Minggu, 04 Juli 2010

24. REFORMASI-REFORMASIAN GAYA SULUT

Willy H. Rawung
MANADO POST 9 Juni 1998

SEYOGIANYA pengunduran diri Ny. Adelina Martine Tumbuan (istri Gubernur Sulut) dari keanggotaaan MPR-RI demi memelopori pembasmian KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) menjadi awal dari serangkaian langkah konkrit reformasi di daerah.

Namun seperti diduga
(Celah MP 30/5), legitimasi patron client Gubernur Mangindaan dan istri mendapat perlawanan dari KAKICIS (kakak-adik-anak-kemenakan-konco-istri-cucu-ipar-sepupu-saudara)-nya sendiri. Sebagaimana secara transparan terlihat pada isi dan pola tuntutan aksi unjuk rasa sekelompok masyarakat ke DPRD Sulut 2 Juni kemarin. Di mana dukungan terhadap Gubernur E.E. Mangindaan hanya syarat/formalisme belaka, sedang tujuan pokok demonstran ialah tetap "memperta-hankan KAKICIS"-nya - Ny. Nini Tum-buan, istri Rektor UNSRAT/anggota MPR-RI Prof. Dr. J. Paruntu – sebagai anggota DPRD.
Isi dan pola tuntutan yang justru merugikan citra Gubernur Mangindaan di tingkat nasional sebab merupakan perlawanan terbuka terhadap jejak Ny. Adelina Tumbuan.

Unjuk rasa 2 Juni ini memperlihatkan pula borok-borok para KAKICIS-nya Pak Gubernur yang rupanya merasa amat terancam dengan langkah mundur Ny. Adelina Tumbuan. Sehingga dengan memanfaatkan kekurangpiawaian Gubernur Mangindaan memainkan jurus politik praktis, mereka coba berlindung di belakang “konstitusi”, “mekanisme”, “profesionalisme” sambil cepat-cepat melakukan konsolidasi, mengorganisir dan menjalankan aksi untuk memperoleh legitimasi “pembelaaan rakyat” Minahasa.

Bagi mereka – seperti jalan pikiran KAKICIS-nya Presiden Soeharto lalu – mempertahankan Gubernur Mangindaan sama dengan mempertahankan fasilitas KKN yang sedang dinikmati. Namun saking ketakutan, mereka justru melakukan yang sebaliknya.

Alhasil, aksi 2 Juni itu justru menurunkan pamor, mereduksi popularitas, serta merusak citra Gubernur Mangindaan – saudara mereka – sendiri.

Berbeda dengan putra-putri mantan Presiden Soeharto yang tiba-tiba menjadi
low profile, maka para KKN-KAKICIS pembina dan elit politik Sulut justru berbuat sebaliknya. Tidak perduli apa pun pendapat rakyat, mereka terus saja "memupuk" kekuatan massa supaya kenikmatan-kenikmatan kebendaan hasil KKN-KAKICIS dapat terus dinikmati. Tak peduli mesti mengorbankan wibawa dan nama baik Ny. Adelina Tumbuan sendiri.

Dan yang membuat perut saya mulas adalah - informasi salah seorang anggota DPRD Minahasa - bahwa para camat Minahasa diberi uang antara 1 sampai 1,2 juta (tentu berasal dari uang hasil KKN) untuk biaya kumpul dan transportasi massa ke DPRD. Lalu para camat pun dimestikan melanggar instruksi Wagub JB Wenas dengan menghapus nama kecamatan pada mobil-mobil dinas Pak Camat yang dipakai unjuk rasa.

Selanjutnya yang amat memberangkan adalah insinuasi dan propaganda perpecahan yang dilancarkan kaki tangan para KAKICIS, yakni menggelar isi-isu SARA (suku-agama-ras-antargolongan) sampai ke pelosok desa.

Rakyat Minahasa dihasut seolah-olah kritik kepada para pejabat yang nepotis, kolusitor dan koruptor itu adalah "serangan" tertentu kepada etnik Minahasa.

Saya sungguh merasa terhina dengan ulah para
badot politik penipu rakyat itu. Mereka pikir tou Kawanua bontok atau “bebek”, sehingga mau saja diajak membabibuta bersolidaritas SARA untuk membela kejahatan.

Saya ingin menegaskan, Minahasa tidak akan mati, bangkrut atau merasa malu, jika 1000 tokoh
tou Kawanua yang congkak masuk bui karena nepotis, kolusi, korupsi dan amoral! Minahasa justru malu jika memiliki satu saja tokoh KKN. Lalu sebaliknya Minahasa akan goyah dan melawan jika satu saja tokohnya yang jujur, bersih, rendah hati, diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak mana pun juga, sebagaimana terjadi saat para aktifis IPMMD (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Djakara) serta Julius Undap dan kawan-kawan berseberangan dengan pemerintah Pusat dalam kasus Gubernur Willy Lasut.

Minahasa yang religius (termasuk Pemuda GMIM), masyarakat Kawanua yang egaliter, demokratis dan pragmatis dapat dengan cepat membedakan mana yang dosa dan mana yang tidak, mana yang kotor dan mana yang bersih. Mana kekayaan dan pangkat yang diperoleh dari hasil KKN-KAKICIS dengan pembina dan elit politik, dan mana yang diperoleh dari kejujujuran, doa dan kerja keras (ora et labora).

Bahwa para kaum KKN-KAKICIS itu benar-benar munafik dan penipu rakyat terlihat jelas pada dalih pengunjuk rasa 2 Juni, “yang memilih kami adalah rakyat, kalau menurunkan kami mesti tanya pada rakyat”. Padahal seharusnya secara jujur mereka menjelaskan fakta-fakta yang benar kepada rakyat bahwa dalam Pemilu Orde Baru yang bersistem proporsional, rakyat hanya memilih tanda gambar. Yang memilih anggota DPRD adalah Pengurus Golkar, PPP dan PDI.

Maka untuk menurunkan anggota DPRD cukup dilakukan Pengurus Golkar, PPP dan PDI. Sebab kalau mau tanya dulu - misalnya - kepada rakyat di desa kelahiran saya Paku Ure yang nyaris 100% Golkar, mana mereka kenal wakil mereka yang bernama Ny. Nini Tumbuan, Ny. Patinama-Tanos atau Rolly Tanos. Yang mereka tahu, DPRD Sulut sebagian besar tidak lebih dari KAKICIS atau “kumpulan arisan keluarga” dari pembina dan elit politik daerah. Dan Golkar sendiri, adalah organisasi politik yang sudah babak belur berantakan terkena kanker KKN-KAKICIS pembina dan elit politik sehingga telah kehilangan kepercayaan rakyat. Jadi siapa pula yang mau bertanya kepada Pen-gurus Golkar.

Yang harus ditanya adalah hati nurani. Kalau masih bermoral dan berhati nurani, serta kalau masih punya rasa malu, semua anggota DPRD, Bupati/Walikota dan jaja-ran para birokrasi hasil KKN-KAKICIS dengan Bapak/Ibu E.E. Mangindaan dan Rolly Tanos, segeralah mengundurkan diri! Atau, apakah kaum KKN-KAKICIS ini mau menurunkan Gubernur Mangindaan dulu, seperti yang dilakukan Harmoko dan kawan-kawan terhadap Presiden Soeharto ?

Dalam soal menurunkan citra Gubernur Mangindaan dengan cara melakukan aksi-aksi yang berlawanan dengan hakikat reformasi, juga dilakukan Ketua KNPI Sulut Jefry Rawis yang membawa duapuluhan mahasiswa Sulut pasiar ke Jakarta.

Dalam suasana krisis moneter ini, rombongan Bung Jefry dibiayai penuh Pemda Sulut, tinggal di Mess Pemda Sulut, kemana-mana diantar staff Pemda Sulut, difasilitasi makan, minum, mobil, uang saku. Pokoknya pelayanan Pemda yang pengaturannya dipercayakan kepada Wagub A.A. Nusi ini cukup elit dan menyenangkan. Amat berbeda dibanding rekan-rekan mahasiswa pejuang reformasi di Jawa dan Sumatera yang “berseberangan“ dengan Pemda.

Tidak heran jika pernyataaan para mahasiswa reformis di Jakarta jelas dan transparan bagi rakyat, maka pokok-pokok pikiran dan misi yang dibawa rombongan mahsiswa Sulut itu “gelap”. Copy pokok-pokok pikiran yang sedianya akan ikut dibahas dalam diskusi reformasi para tokoh Kawanua Jakarta di ASMI 29 Mei lalu pun tidak bersedia dibagikan. Tidak heran jika rekan-rekan IMKI (Ikatan Mahasiswa Kawanua Indonesia) dan para aktifis LSM yang hadir ketika itu sempat “mengadili” mereka. Lantaran juga mereka lebih suka jalan-jalan menikmati Jakarta di waktu malam, beli oleh-oleh, tertutup untuk diskusi dengan para mahasiswa Kawanua Jakarta dan jauh dari nuansa kejuangan reformasi.

Bung Fero Umboh SH dari DPP IMKI bahkan berkomentar, “kasihan, pembina dan elit politik Sulut telah membuat mereka lebih suka tidur-tiduran di kamar dan ‘buka loket’ berkunjung kepada para pengusaha ketimbang berdiskusi memikirkan reformasi dan pembangunan daerah. Dibanding aksi-aksi mahasiswa yang tergabung dalam ‘Forum Kota’, mereka tidak lebih dari
peanuts”.

Sudah tentu rombongan pasiar itu tidak mencerminkan keberadaan mahasiswa Sulut dan berseberangan dengan aksi-aksi reformasi murni yang berkembang dalam masyarakat, seperti aksi tokoh-tokoh ma-syarakat Minahasa - 30 Mei - pimpinan Theo Tuerah dan Eddy Mantik yang menuntut Bupati hasil nepotisme Dolfi Tanor mundur dari jabatannya, serta menuntut mundur seluruh KAKICIS Ketua Golkar Sulut Rolly Tanos dari seluruh jajaran legis-latif dan eksektif.

Mereka jelas bukan bagian dari para mahasiswa-mahasiswa reformis di Manado, Tondano, Tomohon dan Gorontalo. Atau termasuk dalam ribuan “Sam Ratulangi muda” yang masih murni, jujur, bersih dan moralis, yang tengah bersiap mengadakan reformasi total, meneladani rekan-rekannya di Jawa dan Sumatera. Mereka yang ke Jakarta itu – maaf – tidak lebih dari perengek-rengek kepada kaum KKN-KAKICIS pembina dan elit politik daerah yang gagasan “idealisme”nya memerlukan uang dan donasi Pemda Sulut.

Dari perkembangan dan dinamika “reformasi-reformasian” yang dikendalikan kaum KKN-KAKICIS pembina dan elit politik daerah (yang seharusnya menjadi sasaran reformasi sebenarnya), saya kuatir kecenderungan konflik fisik dan terbuka dengan para reformis murni dapat terjadi setiap saat.

Untuk itu dalam rangka membersihkan jalan moral yang sedang ditempuh, para reformis murni perlu bergegas membentuk semacam “komite penyelamat jarahan harta rakyat Sulut”. Agar kaum nepotis-kolusitor-koruptor yang selama ini difasilitasi pembina dan elit politik tidak lagi semena-mena menggunakan hasil jarahan uang rakyat untuk mengkonsolidasi kekuatan dan memecah belah rakyat.

Dalam hal ini insan pers Sulut, termasuk TVRI Manado, perlu diikutsertakan bergabung dengan kaum reformis murni. Agar media pers juga memberi ruang yang cukup dan adil bagi pemasyarakatan perjuangan reformasi.

Selain itu, perlu dilakukan pengawasan intensif terhadap Pemda agar pengadaan Sembako dengan harga yang realistik terjangkau rakyat dilakukan secara sungguh-sungguh. Hilangkan retorika arogan “Sulut tidak kenal resesi, yang ada resepsi”.

Dan akhirnya, mengajak ABRI tanpa pandang bulu mengantisipasi ulah para penghasut, kaum “reformasi-reformasian”, yang menunggangi isu-isu SARA dalam mengorganisasikan unjuk rasa. Sebab anasir pemecah belah bangsa yang dalam rangka menjaga kedudukan, pangkat dan harta yang diperoleh dari hasil KKN-KAKICIS dengan pembina dan elit politik ini adalah sejenis “raja tega” yang rela memecah belah dan mengadu domba rakyat, serta tega mencucurkan darah rakyat yang tidak berdosa.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar