Sabtu, 03 Juli 2010

16. CAGUB DAN KAYU BAKAR

Oleh Willy H. Rawung
CAHAYA SIANG 18 JANUARI 1993

ADA CIGULU-CIGULU (teka-teki) : apa beda cagub (calon gubernur) dengan kayu bakar ? Saya yang termasuk golongan perindu kehidupan pedesaan, kayu bakar relevan dengan nikmatnya santapan nasi jaha atau woku blanga. Yang lebih yahud bila dimatangkan dengan kayu bakar, membangkitkan aroma dan rasa spesifik yang selalu terkenang. Dan karena jarang beroleh kesempatan pulang ke desa kelahiran Paku Ure, menu demikian lalu menjadi ”elit”. Sebab di Jakarta hampir mustahak mencari kayu bakar, sementara para juru masak sudah kadung bersekutu dengan kompor minyak tanah, kompor gas, rice cooker, press cooker dan microwave.

Namun kayu bakar kali ini punya kisah lain. Tidak ada relevansi dengan kenikmatan santapan, apalagi alam pedesaan. Sebab yang satu ini murni politik praktis dan terjadi di seputar pemilihan gubernur Sulawesi Selatan yang dimenangkan Mayjen Zainal Palaguna, Pangdam Wirabuana.

Pasalnya dimulai saat cagub (calon gubernur) Prof. Dr. Baharuddin Lopa mengundurkan diri dari pencalonan dan menyatakan, “saya tidak mau jadi kayu bakar”. Fenomena langka yang pertama kali terjadi dalam riwayat perebutan kursi gubernur ini menjadi menarik ditelaah setelah Dirjen di Dep. Kehakiman itu menegaskan, “berdasarkan analisis saya, dan apa yang terjadi hari ini (hasil pemilihan), saya bakal dipermalukan jika yang memperoleh suara lebih tinggi dan yang lainnya terlalu rendah, tidak seimbang”. Tokoh yang merasa didukung rakyat itu merasa jumlah suara yang “sudah disetel duluan” jauh dari makna kedewasaan berdemokrasi Pancasila. Katanya lagi, "… saya tidak ingin pemilihan ini diatur. Kalaupun diatur, hendaknya pengaturan membuahkan hasil yang menang merasa menang dan yang kalah pun tetap merasa menang”
(Kompas 9/1).

Lopa, tokoh hukum yang dikenal tulus hati dan lebih populer secara nasional ketimbang para cagub (kandidat) lain wajar merasa terluka. Salah seorang putra terbaik Sulsel itu tak menyangka bahwa medan politik praktis jauh beda dengan dunia hukum yang menggeluti kebenaran material. Dunia yang puluhan tahun diabdinya sebagai hakim - profesi terhormat - di mana tanggung jawab moral dan religius tak dapat ditawar. Dunia yang melatih manusia berpikir lurus hati, tulus, transparan dan tegas untuk mencari hakikat kebenaran demi menjatuhkan vonis yang benar, adil dan bertanggung jawab. Maka dapat diduga ia terkejut menerima kenyataan betapa berkelok-kelok dunia politik praktis yang penuh onak duri.

Memahami derajat kematangan jiwa, kearifan dan profesi serta integritas yang secara nasional tak diragukan, saya prihatin membaca ucapan-ucapan beliau. Prihatin, sebab Lopa mundur karena merasa akan dipermalukan di tanah leluhur, di tengah keluarga dan handai taulan dan ditengah sahabat-sahabat oleh yang namanya rekayasa politik praktis.

Ketika menulis beberapa artikel di “MP” bulan lalu, saya sempat merenung dan sedikit “iri” melihat derajat kualitas DPRD Sulsel. Terutama di awal rekrutmen cagub ketika ada angin segar berhembus dari sana. Daerah-daerah lainpun nampaknya menunggu harap-harap cemas keberhasilan mekanisme baru yang sedang diuji coba DPRD Sulsel. Yakni membuka pintu selebar-lebarnya bagi cagub-cagub aspirasi masyarakat dengan membentuk Pansus (Panitia Khusus). Suatu langkah konkret yang didambahkan dalam era keterbukaan masa kini. Tadinya saya pikir,
bumi anging mamiri kembali akan memperlihatkan kepeloporan politik di Indonesia bagian Timur, dengan melepaskan diri dari rekayasa sebagaimana lazimnya. Dan saking simore (sukacita) saya nyaris mengirim surat pujian kepada DPRD Sulawesi Selatan.

Tetapi apa mau dikata. Bak syair lagu, “kusangka panas hingga ke petang, kiranya hujan di tengah hari”, dengan terpaksa salut dari saya urung disampaikan. Lantaran awal yang baik, keterbukaan dan kelancaran rekrutmen, ternyata bukan jawab dari penerapan mekanisme demokrasi Pancasila. Lalu apa yang kurang?

Sebagai seorang intelektual ilmu hukum dengan jabatan Direktur Jenderal di Dep. Kehakiman, Lopa bukan tidak mahfum alif-ba-ta politik praktis termasuk ”kelaziman” rekayasa dan “setel duluan”. Ia tentu dapat menerima jika harus “dikalahkan”. Namun soal pokok disini ialah, kalah yang bagaimana dan menang yang bagaimana. Lopa merumuskannya dengan meminjam kalimat bijak dari khasanah tatanan nilai budaya Jawa yang sering diucapkan Pak Harto, dan saya percaya melandasi kebijakan-kebijakan beliau : “ … yang menang merasa menang, yang kalahpun merasa menang”.

Bagi saya, peristiwa Lopa lebih menguatkan keyakinan bahwa etika politik masih perlu dikembangkan dan ditanamkan kepada seluruh elit politik dan birokrasi daerah. Berjalan mulus dan lancarnya mekanisme formal dari rekrutmen sampai pemungutan suara tidak akan memiliki makna substansial. Jika tidak dilandasi etika politik yang relevan dengan Pancasila. Dan di sinilah sumber kekecewaan Lopa sehingga ia mengundurkan diri sebelum DPRD Sulawesi Selatan ”mempermalukannya”, dengan menolak rekayasa perbedaan mencolok ratio suara antara pemenang dengan pecundang.

Betapa moderennya tingkat pendidikan, dan betapa sempurnanya pun kita menelusuri jalan formal, ternyata kita tetap masih orang Timur. Sarat adat istiadat, tatanan budaya, kepekaan perasaan dan hati nurani yang dalam. Tempat dimana nilai-nilai subs-tansial kemanusiaan berdiam, bekerja mengukur segala tingkah laku formal insan-insan politik. Dan fokus dimana kekalahan bisa terasa sangat menyakitkan, dan kemenangan bisa terasa tawar, lepas dari kekalahan meski kemenangan tersebut menuruti mekanisme undang-undang dan formalitas.

Itulah kiranya yang terjadi pada Lopa saat ia mengutip petuah Pak Harto, membuat terpilihnya Pak Basri sebagai gubernur menjadi sedikit lonjong, tidak total bulat penuh. Padahal demikian sempurna “orkestra simfoni” DPRD Sulsel melantunkan “preambule” dan nyaris menjadi preseden bagi daerah-daerah lain. Tetapi siapa nyana, saat memasuki bagian “chorus”, dilagukan agak terlalu keras, mengakibatkan pergelaran yang telah dipersiapkan cukup aduhai itu menjadi sedikit mubazir.

Dari Sulawesi Selatan kita belajar bahwa petuah Pak Harto mengenai etika tiada salahnya diikuti semua elit politik dan birokrasi Sulawei Utara. Agar kelak pada masanya rekrutmen dan pemungutan suara dalam memilih gubernur yang baru, menghasilkan suasana batin: yang menang tak merasa menang dan yang kalahpun merasa menang. Hanya dengan etika politik demikian, sepak terjang politik praktis ditempatkan menjadi hamba sahayanya kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak sebaliknya seperti yang sering terjadi di sekitar kita.

Saya berharap peristiwa Lopa dijauhkan dari Sulawesi Utara. Bumi Nyiur Melambai tidak memiliki banyak Lopa. Amat langka mencari kualitas manusia seperti beliau dari daerah ini. Semoga bila masanya tiba kelak, tiada seorangpun putera terbaik dari Sulawesi Utara “menjadi kayu bakar” dan dipermalukan di tanah leluhurnya sendiri.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar