Senin, 05 Juli 2010

36. ''UNTUNG MASIH ADA GUS DUR''

CATATAN UNTUK ISMIT ALKATIRI

Oleh Willy H. Rawung
MANADO POST 29 Desember 1998

SEJAK zaman kolonial Belanda, masa-masa perjuangan mencapai kemerdekaan, masa pergolakan Permesta, era orde lama, era orde baru dan sampai era reformasi, saya belum pernah mendengar masyarakat Sulut menumpahkan darah semata-mata karena perbedaan agama.

Barangkali karena kerukunan antarumat beragama dan antaretnik/suku (perkenankan saya menggunakan akronim KAUBAE) telah menjadi sikap kultural masyarakat Sulut. Sikap hidup yang diwarisi dari para pendahu itu jelas bukan buah kreasi kita-kita yang hidup di zaman sekarang. Terlebih pula bukan produk rekayasa aparat keamanan atau produk kepiawaian pimpinan daerah dan elit politik.

Dalam pangamatan saya, warisan kultural ini bahkan telah menjadi naluri masyarakat. Contoh, sampai kini keturunan kaum Pangeran Diponegoro yang tinggal bertetangga dan bercampur baur dengan masyarakat Tondano tetap hidup dengan menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Tak pernah terjadi pertumpahan darah karena perbedaan agama atau perbedaan suku. Hal yang sama juga terjadi pada kerabat Imam Bonjol di Pineleng. Desa-desa “Minahasa” dan desa-desa “Jawa” yang berada di wilayah Bolaang Mongondow pun tak pernah menumpahkan darah lantaran perbedaan agama.
Tak heran semasa gubernur HV Worang, dengan entengnya umat muslim dan umat nonmuslim bermapalus melaksanakan MTQ nasional - yang kemudian menjadi fenomenal - di Manado. Sesuatu yang mustahil terjadi bila masyarakat kita tidak memiliki sejarah panjang dalam bernaluri KAUBAE.

Berikut, pada saat-saat awal reformasi digulirkan di Sulut, lalu terjadi perseberangan tajam antara kelompok pro
status quo dan kelompok anti status quo, atau pertentangan antara mereka yang dituduh KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) dengan aksi-aksi para mahasiswa reformis yang anti KKN, kelompok pro status quo sempat kehilangan akal.

Untuk membela diri mereka menggunakan cara-cara provokatif – antara lain – dengan menggunakan isu-isu SARA (suku-agama-ras-antargolongan). Namun sekali lagi, lantaran KAUBAE sudah kadung menjadi naluri masyarakat, provokasi-provokasi tersebut akhirnya padam sendiri tanpa hasil. Isu-isu tolol itu mati bukan karena dicegah kepiawaian pemerintah daerah atau dipadamkan popor senapan aparat keamanan, tetapi ia dibunuh oleh sikap kultural masyarakat Sulut sendiri. Masyarakat yang tak perlu diajar-ajari dalam ber-KAUBAE. Masyarakat yang telah banyak belajar bahwa kerukunan tak boleh menjadi sekedar taktik dan strategi politik, juga bukan alat untuk memuji-muji diri, tetapi adalah substansial dan menjadi bagian dari hidup keseharian dalam bermasyarakat.

Makanya tak seorang pun pribadi atau kelompok boleh mengaku-ngaku bahwa ia adalah pemersatu, pemrakarsa atau pelopor KAUBAE. Lantaran perilaku demikian hanya akan mengurangi hakikat warisan kultural masyarakat Sulut.

Dengan potensi kultural demikian, saya kurang yakin kalau ada provokator – dari dalam maupun dari luar daerah – mampu dalam sekejap merusak atau menghancurkan warisan indah ini. Bahwa kondisi masyarakat Sulut berbeda dengan di luar daerah, memang benar. Dan barangkali dalam memahami perbedaan itulah Bung Ismit Al Katiri sedikit khawatir bahwa sentimen SARA, sebagaimana terjadi di Ketapang dan Kupang, dapat menanam tajinya di Sulut. Sehingga ia merasa perlu memperkenalkan sosok Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada sidang pembaca Sulut (“Meneropong Fenomena Gus Dur”,
MP 17/12/98). Dimana Bung Ismit – antara lain – berpapar tentang ulama besar ini sebagai tidak sekedar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tetapi juga negarawan yang diakui dunia internasional. Seorang demokrat tangguh yang kritis dan berani mengontrol rezim lama justru ketika Soeharto masih kuat berkuasa. Merangkul potensi bangsa untuk merapatkan barisan guna memerangi kezaliman. Menentang diskriminasi dan pengecilan peran kaum minoritas. Humanis sejati yang selalu akrab dengan pemimpin dan tokoh nonmuslim, nasional maupun internasional. Membela warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban aksi-aksi anarkisme. Menghargai martabat “orang kecil” sama dengan penghargaanya terhadap tokoh-tokoh sekelas Wiranto, BJ Habibie daan mantan Presiden Soeharto. “Benar-benar mencirikan diri sebagai figur teladan, sebagaimana yang sikap dan pola tindak Ra-sulullah SAW dalam fungsi dan perannya selaku pemimpin umat. Atau dari segi politis, mencontohi Mahatma Gandhi", tulis Ismit.

Sudah tentu paparan Bung Ismit benar adanya. Namun bagi saya dan mungkin bagi jutaan saudara sebangsa nonmuslim yang kini secara sistematik mulai diberi sebutan baru, “kaum minoritas”, fenomena Gus Dur justru mendapat tempat lebih istimewa. Contoh kecil adalah isi surat Ny. Nunik dari Bandung kepada psikolog Lelila Ch. Budiman, pengasuh rubrik Konsultasi
(Kompas 20/12/98, yang penggalannya saya ambil untuk judul tulisan ini. Dalam suratnya, ibu itu mengeluh, “Perusakan gereja itu sudah untuk kesekian kalinya terjadi. Namun agama yang kami anut, (bahkan mungkin semua agama yang ada di bumi ini) mengajarkan kami untuk berserah/pasrah menghadapinya: ‘Bila ditampar pipi kiri berikan pipi kanannya’. Sebetulnya sejak tahun 90-an kami jarang menerima ucapan selamat Natal dari teman-teman yang berbeda kepercayaan. Katanya dilarang, kami sedih sekali mendengar kata-kata seperti itu dari saudara-saudarta sebangsa sendiri. Di tengan kegalauan dan kecemasan kami, untunglah masih ada ulama besar seperi Bapak Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang secara nyata dan konsisten mau menerima perbedaaan sebagai perekat persatuan. Kami sangat berterima kasih dan senantiasa berdoa untuk kesehatan beliau."

Bagi masyarakat Sulut yang sudah ber-naluri KAUBAE, suasana batin yang dialami Ny. Nunik mungkin terasa aneh. Bagaimana mungkin ada saudara-saudara sebangsa terpaksa beribadah di bekas-bekas puing gedung gereja atau kuil/wihara akibat tindakan-tindakan anarkis atas nama agama oleh pihak-pihak tertentu. Dan mungkin lebih heran lagi mengapa pula Ny. Nunik (saya anggap juga mewakili perasaan saya serta jutaan “kaum minoritas” yang dilanda ke-kawatiran bertetangga dengan “kaum mayoritas”), berpendapat “untung ada Gus Dur”, serta senantiasa mendokan kesehatan beliau (yang justru seorang ulama besar Islam)? Ya, mengapa ?

Bung Ismit, Anda pun tentu tahu, ru-mah Gus Dur di Ciganjur yang terbuka bagi semua orang, tanpa mempersoalkan asal usul suku, agama, golongan dan kebangsaan, dilakukan beliau bukan karena pamrih poli-tik atau lantaran kepincut jadi presiden. Bagi kami, langkah beliau itu kami terima sebagai cerminan iman beliau kepada Sang Khalik. Sehingga bagi kami yang nonmuslim, apa yang dilakukan Gus Dur bukanlah politik praktis dalam rangka “menunggangi” kami, atau sekedar retorika mencari dukun-gan/popularitas dari “kaum minorotas’. Se-baliknya kami memandang tindakan-tindakan ulama besar Islam ini memprakar-sasi rekonsiliasi nasional, dialog nasional, menemui LB Murdani (disebutnya politisi ulung dan pemimpin efektif umat Katolik) plus berdialog dengan sentra-sentra kekua-saan lain, layaknya beliau sedang mewujud-kan hukum “kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri”. Meski beliau tak pernah menyebut kata “kasih” dalam seluruh pernyataan dan tindakannya.
Apa pun yang dilakukannya memang selalu memancarkan kasih kepada seluruh bangsa. Dengan istiqosah, misalnya, beliau dan umat NU (Nahdlatul Ulama) mendoa-kan seluruh bangsa, termasuk mendoakan kami juga. Dengan istiqosah, beliau benar-benar menampilkan Islam secara ramah dan inklusif, yang kami terima sebagai ketulusan, anti kekerasan, kedamaian dan menjauhkan kita semua dari perpecahan dan pertumpa-han darah. Semua langkah beliau itu, ba-rangkali, adalah seperti yang anda maksud sebagai “mencirikan diri sebagai figur tela-dan, sebagaimana sikap dan pola tindak Ra-sulullah SAW”.
Dalam seruan pertemuan Ciganjur 6 Desember 1998 “Hindarkan Revolusi den-gan Rekonsiliasi !” misalnya, yang ditegaskan beliau sebagai agenda paling mendesak dan penting bagi bangsa Indonesia, sungguh relevan dengan seruan kristiani segala abad, “damai dibumi”. Sehingga bagi kami, dan begitu banyak anak bangsa yang mulai dimarginalkan (dikesampingkan) sebagai “kaum minoritas”, penolakan beliau berikutnya terhadap ideologisasi politik yang mengedepankan masalah agama, laksana membangkitkan ulang optimisme untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia, sebagaimana ketika Republik ini diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Membangkitkan kembali semangat untuk merajut nation state (negara kebangsaan), dan mencampakkan segala gagasan untuk mem-bentuk negara agama atau negara suku.
Dari kedudukannya yang istimewa da-lam hati “kaum minoritas” dan tentu pula legitimasi yang dipunyainya di kalangan “kaum mayoritas”, serta posisinya yang mengedepan dalam garda nasionalis, garda kebangsaan, jelaslah paparan Bung Ismit yang lebih memperkenalkan beliau akan lebih mengukuhkan sikap kulural KAUBAE dalam masyarakat Sulut. Sekaligus mengin-formasikan bahwa masyarakat Sulut tidak sendirian. Bahwa Ny. Nunik, saya dan ju-taan anak bangsa, tidak sendirian. Bahwa saudara-saudara muslim di Sulut tidak sen-dirian dalam bernaluri KAUBAE. Dan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir, sebab untung ada Gus dan puluhan juta pen-gikutnya yang berjuang demi kasih kepada masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
Maka dalam suasana bulan suci Ramad-han bagi saudara-saudara sebangsa yang muslim, serta dalam suasana Natal yang pe-nuh damai bagi umat kristiani, tiadalah ce-lanya bila kami pun ikut menguatkan niat Bung Ismit. Seraya meneruskan ajakan Ny. Nunik: mengajak segenap umat beragama untuk senantiasa mendoakan kesehatan Gus Dur.
Tuhan kiranya memberkati beliau dan menjauhkannya dari rupa-rupa mara bahaya dan sakit penyakit. Tuhan kiranya akan selalu ikut campur dalam segala langkahnya menciptakan rekonsiliasi dan kedamaian ba-gi segenap bangsa Indonesia ! #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar