Kamis, 08 Juli 2010

39. 'DEMOKRATISASI’ KKN BISA GAGALKAN MINSEL-TOMOHON

Willy H. Rawung
MANADO POST 1 – 2 Juli 2002

UNTUK memelihara rezim otoriter Orde Baru selama 32 tahun, Soeharto paling tidak menempuh dua cara. Pertama, menyemaikan kultur feodalisme Jawa ke segenap penjuru Tanah Air.
Kedua, terus-menerus melimpahi birokrasi pusat-daerah dan elit ABRI-GOLKAR-PDI-PPP-KORPRI dengan dana APBN, BANPRES plus pangkat dan jabatan. Setiap tahun seluruh birokrasi daerah juga diberi jatah dana pembangunan. Dan semua dana itu – menurut World Bank dan Kwik Kian Gie – berkecukupan untuk dikorupsi sekitar 30 prosen masuk kocek pribadi.
Dengan dua cara itu, segenap jajaran birokrasi-ABRI-GOLKAR-PDI-PPP-KORPRI mempersembahkan kesetiaan dan dukungan penuh kepada rezim Orde Baru serta melayani Soeharto layaknya raja absolut tanpa cela (the king can do no wrong).

Soeharto paham bahwa untuk jangka panjang, kekuatan senjata atau kekerasan mustahil dapat membangun kesetiaan (loyalitas). Yang paling efektif membangun loyalitas adalah kombinasi antara kultur feodalisme Jawa dengan izin tak tertulis (restu) untuk mempraktikan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kalau ada kasus-kasus KKN yang sampai ke pengadilan, maka itu hanya untuk kelas
waloa (ikan teri), dan tetap di bawah kontrol, sekedar bukti kepada rakyat dan dunia internasional bahwa ia menjalankan pemerintahan yang bersih. Sebab sumber utama dana untuk ber-KKN adalah dana pembangunan yang terutama berasal dari pinjaman-pinjaman internasional (IMF, World Bank, ADB, dan lain-lain) yang jumlahnya sekarang telah mencapai ribuan triliun rupiah sehingga belum tentu dapat kita lunasi setelah generasi ketujuh.

Baru ketika Indonesia dilanda krisis moneter dan badan-badan dunia itu menghentikan pinjaman, Soeharto pun kehabisan uang untuk membiayai loyalitas. Sumber dana untuk para penikmat KKN menipis.
No money, no loyality. Tiada uang, tiada kesetiaan. Dan ketika pada saat bersamaan rakyat menjadi marah dan Jakarta dilanda kerusuhan berdarah dibarengi gelombang demonstrasi mahasiswa Jakarta yang tak terbendung, para loyalis Soeharto (segenap jajaran birokrasi-ABRI-GOLKAR-PDI-PPP-KORPRI) pun segera balik kanan menjauh, dan rezim Orde Baru ambruk.

Orde Baru tumbang, digantikan oleh – sebut saja - Orde Reformasi. Namun ironinya, Orde Reformasi tetap meneruskan KKN Orde Baru. Pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid dan kemudian Presiden Megawati – meski terpilih secara demokratis – terlalu lemah dan gagal menghentikan KKN. Akibatnya KKN tetap marak, bahkan semakin tidak terkendali dan berkembang menjijikan serta tidak bermalu sampai kepada instrumen ekonomi rakyat seperti KUD.
Lomba korupsi-kolusi-nepotisme terus saja terjadi seperti pada era Soeharto, hanya wajah pelakunya yang berubah. Prosentase uang rakyat yang dititipkan kepada pemerintah, tetap 30 prosen-nya disabet masuk kantung pribadi, kata Kwik. Tidak mengherankan jika pemilihan pejabat publik, baik di pemerintahan maupun di BUMN/BUMD masih saja menggunakan gaya rezim Soeharto: koncoisme, kawanisme, siapa dekat dia dapat. Bahkan sekarang lebih hebat: meski teman, kalau ada uang, dia dapat. Pertimbangan profe-sionalitas bukan acuan utama. Seperti tulis Audy Wuysang, “meritokrasi, penempatan seseorang atas dasar keahlian dan prestasi belum menjadi sebuah ‘budaya politik’ negeri ini”
(MP 19/6/02).

Harta republik tetap jadi “barang jarahan” yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat, sementara sebagian besar rakyat harus membayar dengan sangat mahal. Praktik KKN justru kian merajalela, makin merata, kian oportunis. Bahkan mereka yang menganggap diri pejuang-pejuang demokrasi di lembaga-lembaga berwajah humanis pun tak lepas dari permainan kotor ini. Juga para professional tak ketinggalan, ikut menjarah harta republik. Lingkungan sosial pun terus mendukung, sementara pemerintahan justru makin melemah, sehingga fungsi pengawasan internal secara substansial tidak berjalan
(Wajah Baru KKN – A. Prasetyantoko, Kompas 23/5/02). Suatu bentuk yang penulis sebut sebagai ‘demokratisasi’ KKN.

Orde Reformasi - pencipta demokratisasi politik dan pemulihan hak-hak politik rakyat – jelas telah menciptakan pula demokratisasi KKN. Orde Reformasi tiada beda dengan Orde Baru ketika berkaca di depan cermin KKN, sama dalam hal rebutan mencari kesempatan “menjarah” uang rakyat. Pemerintahan yang kuat dan parlemen yang mampu mengawasi pemerintah masih menjadi mimpi, bila setiap tahun anggota parlemen pusat dan daerah pasang tarif yang harus dibayar pihak eksekutif untuk menggolkan laporan tahunan.

Pengawasan obyektif Fraksi Partai Golkar DPRD Sulut terhadap Gubernur/Ketua Partai Golkar Adolf J. Sondakh yang terus dikritisi rakyat dalam kasus deposito Rp. 72 milyar menjadi kemustahilan, ketika KKN telah menjadi karakter elit partai partai politik dan meluas merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tak mengherankan para petani cengkeh dan para penyuling ‘cap tikus’ pun tak segan mengamuk karena tak percaya kepada pemerintah yang sarat praktik KKN.

Dalam realitas ini, kekhawatiran kita sekarang ialah bila demokratisasi KKN mendapatkan
kobong (kebun) baru di MinSel-Tomohon. Ketika korupsi-kolusi-nepotisme dipraktikan dalam proses pembentukan manajemen pemerintahan, sejak dari menetapkan Pelaksana Harian (PLH) Bupati dan Walikota sampai pada penempatan aparat birokrasi dan dinas-dinas pelayanan masyarakat, yang pemilihannya tidak mengacu pada profesionalitas dan obyektifitas. Tetapi pada kolusi, hubungan keluarga, tamangisme, siapa setor uang paling banyak dia dapat.

Belum lagi jika pengangkatan pejabat-pejabat publik ini ikut pula diperebutkan oleh elit partai-partai politik sebagai bagi-bagi kekuasaan untuk mencari dana operasional partai dan dana kampanye Pemilu tahun 2004, serta bagian dari strategi membangun loyalitas seperti dilakukan Soeharto.

Bila hal ini terjadi, maka manajemen pemerintahan MinSel-Tomohon terancam mengalami kegagalan. Gagal bukan disebabkan kurangnya dukungan rakyat, PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tidak mencukupi, minimnya sumber dana dari APBN, atau terbatasnya sumber daya, tetapi gagal karena demoralisasi dan mismanagement yang terjadi akibat demokratisasi KKN itu. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar