Sabtu, 03 Juli 2010

17. BUPATI MINAHASA 1998-2003

BIROKRAT PROFESIONAL ATAU PRAKTIS?

Willy H. Rawung
MANADO POST 8 November 1997

LIMA TAHUN lalu menjelang pemilihan Bupati Minahasa, Manado Post memuat serangkaian artikel penulis yang intinya membantah mitos yang dikembangkan para politisi praktis di daerah, bahwa seolah-olah karena kondisi geopolitik dan masyarakat yang “unik” maka Minahasa memerlukan seorang Bupati yang ABRI.

Ketidak setujuan penulis bukan hanya karena tidak elok dan sudah usang mendikotomikan Sipil-ABRI. Tetapi dari segi kultural dan historis rakyat Minahasa memang tidak “unik” seperti disiratkan dalam mitos itu.

Egaliter dan demokratisnya kultur Minahasa yang membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara justru mencerminkan suatu masyarakat terbuka, mudah diterka, berkata apa adanya dan tidak hipokrit. Pokoknya
torang orang bae-bae yang tidak perlu diprasangkakan macam-macam.

Sejak tempo doeloe pun
waraney (prajurit), tona’as, walian, siapa saja dapat menjadi pemimpin, asal saja ia tou keter, tou nga’as, bersedia berkorban, menyerahkan jiwa dan raga untuk kemajuan dan kemakmuran rakyatnya. Jadi, waraney atau bukan waraney (prajurit atau bukan prajurit) tidak logis untuk didikotomikan dalam konteks Minahasa.

Untuk hal ini penulis pernah memujikan DPRD Minahasa yang tidak terperangkap dalam mitos, ketika memilih K.L. Senduk yang sipil menjadi orang nomor satu di Minahasa. Dan benar, selama lima tahun berkantor di Tondano, tidak nampak tanda-tanda adanya gejolak-gejolak sosial yang semula dipersangkakan akan terjadi bila Bupatinya seorang sipil.

Fakta ini kian memperjelas bahwa soal fundamentalnya memang bukan dikotomi dan mitos itu. Tetapi masalah kultural dan tuntutan zaman yang tercermin pada profesionalitas dan keinginan hati nurani rakyat.

***

Oktober 1997, saat menjadi Sekretaris Pengarah seminar sehari di Jakarta yang membahas paparan Gubernur Sulut E.E. Mangindaan bertopik “Operasionalisasi Strategi Pembangunan Sulawesi Utara” (dilaksanakan Yayasan Malesung Rondor dan Pemda Sulut), penulis sempat terkesan dengan semangat Gubernur yang dengan tidak sabar mendambakan aparatnya - seluruh Kepala Daerah, Walikota, Kepala Dinas dan Kakanwil yang diikutkan menjadi nara sumber dalam Seminar - meningkatkan profesionalitas kebirokrasian.
Saking besarnya dambaan, beliau sampai menempatkan diri menjadi “moderator” dalam diskusi tajam antara para aparatnya dengan para cerdik cendekia dan tokoh-tokoh masyarakat Sulut yang hadir.

Maksudnya untuk meluaskan wawasan aparat dan untuk mengetahui sejauh mana tingkat profesionalitas mereka saat “diuji publik” oleh masyarakat perantauan yang cukup kritis.

Dan bila akhirnya ia “menyapu bersih” seluruh pertanyaan dan tanggapan para pembahas dari peserta seminar yang diarahkan kepada aparatnya, terbersit keharuan di hati penulis: betapa tulus kecintaan E.E. Mangindaan kepada rakyat Sulut dan aparat birokrasinya. Tidak mengherankan bila ia menjadi gubernur fenomenal di mata para cerdik cendekia dan tokoh-tokoh masyarakat Sulut yang menghadiri Seminar.

Dari pengalaman ini penulis yakin rakyat dan Gubernur yang sama-sama sebagai
user akan menempatkan para birokrat profesional pada tempatnya yang strategis dalam memahami pemilihan-pemilihan Bu-pati di seluruh Sulut.

***

Tabobale-bobale. Namun betapa prihatinnya penulis saat menyimak media-media cetak Manado yang memberitakan adanya lima bakal calon (balon) Kepala Daerah yang berhasil dijaring DPRD Minahasa dari masyarakat. Empat di antaranya birokrat profesional dan seorang lagi politisi praktis mantan anggota DPR-RI - kini anggota MPR-RI – yang bermukim di Jakarta.

Tidak jelas bagaimana teknis penyaringan, namun - dengan penuh hormat kepada pimpinan DPRD - adanya balon (bakal calon) dari jauh (Jakarta) tidaklah realistik dan tidak sejalan dengan jiwa dan etos profesionalisme yang sedang dikembangkan Mangindaan di kalangan birokrasi. Serta benar-benar di luar konteks jenjang karir birokrasi yang serba jelas, tegas dan profesional.

Contohnya (maaf), mantan birokrat setingkat Wakil Gubernur Abdullah Mokoginta yang kini meniti karir anggota DPR-RI mustahil memiliki moral politik untuk
set back menjadi balon dropping untuk Bupati Bolaang Mongondouw.

Analisis sederhana ini berkesimpulan adanya balon Jakarta membuat keadaan jadi
tabobale-bobale (jungkir balik), sebab sangat berat pada alasan politik praktis semata.

Bagaimana mungkin DPRD dapat mentolerir kemunduran dan menghanguskan kedewasaan berpikir dengan menunjuk anggota MPR-RI menjadi balon Kepala Daerah, sementara derajat anggota MPR-RI mestinya untuk 'balon' gubernur.

Alangkah lucunya kita, bila untuk pejabat setingkat Bupati saja mesti berlelah-lelah mencarinya di Jakarta. Seperti percakapan di sebuah rumah kopi di Amurang,
“keitu, yo rei wana tou am biai” (mengapa, apakah sudah tidak ada orang lagi disini).

Komentar ini dapat dipahami karena cara demikian sama dengan menenggelamkan jenjang karir para birokrat profesional serta menyumbat proses kaderisasi yang telah dengan susah payah diberdayakan mulai dari desa-desa di Minahasa.

Menghadapi
manuvre politik praktis demikian, adalah adil jika kita mengingatkan dan mendorong para yang terhormat anggota DPR-RI/MPR-RI asal Sulut - terutama yang telah menjabat berulang-ulang kali - untuk tidak berjalan di tempat atau berjalan mundur. Tingkatkanlah kualitas profesional anda, kalau bisa sampai ke international level, karena rakyat memilih anda untuk itu.

Jangan - tanpa sedikit pun merasa sungkan - pulang kampung untuk bersaing dengan para aparat birokrasi di tingkat kabupaten. Karena bila anda memberi teladan demikian, bisa-bisa jabatan Hukum Tua di kampung pun tidak luput dari inceran para mantan politisi praktis tingkat nasional. Karena begitulah sisi lain politisi praktis. Kadang tidak jelas, kadang tidak tegas, penuh intrik, dan sarat pembenaran yang belum tentu bermanfaat langsung bagi kepentingan rakyat.

***
Ketua Adat. Dalam situasi ini DPRD Minahasa perlu juga diingatkan bahwa bagi masyarakat Minahasa di perantauan (diasphora) serta bagi para petinggi di Jakarta, Bupati Minahasa identik dengan Ketua Adat. Siapa yang terpilih secara otomatis menjadi Ketua Umum Majelis Kebudayaan Minahasa, yang secara kultural diterima sebagai Ketua Adat yang berhak menabalkan gelar Tonaas Wangko.

Dalam sistim ini, menjadi Ketua Adat tidak cukup sekedar memenuhi persyaratan formal. Ia – terutama – harus terbukti, terlihat dan diakui masyarakat sebagai berperilaku dan berhati bersih. Bersih dalam penilaian hati masyarakat Minahasa, adalah sistim dari cara berpikir dalam menilai yang lebih mendasar dari sekedar penilaian “bersih lingkungan” atau bersih-bersih apa pun yang diberlakukan dalam kriteria formal.

Musyawarah Kebudayaan Minahasa yang akan berlangsung 3 - 4 November 1997 dengan tema 'Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Berwawasan Budaya Menyongsong Abad XXI' seyogianya pun tidak meninggalkan DPRD sendirian. Musyawarah mestinya bersikap proaktif dengan menetapkan kriteria kultural bagi calon Ketua Adat Minahasa yang baru kelak. Bersikap proaktif adalah wujud tanggung jawab kultural untuk tetap setia kepada kultur Minahasa yang egaliter dan demokratis. Sehingga Musyawarah bukan sekedar retorika penabalan
tona’as wangko saja, tetapi benar-benar built in dalam proses memilih tona’as yang – sebagai Bupati - akan memimpin Minahasa melewati pintu gerbang abad XXI

***

Opo Wana Natas. Menghadapi semua ini, penulis hanya bisa mendoakan semoga Opo Wana Natas, Tuhan Allah Yang Maha Kuasa, mengaruniakan hikmat dan kebijaksanaan kepada DPRD Minahasa dan Gubernur Mangindaan agar mampu memilih Bupati/Ketua Adat yang berperilaku dan berhati bersih,
deng nyanda dapa yang ba tabobale-bobale.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar