar rakyat harus membayar dengan sangat mahal. Praktik KKN justru kian merajalela, makin merata, kian oportunis. Bahkan mereka yang menganggap diri pejuang-pejuang demokrasi di lembaga-lembaga berwajah humanis pun tak lepas dari permainan kotor ini. Juga para professional tak ketinggalan, ikut menjarah harta republik. Lingkungan sosial pun terus mendukung, sementara pemerintahan justru makin melemah, sehingga fungsi pengawasan internal secara substansial tidak berjalan
(Wajah Baru KKN – A. Prasetyantoko, Kompas 23/5/02). Suatu bentuk yang penulis sebut sebagai ‘demokratisasi’ KKN.

Orde Reformasi - pencipta demokratisasi politik dan pemulihan hak-hak politik rakyat – jelas telah menciptakan pula demokratisasi KKN. Orde Reformasi tiada beda dengan Orde Baru ketika berkaca di depan cermin KKN, sama dalam hal rebutan mencari kesempatan “menjarah” uang rakyat. Pemerintahan yang kuat dan parlemen yang mampu mengawasi pemerintah masih menjadi mimpi, bila setiap tahun anggota parlemen pusat dan daerah pasang tarif yang harus dibayar pihak eksekutif untuk menggolkan laporan tahunan.

Pengawasan obyektif Fraksi Partai Golkar DPRD Sulut terhadap Gubernur/Ketua Partai Golkar Adolf J. Sondakh yang terus dikritisi rakyat dalam kasus deposito Rp. 72 milyar menjadi kemustahilan, ketika KKN telah menjadi karakter elit partai partai politik dan meluas merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tak mengherankan para petani cengkeh dan para penyuling ‘cap tikus’ pun tak segan mengamuk karena tak percaya kepada pemerintah yang sarat praktik KKN.

Dalam realitas ini, kekhawatiran kita sekarang ialah bila demokratisasi KKN mendapatkan
kobong (kebun) baru di MinSel-Tomohon. Ketika korupsi-kolusi-nepotisme dipraktikan dalam proses pembentukan manajemen pemerintahan, sejak dari menetapkan Pelaksana Harian (PLH) Bupati dan Walikota sampai pada penempatan aparat birokrasi dan dinas-dinas pelayanan masyarakat, yang pemilihannya tidak mengacu pada profesionalitas dan obyektifitas. Tetapi pada kolusi, hubungan keluarga, tamangisme, siapa setor uang paling banyak dia dapat.

Belum lagi jika pengangkatan pejabat-pejabat publik ini ikut pula diperebutkan oleh elit partai-partai politik sebagai bagi-bagi kekuasaan untuk mencari dana operasional partai dan dana kampanye Pemilu tahun 2004, serta bagian dari strategi membangun loyalitas seperti dilakukan Soeharto.

Bila hal ini terjadi, maka manajemen pemerintahan MinSel-Tomohon terancam mengalami kegagalan. Gagal bukan disebabkan kurangnya dukungan rakyat, PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tidak mencukupi, minimnya sumber dana dari APBN, atau terbatasnya sumber daya, tetapi gagal karena demoralisasi dan mismanagement yang terjadi akibat demokratisasi KKN itu. #

38. MINSEL-TOMOHON KHIANATI AMANAT WATU PINAWETENGAN?

Willy H. Rawung
MANADO POST, 4-6 Juni 2002


TANGGAL 13 Mei 2002 yang lalu dengan surat bernomor RU.02/2208/ DPR/RI/2002, Sekjen DPR RI mengedarkan kepada seluruh Anggota DPR RI berkas Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan (MinSel) dan Kota Tomohon, bersama-sama dengan Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore.

Apabila tingkat-tingkat pembicaraan dalam proses mekanisme berjalan lancar maka pada bulan Juli 2002 mendatang mestinya Rapat Paripurna DPR RI sudah dapat mensahkan RUU tersebut. Dan kalau pun sampai mengalami kendala-kendala teknis, maka kelahiran kabupaten dan kota ini akan molor paling lambat sampai bulan September.
Singkat kata, hampir dapat dipastikan dalam tahun ini juga MinSel dan Tomohon sudah memiliki manajemen pemerintahan daerah sendiri yang lepas dari Kabupaten Minahasa.

Dengan proses ini cukup jelas pemekaran MinSel dan Tomohon bukan main-main, sekedar coba-coba atau semacam
trial & error. Sebab selain harus memenenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan Undang-Undang, pemekaran ini adalah langkah manajemen yang mutlak diperlukan mengingat dengan 38 Kecamatan yang kini dimilikinya, Kabupaten Minahasa sudah benar-benar overloaded. Bandingkan dengan Kabupaten Bangka dan Halmahera Timur yang hanya memilkiki 4 Kecamatan.

Pemekaran MinSel–Tomohon tentu tidak dimaksudkan untuk semata-mata kepentingan rakyat MinSel–Tomohon saja tetapi untuk Minahasa dan Sulawesi Utara bahkan untuk Indonesia. Sebab sejarah pun telah mencatat bahwa rakyat MinSel, misalnya, tidak pernah berpikir untuk mengangkangi wilayahnya untuk dirinya sendiri saja. Tengoklah wilayah Tompaso Baru dan Modoinding yang menjadi wilayah kolonisasi untuk saudara-saudaranya dari wilayah Minahasa Tengah.

Bahkan penulis sendiri adalah generasi ketiga yang mendiami desa Paku Ure, setelah moyang kami bermigrasi dari wilayah Sonder. Sehingga sama sekali tidak benar jika pemekaran MinSel-Tomohon boleh dihujat sebagai seolah-olah "pengkhianatan" terhadap amanat kultural
Watu Pinawetengan (Manado Post 15/5/02).

Wacana ini jelas tidak rasional dan tidak mimiliki akarnya dalam tradisi kultural Minahasa. Salah satu peribahasa kuno Minahasa berbunyi :
Sa Cita Esa, Telu Cita - Sa Cita Telu, Esa Cita (terjemahan bebas : Kita bersatu, karena kita bertiga – Kita bertiga, karena kita bersatu). Substansinya dalam pemikiran moderen adalah ikatan kultural bersifat lintas batas kewilayahan (borderless), tidak dapat dipisahkan oleh sekat-sekat apa pun, apalagi oleh sekat manajemen pemerintahan.
Hal yang juga dinampakan oleh para Kawanua yang "tumani" di perantauan
(diasphora) seluruh dunia, yang dalam beberapa hal justru lebih kokoh mempertahankan dan memelihara ikatan adat dan kesatuan kultural dengan tanah leluhur, karena memang tidak mungkin ikatan adat dan tradisi kultural ke-Minahasa-an dapat dimusnahkan oleh tempat kita berdomisili.


Sebab itu pemekaran Tanah Toar Lumimuut menjadi dua atau - bahkan - tiga kabupaten atau dua kota lagi, tidak perlu menjadi kekuatiran kultural. Penulis amat yakin tentang hal ini, sebagaimana keyakinan masyarakat Minahasa mempersembahkan Bitung dan Manado menjadi kota-kota berpemerintahan sendiri yang lepas dari manajemen pemerintahan Kabupaten Minahasa.

***

Amanat
Watu Pinawetengan yang diamanatkan turun-temurun sebagai Nuwu i Tua (Nuwu = ucapan atau sabda. Tua = Sang Pemimpin), lengkapnya adalah sebagai berikut :

Sapake si koyoba'an anio, tana ' ta imbaya!
Asi èndo makasa, sa mè è si ma'api
Wètèngen ing kayoba’an !
Tumani è kumeter
Mapar è waraney
Akad sè tu'us tumou o tumou tou

Terjemahan bebas : Bahwa tanah tumpah darah ini, ialah milik kita semua. Bila pada saatnya, sang burung manguni memberi tanda. Bagi-bagikanlah itu, wahai para pemimpin. Bagi-bagikanlah tanah ini. Bukalah lahan pertanian baru, wahai pemimpin kerja. Kuasailah itu, wahai serdadu perkasa. Agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup.
Cerita guru tua KB Masinambouw yang banyak persamaannya dengan kisah Pastor Domsdorff, dan menjadi sumber utama artikel Mr FD Holleman dalam “De verhouding de gemeenschap-pen-familie, dorp en district in Minahasa,”Ind. Gen. 1929 - Bert Supit dalam “Minahasa, Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Mi-nawanua”, Penerbit Sinar Harapan, 1986).

Menurut Supit, sekurang-kurang-nya telah terjadi dua kali
Nuwu i Tua. Pertama, dilakukan oleh keturunan Toar-Lumimuut. Kedua, setelah migrasi subetnik Tou Singal (kemudian dikenal sebagai : Tondano) dari pulau Tidore yang mendarat di Tanjung Pulisan dan diizinkan oleh walak Tounsea untuk mengapar (menguasai) daerah yang kini dikenal sebagai Tonsea Lama.

Disusul migrasi subetnik Tounsini atau Tounsingin (Tounsawang), juga dari pulau Tidore
(N Graafland – Bert Supit, ibid). “Penerimaan baik leluhur Toar-Lumimuut terhadap dua subetnik pendatang tersebut adalah sebab Tondano dan Tonsawang menerima totalitas dan kesahihan Nuwu I Tua sebagai persyaratan adat untuk berserikat dalam keturunan Toar-Lumimuut. Dengan tunduknya Tondano dan Tonsawang terhadap Nuwu, kehadiran kedua subetnik itu di Minahasa menjadi sahih yang memberi kepada mereka hak-hak hidup dan hak-hak perlindungan wilayah, termasuk hak-hak menjadi "anak-anak keturunan Toar-Lumimuut", tulis Supit selanjutnya.

Perang Tondano (1808-1809) adalah contoh klasik yang tiada duanya tentang kepatuhan terhadap
Nuwu i Tua, yakni ketika seluruh Minahasa - termasuk Tondano - menabalkan Lontho ukung Kamasi Tomohon sebagai pemimpin peperangan. Sementara Tewu dan Matulandi – yang nota bene dari Tondano - berada di lini kedua.

Penabalan Lontho membuktikan bahwa
Nuwu adalah pemersatu seluruh subetnik seantero Minahasa dalam perang melawan kolonial yang amat berdarah itu. Bahwa Lontho yang Toumbulu terpilih sebagai pemimpin Perang Tondano karena ia memang lebih kredibel dari yang lain untuk jabatan tersebut, harus diteladani sebagai kesadaran nilai yang luar biasa dari para leluhur Minahasa.

Dapat dibayangkan jika ketika itu Tondano menolak Lontho karena alasan naif, semisal mempermasalahkan asal usul subetniknya yang dari Tomohon, maka hancur luluhlah tatanan
Nuwu i Tua dan musnah juga "batu penjuru" yang membuat seluruh subetnik di Minahasa ketika itu hidup dalam kesatuan, ketenteraman dan harmoni.
Syukurlah para leluhur belum mengenal penyakit politik praktis yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kenaifan etnosentrisme yang dapat mengakibatkan Minahasa pecah tercabik-cabik sebelum bertempur melawan Belanda


Bahwa kepatuhan kepada tatanan
Nuwu i Tua juga terlihat ketika para pejuang itu porak poranda dibantai Belanda dan sisanya menyingkir ke dalam hutan-hutan (tumalun) di wilayah MinSel. Mereka semua disambut dengan hangat dan banyak yang tidak kem-bali lagi ke asalnya dan memilih menetap turun temurun di wilayah MinSel. Pengalaman yang sama dapat pula ditanyakan kepada para pejuang PERMESTA dari wilayah Minahasa Tengah dan Utara yang pada umumnya menyingkir ke wilayah MinSel. Apakah mereka pernah ditolak hanya karena mereka berasal dari Tondano atau Remboken, misalnya? Tidak, sama sekali tidak! Karena jiwa Nuwu i Tua itu tegas menyatakan Sapake si koyoba'an anio, tana'ta imbaya (Bahwa tanah tumpah darah ini, ialah milik kita semua)!

Bukan itu saja. Jiwa dan semangat
Nuwu inilah pula juga yang telah mendorong lahirnya pemukiman-pemukiman Minahasa di seluruh Nusantara bahkan di beberapa bagian dunia. Yang kendati berhadapan langsung dengan tatanan moderen, tetap terpanggil untuk berserikat, ber-Kawanua, seperti nampak pada terorganisasinya para Kawanua berdasar taranak dan roong di seluruh Tanah Air, Eropa dan Amerika Serikat.

Maka sungguh amat memprihatinkan membaca wacana yang memahami substansi Amanat
Watu Pinwetengan secara di luar konteks, dengan menyatakan seolah-olah pemekaran MinSel-Tomohon adalah “pengkhianatan” terhadap Amanat Watu Pinawetengan.
Padahal jika kita mau sedikit saja memahami substansinya, dengan menangguhkan pemekaran Kabupaten Minahasa yang kini telah jenuh dengan 38 kecamatan itu, kita justru telah menyimpangkan Amanat itu. Sebab jika kita setia mengikuti tradisi kultural Minahasa, di mana
Nuwu i Tua pertama hanya menyangkut leluhur Toar–Lumimuut dan Nuwu i Tua kedua setelah Tondano dan Tonsawang diterima dalam keturunan Toar–Lumimuut, maka kita seharusnya memandang Nuwu i Tua ketiga saat kita memekarkan Kota Manado sebagai ibukota provinsi Sulut dan Nuwu i Tua keempat ketika kita memekarkan Bitung menjadi Kota. Lalu pemekaran MinSel-Tomohon ini mestinya kita terima sebagai Nuwi i Tua kelima.

***

Untuk itu saudaraku para Kawanua, substansi
Nuwu i Tua jelas melarang kita, manusia Minahasa, menjadi manusia subetnosentris, semacam MinSelsentris, Amurang-sentris, Tondanosentris, Tomohonsentris, Tounseasentris, Manadosentris, Bitung-sentris atau yang sejenisnya. Berapa kali pun kelak kita melakukan pemekaran sesuai tuntutan dan perkembangan manajemen pemerintahan daerah, hendaknya kita tidak lagi mengaitkannya secara salah kaprah kepada subsantsi Amanat Watu Pinawetengan itu. Apalagi menaifkannya sebagai argumentasi untuk wacana bertujuan politik praktis yang hanya menguntungkan diri sendiri, kelompok atau golongan.

Mari kita hentikan dan tidak memberi peluang bertunasnya kenaifan subetnosentrisme itu. Apalagi dengan wacana-wacana yang bersifat menghujat, seperti “pemekaran MinSel-Tomohon pengkhianatan terhadap
Amanat Watu Pinawetengan” atau “menyudutkan Tondano”, “infrastruktur harus dikembalikan ke Tondano” dan yang sejenisnya. Percayalah saudaraku, mengembangkan wacana-wacana demikian adalah sia-sia, kontra produktif dan merugikan kesatuan kultural kita sendiri, etnik Minahasa! #

37. MENYAMBUT TERPILIHNYA SONDAKH-SUALANG

INKLUSIF, REKONSILIATIF DAN GOOD GOVERNANCE

Willy H. Rawung
MANADO POST 1 Maret 2000

HAMPIR dua tahun lalu saya menulis ulasan bertajuk "Ketua DPD Golkar Sulut 1998-2003 Potensial Jadi Gubernur Tahun 2000" (MP, 26/9/98), sementara menjelang berakhirnya era Mangindaan dalam tajuk "Gubernur Sulut Tahun 2000" (MP 23/11/99), saya mencoba mengetengahkan beberapa logika politik yang konon menjadi awal kristalisasi pencalonan gubernur dalam dalam tubuh Partai Golkar Sulut.

Logika pertama, tak ada lagi serdadu "terpaksa" atau "bapaksa" jadi gubernur sebab "diperintah atasan".
Kedua, TNI/Polri yang mendapat 5 kursi gratis, berkonsentrasi pada tugas pokoknya dan bersikap netral (abstain) dalam pemungutan suara.
Ketiga, DPRD akan menolak rekayasa memilih "kucing dalam karung" yang didrop dari Jakarta sebab umumnya calon Jakarta kurang dikenal dan tidak mengakar dalam masyarakat (untuk soal ini saya berbeda pandangan dengan beberapa fungsionaris KKK Jakarta yang berpendapat sebaliknya).
Keempat, Adolf Jouke Sondakh, Ketua Partai Golkar Sulut yang pemenang pemilu, potensial memenangkan pemungutan suara, dengan syarat mampu berkoalisasi dengan PDI-P.
Kelima, sesuai dengan ucapan-ucapannya sendiri, EE Manghindaan akan menolak dicalonkan. Meskipun "tim sukeses" tertentu akan merekayasa sekelompok orang mengatasnamakan "rakyat" untuk mendukung beliau.

Mengakhiri artikel itu saya memberi catatan bahwa yang dapat mementahkan logika-kogika di atas ialah
money politics (politik uang). Sebab dalam percaturan politik praktis, sang "akar segala kejahatan" itu dengan mudah dapat memelintir segala logika, realitas atau analisis politik siapapun.

Kendati hanya logika keempat yang benar-benar terjadi, namun tak urung beberapa teman di Jakarta menelpon saya memberi selamat saat Sondakh-Sualang terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Sulut periode tahun 2000-2005. +

Ucapan kepada saya tentu salah alamat dan berlebihan. Sebab yang seharusnya berhak menerima ialah mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang memelopori reformasi menumbangkan rezim Soeharto. Tanpa syuhada-syuhada mahasiswa yang tewas di kawasan Semanggi,
nyanda ada cirita Sulut yang benteng utama rezim Orde Baru dapat menikmati buah-buah reformasi, yakni demokratisasi politik yang membuat masyarakat dapat mulai menikmati supremasi sipil.

Dengan reformasi, Sondakh-Sualang terpilih secara
legitimate, boleh dikata setara dengan terpilinya Gus Dur-Mega. Berbeda dengan model pemungutan suara pura-pura pada pemilihan gubernur-gubernur sebelumnya.


Karena terpilihnya Sondakh-Sualang sebagai akibat adanya reformasi, maka adalah layak bila agenda utama mereka ialah mempertahankan dan mengembangkan buah-buah reformasi, yakni demokratisasi dan penegakan hukum
(law enforcement).

Untuk mewujudkannya, tipe kepemimpinan Gus Dur yang inklusif dan rekonsiliatif dapat menjadi acuan. Tipe tirani bertopeng demokrat (munafik) mesti dihindari, dengan - misalnya - tidak menjalankan prinsip
winner takes all (sang pemenang memborong semua).

Dengan menjadi insan inklusif dan rekonsiliatif, adalah bijak, santun dan suatu kemestian bila saudara-sauara kaum muslim diberi kehormatan menduduki Ketua DPRD Sulut. Sehingga kemenangan Sondakh-Sualang tidak semata kemenangan eksklusif Partai Golkar dan PDIP, tetapi juga simbol kemenangan totalitas kultural dan umat beragama Sulut, tanpa kecuali.

Dengan mempraktikkan model kepemimpinan inklusif dan rekonsiliatif gaya Gus Dur, tidak seorang pun lagi akan bertanya-tanya "Siapa kita?" seperti diserukan Katamsi Ginano ketika mengadvokasi kasus "Peristiwa 12 Juni 1998", yakni demonstrasi, pembakaran kertas, perusakan disket dan foto di kantor Manado Post serta 45 menit pendudukan dan penyiaran paksa Radio
Smart FM (MP, 26/6/98). Dan saya pun tak lagi was-was dan perlu ditawari pengawalan Satgas PDIP bila berkunjung ke Manado. Sebab dalam model ini tak ada pemaksaan kehendak dengan kekerasan fisik.
Tiada monolog yang cuma mata dan bukan telinga, yang tak mau mendengar, tuli dan hanya mau melihat. Tak ada dogma bahasa pentungan, senjata dan massa sebagai legitimasi pembenaran dengan siapa yang menentang langsung digebuk. Tak ada penciptaan pribadi pengecut menjadi pemberingas dalam kerumunan massa.

Dalam model ini pula segala kekuasaan-jabatan-status Sondakh-Sualang harus mampu untuk tidak terperangkap dalam lakon marah karena kritik yang diciptakan para profesional birokrat yang akan mereka gauli sebentar lagi. Dan perlu waspada terhadap birokrat-birokrat bertangan besi yang berkebiasaan memaksakan kebenaran dengan menakuti-nakuti rakyat lewat penciptaan "hantu-hantu" SARA (suku-agama-ras-antargolongan) serta lihay menghujat provokator tanpa pernah menangkap apalagi mengadili.
Hati-hati terhadap mereka yang amat fasih memainkan skenario yang membutakan intelektualitas dan kemanusiaan, bertindak pragmatis, menempatkan religi-agama sekadar alat, retorika dan "stempel pos".

Sebagai insan politik, Sondakh memiliki pengalaman sebagai kader dan politisi dari nol (dari bawah) yang terus meningkat dalam pengalaman panjang sebagai langgota DPRD dan DPR serta Ketua Partai Golkar Sulut. Sualang kurang lebih sama. Pengalaman berpolitiknya pun bermula dan jenjang paling bawah. Keduanya tidak punya riwayat sebagai kader karbitan yang miskin pengalaman. Dan untungnya, gubernur dan wakil gubernur ini pernah merasakan pedihnya dikasari penguasa. Sondakh mengalaminya ketika "dikalahkan" Tanor dalam pemilihan Bupati Minahasa, dan Sualang amat menderita dan dikucilkan semasa memimpin PDI Megawati.

Maka dari suka duka pengalaman keduanya dalam berpolitik, saya sedikit optimis mereka akan mampu menjalani dan mengatasi hal-hal di atas, sepanjang mereka tidak berubah jadi orang yang bak kacang lupa akan kulitnya.

Narnun rangkaian optimisme di atas akan menjadi retorika, bila masyarakat sendiri tidak ikut mengawasi kinerja Sondakh-Sualang dan kinerja DPRD seterusnya. Sebab siapa yang tahu apa akan terjadi kelak. Selalu timbul pertanyaan siapa dapat menjamin bahwa demokratisasi dan penegakan hukum telah dijalankan dengan sebaik-baiknya. Siapa akan mengawasi gubernur-wakil gubernur dan DPRD jika keduanya membangun konspirasi yang merugikan rakyat seperti dilakukan rezim Orde Baru.

Bila UU No 22 dan No 25 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan dilaksanakan dan kemungkinan kocek pemerintah daerah kian menggelembung, bagaimana pula masyarakat dapat mengontrol kemungkinan-kemungkinan korupsi secara efektif. Bagaimana kita tahu bahwa secara substansial good governance diwujudkan.

Prof. Dr. Syed Hussein Alatas, "bapak" Sosiologi Korupsi dari Universify of Amsterdam dalam
The Sociology of Corruption yang sampai kini menjadi "buku suci" bagi mereka yang ingin membedah masalah korupsi, ketika mengobservasi korupsi di Indonesia menyatakan, "korupsi yang parah, termasuk di Indonesia hanya dapat dilawan kalau rakyat bersatu, membentuk gerakan melawan pemerintahan dan masyarakat yang korup. Apa yang dilakukan kalangan intelektual seperti sewaktu Indonesia akan merebut kemerdekaan harus dilakukan sekarang dengan mempengaruhi khalayak agar melawan korupsi. Disini media massa mempunyai peran yang penting untuk menimbulkan semangat antikorupsi itu. Kalau gerakan rakyat menentang korupsi semakin besar dan kuat, pemerintah tidak akan berani menindasnya".

Prof Alatas benar, kuncinya ialah rakyat dan media pers. Hanya rakyat bersatu menentang korupsi dengan dukungan media pers yang dapat mencegah atau meredam para penyamun itu. Sebab, "korupsi tak terbendung", dan hampir menjadi semacam budaya birokrasi. Meski semua orang sudah mengetahui dan merasakan korupsi sebagai suatu perilaku yang merugikan rakyat dan kian membikin rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk.
Namun hanya sedikit saja intelektual yang memberikan nilai lebih untuk menjadikan korupsi sebagai sebuah kajian ilmiah, padahal korupsi sudah berlangsung lama, sejak dulu. Kalangan akademisi sebenarnya tak dapat mengangap diri bersih, karena tidak ada kajian komprehensif tentang korupsi yang dapat memberikan kesadaran kepada rakyat untuk melakukan usaha menentang korupsi", tulis Alatas lagi.

Terdorong oleh kesetujuan terhadap tese Prof Alatas, saya pernah mengusulkan agar para reformis Sulut bergegas membentuk "komite penyelamat jarahan harta rakyat Sulut". Supaya kaum KKN - korupsi, kolusi nepotisme - yang selama ini difasilitasi pembina dan elit poltik tidak lagi semena-mena menggunakan hasil jarahan uang rakyat untuk mengkonsolidasi kekuatan dan memecah belah rakyat
(Reformasi-refornasian Gaya Sulut, MP 9/6/1998).

Sayang, usulan itu tak direspons. Kini tokoh-tokoh LSM yang dulu dikenal reformis telah menjadi politisi praktis. Kita belum tahu apakah mereka masih reformis atau tidak. Para mahasiswa sebagai kekuatan moral pun tampaknya tak paham lagi harus berbuat apa dan bagaimana. Sementara Unsrat tak pernah bermimpi membuat kajian komprehensif tentang "budaya" korupsi di Sulut.
Penyadaran dan pemberdayaan rakyat tidak dilakukan sebagaimana mestinya, padahal semua ini penting untuk mencegah, meredam, dan memberantas praktik-praktik korupsi yang kian mengerikan dan kasar.

Diskusi telepon saya dengan Subendro Boroma beberapa hari lalu amat memprihatinkan situasi ini. Media pers Sulut kendati belum memadai sudah menjalankan fungsi kontrol. Narnun seperti ditegaskan Prof Alatas, bagaimana kerasnya pun upaya media pers menjalankan fungsi sosial ini, bila masyarakat tidak memberdayakan diri dalam bentuk - misalnya - LSM-LSM yang mefungsikan diri sebagai
parliament watch, maka kontrol sosial yang akan berlangsung tidak total dan kurang efektif.

Maka kami berdua pun hanya bisa mendambakan semoga para intelektual muda Sulut segera tersadar dan terpanggil membentuk semacam ICW - Indonesian Corruption Watch - sebagaimana dilakukan Teten Masduki di Jakarta. Sebab dengan kehadiran LSM-LSM sejenis ini, konspirasi yang melemahkan fungsi DPRD sebagai benteng suara rakyat dapat teratasi.

Dalam konteks ini kita harapkan duet Sondakh-Sualang mampu menciptakan suasana kondusif bagi lahirnya LSM-LSM dimaksud. Sebab harus dipahami gerakan kesadaran masyarakat mandiri seperti ini adalah mitra - bagai mata dan telinga - pemerintah daerah untuk menebarkan benih-benih reformasi dan mewujudkan
good governance.

Kalau boleh menggunakan analogi para pemerhati Gus Dur-Mega, tiada salahnya kita memberi waktu 100 hari kepada Sondakh-Sualang. Kita akan mencermati langkah-langkah konkret apa saja yang telah mereka lakukan dalam mewujudkan visi dan misi (baca : janji) yang disampaikan kepada DPRD ketika masa kampanye pemilihan yang lalu. Saya berharap 100 hari setelah pelantikan,
Manado Post dapat menseminarkan kinerja pemerintah daerah yang baru ini.

Akhirnya kepada gubernur dan wakil gubernur yang baru patutlah kita ucapkan selamat bekerja.
Pakatuan wo Pakalowiren. #

Senin, 05 Juli 2010

36. ''UNTUNG MASIH ADA GUS DUR''

CATATAN UNTUK ISMIT ALKATIRI

Oleh Willy H. Rawung
MANADO POST 29 Desember 1998

SEJAK zaman kolonial Belanda, masa-masa perjuangan mencapai kemerdekaan, masa pergolakan Permesta, era orde lama, era orde baru dan sampai era reformasi, saya belum pernah mendengar masyarakat Sulut menumpahkan darah semata-mata karena perbedaan agama.

Barangkali karena kerukunan antarumat beragama dan antaretnik/suku (perkenankan saya menggunakan akronim KAUBAE) telah menjadi sikap kultural masyarakat Sulut. Sikap hidup yang diwarisi dari para pendahu itu jelas bukan buah kreasi kita-kita yang hidup di zaman sekarang. Terlebih pula bukan produk rekayasa aparat keamanan atau produk kepiawaian pimpinan daerah dan elit politik.

Dalam pangamatan saya, warisan kultural ini bahkan telah menjadi naluri masyarakat. Contoh, sampai kini keturunan kaum Pangeran Diponegoro yang tinggal bertetangga dan bercampur baur dengan masyarakat Tondano tetap hidup dengan menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Tak pernah terjadi pertumpahan darah karena perbedaan agama atau perbedaan suku. Hal yang sama juga terjadi pada kerabat Imam Bonjol di Pineleng. Desa-desa “Minahasa” dan desa-desa “Jawa” yang berada di wilayah Bolaang Mongondow pun tak pernah menumpahkan darah lantaran perbedaan agama.
Tak heran semasa gubernur HV Worang, dengan entengnya umat muslim dan umat nonmuslim bermapalus melaksanakan MTQ nasional - yang kemudian menjadi fenomenal - di Manado. Sesuatu yang mustahil terjadi bila masyarakat kita tidak memiliki sejarah panjang dalam bernaluri KAUBAE.

Berikut, pada saat-saat awal reformasi digulirkan di Sulut, lalu terjadi perseberangan tajam antara kelompok pro
status quo dan kelompok anti status quo, atau pertentangan antara mereka yang dituduh KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) dengan aksi-aksi para mahasiswa reformis yang anti KKN, kelompok pro status quo sempat kehilangan akal.

Untuk membela diri mereka menggunakan cara-cara provokatif – antara lain – dengan menggunakan isu-isu SARA (suku-agama-ras-antargolongan). Namun sekali lagi, lantaran KAUBAE sudah kadung menjadi naluri masyarakat, provokasi-provokasi tersebut akhirnya padam sendiri tanpa hasil. Isu-isu tolol itu mati bukan karena dicegah kepiawaian pemerintah daerah atau dipadamkan popor senapan aparat keamanan, tetapi ia dibunuh oleh sikap kultural masyarakat Sulut sendiri. Masyarakat yang tak perlu diajar-ajari dalam ber-KAUBAE. Masyarakat yang telah banyak belajar bahwa kerukunan tak boleh menjadi sekedar taktik dan strategi politik, juga bukan alat untuk memuji-muji diri, tetapi adalah substansial dan menjadi bagian dari hidup keseharian dalam bermasyarakat.

Makanya tak seorang pun pribadi atau kelompok boleh mengaku-ngaku bahwa ia adalah pemersatu, pemrakarsa atau pelopor KAUBAE. Lantaran perilaku demikian hanya akan mengurangi hakikat warisan kultural masyarakat Sulut.

Dengan potensi kultural demikian, saya kurang yakin kalau ada provokator – dari dalam maupun dari luar daerah – mampu dalam sekejap merusak atau menghancurkan warisan indah ini. Bahwa kondisi masyarakat Sulut berbeda dengan di luar daerah, memang benar. Dan barangkali dalam memahami perbedaan itulah Bung Ismit Al Katiri sedikit khawatir bahwa sentimen SARA, sebagaimana terjadi di Ketapang dan Kupang, dapat menanam tajinya di Sulut. Sehingga ia merasa perlu memperkenalkan sosok Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada sidang pembaca Sulut (“Meneropong Fenomena Gus Dur”,
MP 17/12/98). Dimana Bung Ismit – antara lain – berpapar tentang ulama besar ini sebagai tidak sekedar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tetapi juga negarawan yang diakui dunia internasional. Seorang demokrat tangguh yang kritis dan berani mengontrol rezim lama justru ketika Soeharto masih kuat berkuasa. Merangkul potensi bangsa untuk merapatkan barisan guna memerangi kezaliman. Menentang diskriminasi dan pengecilan peran kaum minoritas. Humanis sejati yang selalu akrab dengan pemimpin dan tokoh nonmuslim, nasional maupun internasional. Membela warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban aksi-aksi anarkisme. Menghargai martabat “orang kecil” sama dengan penghargaanya terhadap tokoh-tokoh sekelas Wiranto, BJ Habibie daan mantan Presiden Soeharto. “Benar-benar mencirikan diri sebagai figur teladan, sebagaimana yang sikap dan pola tindak Ra-sulullah SAW dalam fungsi dan perannya selaku pemimpin umat. Atau dari segi politis, mencontohi Mahatma Gandhi", tulis Ismit.

Sudah tentu paparan Bung Ismit benar adanya. Namun bagi saya dan mungkin bagi jutaan saudara sebangsa nonmuslim yang kini secara sistematik mulai diberi sebutan baru, “kaum minoritas”, fenomena Gus Dur justru mendapat tempat lebih istimewa. Contoh kecil adalah isi surat Ny. Nunik dari Bandung kepada psikolog Lelila Ch. Budiman, pengasuh rubrik Konsultasi
(Kompas 20/12/98, yang penggalannya saya ambil untuk judul tulisan ini. Dalam suratnya, ibu itu mengeluh, “Perusakan gereja itu sudah untuk kesekian kalinya terjadi. Namun agama yang kami anut, (bahkan mungkin semua agama yang ada di bumi ini) mengajarkan kami untuk berserah/pasrah menghadapinya: ‘Bila ditampar pipi kiri berikan pipi kanannya’. Sebetulnya sejak tahun 90-an kami jarang menerima ucapan selamat Natal dari teman-teman yang berbeda kepercayaan. Katanya dilarang, kami sedih sekali mendengar kata-kata seperti itu dari saudara-saudarta sebangsa sendiri. Di tengan kegalauan dan kecemasan kami, untunglah masih ada ulama besar seperi Bapak Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang secara nyata dan konsisten mau menerima perbedaaan sebagai perekat persatuan. Kami sangat berterima kasih dan senantiasa berdoa untuk kesehatan beliau."

Bagi masyarakat Sulut yang sudah ber-naluri KAUBAE, suasana batin yang dialami Ny. Nunik mungkin terasa aneh. Bagaimana mungkin ada saudara-saudara sebangsa terpaksa beribadah di bekas-bekas puing gedung gereja atau kuil/wihara akibat tindakan-tindakan anarkis atas nama agama oleh pihak-pihak tertentu. Dan mungkin lebih heran lagi mengapa pula Ny. Nunik (saya anggap juga mewakili perasaan saya serta jutaan “kaum minoritas” yang dilanda ke-kawatiran bertetangga dengan “kaum mayoritas”), berpendapat “untung ada Gus Dur”, serta senantiasa mendokan kesehatan beliau (yang justru seorang ulama besar Islam)? Ya, mengapa ?

Bung Ismit, Anda pun tentu tahu, ru-mah Gus Dur di Ciganjur yang terbuka bagi semua orang, tanpa mempersoalkan asal usul suku, agama, golongan dan kebangsaan, dilakukan beliau bukan karena pamrih poli-tik atau lantaran kepincut jadi presiden. Bagi kami, langkah beliau itu kami terima sebagai cerminan iman beliau kepada Sang Khalik. Sehingga bagi kami yang nonmuslim, apa yang dilakukan Gus Dur bukanlah politik praktis dalam rangka “menunggangi” kami, atau sekedar retorika mencari dukun-gan/popularitas dari “kaum minorotas’. Se-baliknya kami memandang tindakan-tindakan ulama besar Islam ini memprakar-sasi rekonsiliasi nasional, dialog nasional, menemui LB Murdani (disebutnya politisi ulung dan pemimpin efektif umat Katolik) plus berdialog dengan sentra-sentra kekua-saan lain, layaknya beliau sedang mewujud-kan hukum “kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri”. Meski beliau tak pernah menyebut kata “kasih” dalam seluruh pernyataan dan tindakannya.
Apa pun yang dilakukannya memang selalu memancarkan kasih kepada seluruh bangsa. Dengan istiqosah, misalnya, beliau dan umat NU (Nahdlatul Ulama) mendoa-kan seluruh bangsa, termasuk mendoakan kami juga. Dengan istiqosah, beliau benar-benar menampilkan Islam secara ramah dan inklusif, yang kami terima sebagai ketulusan, anti kekerasan, kedamaian dan menjauhkan kita semua dari perpecahan dan pertumpa-han darah. Semua langkah beliau itu, ba-rangkali, adalah seperti yang anda maksud sebagai “mencirikan diri sebagai figur tela-dan, sebagaimana sikap dan pola tindak Ra-sulullah SAW”.
Dalam seruan pertemuan Ciganjur 6 Desember 1998 “Hindarkan Revolusi den-gan Rekonsiliasi !” misalnya, yang ditegaskan beliau sebagai agenda paling mendesak dan penting bagi bangsa Indonesia, sungguh relevan dengan seruan kristiani segala abad, “damai dibumi”. Sehingga bagi kami, dan begitu banyak anak bangsa yang mulai dimarginalkan (dikesampingkan) sebagai “kaum minoritas”, penolakan beliau berikutnya terhadap ideologisasi politik yang mengedepankan masalah agama, laksana membangkitkan ulang optimisme untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia, sebagaimana ketika Republik ini diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Membangkitkan kembali semangat untuk merajut nation state (negara kebangsaan), dan mencampakkan segala gagasan untuk mem-bentuk negara agama atau negara suku.
Dari kedudukannya yang istimewa da-lam hati “kaum minoritas” dan tentu pula legitimasi yang dipunyainya di kalangan “kaum mayoritas”, serta posisinya yang mengedepan dalam garda nasionalis, garda kebangsaan, jelaslah paparan Bung Ismit yang lebih memperkenalkan beliau akan lebih mengukuhkan sikap kulural KAUBAE dalam masyarakat Sulut. Sekaligus mengin-formasikan bahwa masyarakat Sulut tidak sendirian. Bahwa Ny. Nunik, saya dan ju-taan anak bangsa, tidak sendirian. Bahwa saudara-saudara muslim di Sulut tidak sen-dirian dalam bernaluri KAUBAE. Dan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir, sebab untung ada Gus dan puluhan juta pen-gikutnya yang berjuang demi kasih kepada masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
Maka dalam suasana bulan suci Ramad-han bagi saudara-saudara sebangsa yang muslim, serta dalam suasana Natal yang pe-nuh damai bagi umat kristiani, tiadalah ce-lanya bila kami pun ikut menguatkan niat Bung Ismit. Seraya meneruskan ajakan Ny. Nunik: mengajak segenap umat beragama untuk senantiasa mendoakan kesehatan Gus Dur.
Tuhan kiranya memberkati beliau dan menjauhkannya dari rupa-rupa mara bahaya dan sakit penyakit. Tuhan kiranya akan selalu ikut campur dalam segala langkahnya menciptakan rekonsiliasi dan kedamaian ba-gi segenap bangsa Indonesia ! #

35. GUBERNUR SULUT TAHUN 2000

Willy H. Rawung
MANADO POST 23 September 1999

BILA Prof. Ishak Pulukadang tertarik pada hubungan antara pemenang pemilu dengan calon presiden (MP 7/7/99), maka saya lebih suka mengamati relasi antara pemenang pemilu di Sulut dengan siapa gubernur baru yang akan dilantik pada bulan Maret tahun 2000 nanti.

Ketertarikan saya mengamati kursi gubernur disebabkan oleh, pertama, sesuai kelaziman formal, bulan September depan E.E. Mangindaan mesti mengajukan permohonan pengunduran diri terhitung bulan Maret tahun 2000.
Alasan kedua, telah saya kemukakan saat menyambut Musdalub Partai Golkar Sulut dalam artikel "Ketua DPD Golkar Sulut 1998-2003 Potensial Jadi Gubernur Tahun 2000"
(MP 26/9/98). Di situ saya menyatakan jika sukses meraih 40 % suara dan mampu menjalin koalisi dengan PDI-P, maka ketua Partai Golkar Sulut potensial menjadi gubernur. Sebab dengan kian menguatnya tuntutan masyarakat akan otonomi daerah yang seluas-luasnya, gubernur tak lagi sertamerta diputuskan oleh Jakarta. Bupati/walikota pun tak lagi diputuskan oleh gubernur atau Jakarta. Sebab DPRD sesudah era Soeharto akan benar-benar berkuasa menetapkan gubernur dan bupati dalam arti sesungguhnya. Sehingga tak akan ada lagi jenderal “kage-kage” (surprised) yang dikirim jauh-jauh dari luar daerah sehinga perlu sok akrab, mengenal-ngenalkan atau mengakrab-akrab-akrabkankan diri dengan rakyat, lantaran ia “orang asing” yang tak dikenal rakyat.
Tak ada lagi serdadu “terpaksa” atau "bapaksa" jadi gubernur sebab “diperintah atasan”. Walau
bagitu so ta dudu, mo suka-suka trus kadua kali (kecuali G.H. Mantik yang walau diminta, tetap konsekwen menolak menjabat dua kali periode).

Analisis saya setahun lalu ternyata pas. Kini Partai Golkar berhasil meraih 19 kursi (42,2 %) dari total 45 kursi DPRD. Berkoalisi dengan PDI-P yang meraih 9 kursi (20 %) akan mengakumulasikan 62,2 % suara yang memastikan kemenangan calonnya untuk duduk di kursi gubernur. Koalisi dengan PDI-P bisa juga dengan mendukung kursi ketua DPRD untuk Freddy Sualang (Ketua PDI-P), misalnya. Sebab Golkar sendiri selain harus mempertimbangkan suara PDI-P di tingkat lokal, juga mesti realistik terhadap kemenangan PDI-P secara nasional. Maaf, disini saya tidak mempertimbangkan 5 kursi gratis yang diberikan kepada TNI, sebab lebih baik mereka berkonsentrasi pada tugas pokoknya dan bersikap netral (abstain) dalam pemungutan suara nanti.

Dalam pada itu dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dimana DPRD hanya memerlukan konsultasi dengan Presiden - itu pun lebih bersifat formalitas - maka boleh dikata mekanisme penentuan gubernur 90 prosen ditentukan DPRD. Paralel dengan pemilihan bupati/walikota, dimana DPRD juga hanya memerlukan konsultasi dengan Presiden. Tidak lebih dari itu. Zaman di mana gubernur selaku orang nomor satu dalam jalur ABG-Golkar memaksa-maksakan kehendak kepada DPRD sudah usai. Pengalaman pahit dalam pemilihan bupati Minahasa lalu yang menyingkirkan AJ Sondakh, misalnya, tak akan terulang.

Dengan substansi demokrasi seperti ini, mustahil Jakarta berani menolak hasil pilihan DPRD. Karena, seperti kata peneliti LIPI Syamsudin Haris, semasa rezim Soeharto, intergrasi dan stabilitas yang dicapai adalah intergrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dari masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarianisme. Maka ketika negara tidak sanggup lagi membiayai dan mempertahankan otoritarianisme politik, harmoni dan integrasi semu Orde Baru berangsur-angsur runtuh pula. Akibatnya akumulasi kekecewaan daerah pun memicu potensi disintegrasi seperti terjadi di Aceh, Riau, Irian Jaya dan Timor Timur.
Dalam negara yang tengah bergolak dan mengalami transisi, kata Syamsudin lagi, potensi disintegrasi bisa bersumber dari berbagai faktor, seperti struktur politik yang sentralistik dan menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di pihak lain cenderung korup, kolusif, nepotis dan monopolitik, yang bisa jadi memperbesar potensi disintegrasi tersebut.

Dalam kesetujuan atas hasil penelitian di atas, adalah tidak realistik bila DPRD masih mau direkayasa memilih 'kucing dalam karung' yang didrop begitu saja dari Jakarta. Dan tak logis pula bila mereka memilih orang yang sama sekali tidak dikenal dan tidak mengakar dalam masyarakat. Apalagi kualitas DPRD hasil pemilu 1999 lumayan baik ketimbang DPRD era Soeharto yang nepotis.

Nah, dengan logika politik di atas, nampaknya tiada ada lagi aral melintang yang dapat menahan Adolf Jouke Sondakh ketua Partai Golkar Sulut, menduduki kursi gubernur pada sekitar 7-8 bulan lagi. Terkecuali - tentu - bila yang bersangkutan sendiri tidak bersedia. Atau ia sendiri dengan rela melicinkan jalan bagi kader lain menggantikannya menjadi orang nomor satu Sulut. Namun kemungkinan ini nampaknya amat kecil. Sebab setelah dihadang secara kasar dalam pemilihan Bupati Minahasa, politisi kawakan putera Tountemboan ini agaknya tak memiliki pilihan selain memanfaatkan peluang emas untuk melakukan
strikes back.

Bagaimana peluang EE Mangindaan? Dalam beberapa kesempatan Mangindan sering menegaskan kepada khalayak bahwa ia hanya bersedia memimpin Sulut untuk satu periode saja. Kendati pidato-pidato semacam itu - pada awal jabatan - terasa kurang bijaksana, namun sikap itu tidak terlalu mengejutkan, mengingat kehadiran gubernur-gubernur tentara sepanjang era Soeharto umumnya berlandaskan instruksi atasan. Bukan atas 'instruksi' rakyat. Di mana DPRD era Orde Baru lazimnya tak lebih dari stempel pos yang hanya menaminkan instruksi atasan itu dalam suatu kemulusan rekayasa politik berlabel "demi hati nurani rakyat".

Namun meski beliau sudah menegaskan hanya untuk satu periode saja, tetapi ya namanya saja Sulut. Lain gubernur, lain elite politik. Jajaran elite politik Sulut boleh dikata mahabintang di blantika politik praktis di Indonesia. Contoh, hari ini mengejutkan masyarakat nasional dan internasional dengan pernyataan "pemilu di Sulut harus diulang". Eh tiba-tiba saja entah mengapa, justru yang lebih dulu "okay" terhadap hasil Pemilu.

Sebab itu dalam permainan politik ini, meski Mangindaan enggan menjadi gubernur lagi, bisa saja elite politik tertentu membentuk 'tim sukses' untuk tetap mencalonkan beliau. Bisa pula besok-besok sekelompok massa mengatasnamakan 'rakyat' dari berbagai kecamatan direkayasa melakukan pressure dalam bentuk runjuk rasa mendukung beliau. Atau mungkinkah Partai Krisna Sulut mencalonkannya lagi, setelah gagal mengusulkan Mangindaan sebagai calon Presiden RI keempat?

Kalau toh permainan jenis ini terjadi juga, pencalonan kembali Mangindaan pasti akan dihadang PDI-P, seperti ditegaskan Freddy Sualang kepada saya melalui telpon berberapa hari lalu. Sikap ketua PDI-P Sulut ini relevan dengan isi pidato Megawati yang menjanjikan penegakkan supremasi sipil dalam pemerintahan baru mendatang. Sementara bagi Partai Golkar sendiri yang konon sudah berparadigma baru, saya pun kurang yakin jika mereka masih mau mengedepankan supremasi serdadu ketimbang memilih bosnya sendiri.

Bagaimana dengan
money poltics? Alkitab menyatakan, "akar segala kejahatan adalah uang". Maka jangan heran bila segala analisis dan logika politik di atas bisa saja dipelintir oleh apa yang disebut money politics (politik uang).

Dalam praktek politik yang tidak beradab itu hitungannya adalah pembelian suara. Misalnya, sang calon pejabat menginvestasikan Rp. 2,3 milyar untuk membeli 23 suara mayoritas anggota DPRD (Rp.100 juta per suara). Dalam tempo lima tahun investasi itu akan kembali berlipat ganda melalui mekanisme KKN (korupsi-kolusi-nepotisme). Kalau tidak punya uang, biasanya ada saja investor yang bersedia memberi dana talangan dengan jaminan diberikan proyek-proyek besar setelah sang calon menduduki jabatan.

Secara hukum, praktek
money politics, KKN, amat sulit dibuktikan apatah lagi yang bermuatan konspirasi politk, mustahil diajukan ke pengadilan. Kendati dengan kasat mata kita dapat menyaksikan di sekitar kita tidak sedikit pejabat birokrasi berkehidupan ekonomi jauh melebihi gaji formal yang diterimanya dari negara. Yang bila kritik dilayangkan oleh para mahasiswa reformis, jawabannya adalah, "Mana bukti, ngoni pe doi so ?". Padahal seperti kata Pradjoto yang membongkar dugaan money politics dalam kasus Bank Bali, uang hasil korupsi itu akhirnya toh ditransformasikan ke atas pundak seluruh rakyat dengan berbagai cara dan mekanisme.
Maka bila permainan celaka ini diterapkan dalam pemilihan gubernur kelak,
so pasti uang itu akan dibebankan kepada seluruh rakyat Sulut dengan berbagai cara.

Semasa rezim Orde Baru,
money politics, KKN dan yang sejenis adalah sah-sah saja. Akibatnya bangsa dan negara mengalami keterpurukan ekonomi secara dahsyat dan membuat rakyat amat menderita. Dalam pemilu lalu, akar kejahatan ini juga sering disebut-sebut sebagai “hantu” yang nyaris menggagalkan pemilu. Bukan hanya itu, dalam pemilihan presiden di MPR nanti, Freddy Sualang pun telah mengkhawatirkan kemungkinan mainan tak beradab itu akan mengganjal Megawati.

Harapan saya, meski Sulut dianggap oleh masyarakat luar daerah sebagai salah satu benteng kekuatan
status quo di wilayah timur Indonesia, kiranya permainan kelaziman rezim Orde Baru itu tidak diberlakukan dalam pemilihan gubernur kelak. Semoga.#

34. SELAMAT JALAN, KNPI DAERAH !

Willy H. Rawung
MANADO POST 3 November 1998

MENTERI Negara Pemuda dan Olahraga Agung Laksono menyatakan organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di tingkat provinsi dan kabupaten harus dihapus sebagai bagian reformasi struktural yang harus dilakukan KNPI. "KNPI harus mengembalikan dirinya sebagai wadah berhimpun ormas pemuda di tingkat pusat, bukan membentuk diri seperti ormas pemuda lain melalui pembentukan Dewan Pimpinan Daerah (DPD)", katanya.

Bagusnya, Pak Menteri mengucapkan pernyataan itu di depan masyarakat beradab dan berbudaya: Kongres VII Bahasa Indonesia di Jakarta, sebagaimana dikutip
Kompas (28/10) dari Antara.

Kalau diucapkan di Manado, saya khawatir beliau akan didemonstrasi pemuda-pemuda pro status quo yang akhir-akhir ini begitu menganggap KNPI sejenis organisasi "sakral" (suci). Yang kalau dikritik sedikit saja langsung dihadapi dengan - istilah Katamsi Ginano - ideologi "kepalan dan urat leher", sebagaimana dialami
Manado Post dan Radio Smart FM, Juni lalu. Hanya karena mereka menyiarkan berita-berita tentang "Pokja Pasiar", atau berhadapan dengan ancaman "dorang mo dola pa ngana" seperti saya alami akibat menulis "Proposal Reformasi KNPI" (MP 7/7).

Dalam artikel itu saya menggambarkan KNPI sebagai ormas yang didesain sebagai "wahana pengembangan wawasan pemuda demi kesinambungan Orde Baru", telah mengidap hampir semua penyakit rezim Soeharto. Seperti sekadar menjadi 'paspor' segelintir fungsionaris produk nepotisme menuju anggota DPR/DPRD, kontraktor, pengusaha dadakan, birokrat dan Pengurus Golkar, ketimbang menjadi komunikator dan wadah kaderisasi pemuda Indonesia sebagaimana tujuan pembentukannya dulu.
Menjadi tempat kumpul-kumpul aktivis pemuda yang 'lupa kacang akan kulitnya'. Menjadi tempat titipan elit politik untuk anak-sanak-saudara-kemenakan mereka yang akan meniti 'jalan bebas hambatan' menuju kedudukan politik. 'Ditunggangi' atau diperalat sebagai perangkat politik praktis bagi kepentingan sesaat pembina dan elit politik. Sehingga lebih suka membangun akses dengan 'bos', melapor dulu, minta petunjuk, restu atau pujian dulu, minta duit dulu, sebelum melaksanakan program. Yang pada gilirannya jadi serba takut, takut salah, takut ditegur, takut dicap 'pembangkang', takut tidak duduk di DPRD dan jenis 'takut-takut lain'.
Aktualisasi program pun jadi lebih aman meniru birokrasi, seperti suka hal-hal seremonial (upacara), berkualitas 'gincu' bukan 'isi', 'aksi' bukan 'nasi'. Yang hanya menciptakan kader-kader 'ingin cepat enak', kader hedonis, menomorsatukan kenikmatan, lemah etos kerja, miskin nilai, kader - istilah dr Daniel Masengi - 'penjilat' penguasa, kader picik berpikir dan kader bertuhankan materialisme. Jauh dari kualitas kader bangsa seperti dicita-citakan para pendiri Republik.

Dalam artikel lalu itu sebenarnya saya masih berpendapat kendati dipenuhi penyakit rezim lama, KNPI masih memiliki arti strategis jika saja ia mampu memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Terutama dalam menghadapi provokasi kaum KKN yang berlindung di balik isu-isu desintegratif SARA (suku-agama-ras-antargolongan).

Namun penyakit rezim Soeharto agaknya telah sampai pada ibarat kanker berstadium tak terobati. Apalagi mereka cukup keras kepala, tak mau dioperasi dengan pisau bedah 'reformasi internal'. Maka ibarat pasien yang sedang menunggu ajal, ormas ini pun akhirnya kehilangan akal sehat.

Lebih parah lagi, organisasi yang duduk di barisan penonton saat mahasiswa prodemokrasi dan LSM-LSM 'memberhentikan' Presiden Soeharto itu sekonyong-konyong mencoba menjadi pemain lapangan. Berganti kulit seolah-olah proreformasi, dengan meninggalkan mahasiswa prodemokrasi dan reformator sungguhan, yang selama ini berhadapan langsung secara fisik dengan aparat keamanan.

Mereka mencoba memetik 'buah' tanpa mau kerja keras menanam. Bahwa pada dasarnya mereka bukan reformator prodemokrasi, tampak pada sikap berdiam seribu bahasa ketika dihadapkan pada kasus-kasus kekerasan politik yang mengorbankan generasi muda prodemokrasi. Semisal Insiden Boulevaard dan tindak kekerasan aparat terhadap demo mahasiswa Unsrat/IKIP 28 Oktober lalu.

***

Sebelum dihapus, KNPI daerah memang mulai ditinggalkan anggotanya. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh sudah menarik diri dari keanggotaan DPD-I KNPI setempat. Buat mereka eksistensi KNPI dianggap makin tidak jelas, kian surut, dan kiprahnya tidak bersentuhan lagi dengan dinamika kepemudaan secara kualitatif. Ia telah benar-benar lepas dari 'rumah' sosialnya
(Kompas, 28/10). Hal ini dapat dipahami mengingat KNPI tak berdaya dan no comment atas ekses-ekses DOM (Daerah Operasi Militer) yang melahirkan janda-janda dan anak-anak yatim di daerah ini.

Dalam bahasa politik berbeda, Menteri Agung Laksono sependapat dengan pengunduran HMI serta kritik-kritik terhadap KNPI. Maka ia memerlukan menghapus saja riwayat KNPI daerah. Dengan ditamatkannya eksistensi DPD I dan DPD II dari ormas ciptaan orde Soeharto ini, terhapus pula satu subsistem keropos dalam pembinaan kepemudaan kita, yang melicinkan jalan bagi berlangsungnya diskursus tentang gagasan 'Indonesia Baru' - suatu diskursus pencarian paradigma baru, sistem baru, sebagai jawaban masa kini dan masa depan bangsa Indonesia.

Wujud baru yang bersyarat utama pada demokratisasi, di mana semua potensi bangsa dimungkinkan untuk memberi warna dan wujud terhadap sistem baru, dan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengimplementasikan, serta memiliki hak dan kewajiban yang sama pula untuk merawat, memperbaharui atau menggantinya dengan sistem yang lebih baru lagi. Sehingga 'Indonesia Baru' kelak didiami oleh warga yang berkarakter kebudayaan Indonesia, tetapi bersahabat dengan peradaban dunia. Bisa makan
McDonald, berjeans, berdasi, mengendarai mobil BMW atau Mercedes, menenteng notebook dan berhandphone, tetapi tetap doyan tinutuan, punya apresiasi yang wajar terhadap seni budaya tanah air, punya kebanggaan terhadap tanah leluhur dan taat beribadah" (Suhendro Boroma, MP 27-28/10).

Dalam 'Indonesia Baru' terdapat masyarakat kepemudaan yang kultural, intelek, modernis, demokratis, taat hukum dan religus. Bukan sejenis generasi amuk dan kekerasan tipikal pendudukan
Manado Post, Radio Smart FM dan pengeroyok aktivis Tino Kariso - Hamid Bula, yang oleh Katamsi Ginano disebut sebagai, "orang-orang yang lebih pantas dikasihani daripada dimurkai. Gerombolan manusia dengan pengetahuan sebesar kacang polong dan urat-urat terentang yang siap mempertahankan keyakinan salah sekalipun. Orang-orang yang tak menyisakan tanda-tanda manusia bersekolah".

Dari pengalaman dan fakta-fakta ber-KNPI, kita berharap Menpora Agung Laksono segera mewujudkan niat politik itu, yakni cepat-cepat menamatkan riwayat DPD KNPI di Dati I dan seluruh Dati II. Sebab bagi Sulut penghapusan ini berarti berakhirnya tekanan politik pada generasi muda prodemokrasi di daerah. Atau paling tidak, menghilangklan salah satu 'batu sandungan' dalam proses demokratisasi generasi muda yang pada akhirnya akan menyurutkan intensitas amuk dan kekerasan politik, yakni suatu
trade mark (merek dagang) baru yang mulai jadi patron generasi muda bumi Nyiur Melambai.
Yah, syukurlah badai KNPI daerah akan berlalu. #