Sabtu, 03 Juli 2010

21. MENYAMBUT MENAKER THEO LEO SAMBUAGA

PUJILAH TUHAN, HAI MINAHASA!

Willy H. Rawung
MANADO POST 23 Maret 1998 dan CAKRAWALA No. 8, 1 Mei 1998


SABTU PAGI 14 Maret 1998 pastilah hari yang amat besejarah bagi Minahasa selama era Orde Baru. Ketika Presiden Soeharto mengumumkan pengangkatan Drs. Theo Leo Sambuaga, MA menjadi Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet Pembangunan VII.

Amat bersejarah, sebab berarti masa penantian panjang masyarakat Kawanua selama 32 tahun usai sudah. Tuhan akhirnya telah menjawab segala doa dan harapan kita. Salah satu putra terbaik bangsa kelahiran Manado 6 Juni 1949 yang tamatan SMP dan SMA Negeri I Manado, mantan anggota Paskibraka dan merantau menuntut ilmu ke Jakarta sejak 1968 itu berhasil dipercaya menjadi Pembantu Presiden RI.

Sebagai sahabat yang telah mengenalnya tahun 1966 sejak ia menjadi Ketua OSIS SMA Negeri I Manado, kemudian sama-sama sebagai aktifis IPMMD (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Jakarta), sampai berkumpul di rumahnya usai mendengar pengangkatan sebagai Menteri Kabinet, praktis saya tidak melihat perubahan mendasar dalam karakter dan kepribadiannya. Ia tetap Theo yang saya kenal. Terbuka, ramah, hangat, solider, santun, rendah hati, cendekia, yang dalam perwujudan keindonesiaan tetap memegang teguh kekawanuaan dalam prinsip hidupnya, Jangang Beking Malo.

Satu hal selalu saya yakini, anak kampung Mahakeret Barat, Manado, alumnus FISIP UI ini tidak akan pernah berupaya “menyembunyikan” wujud kekawanuaan dalam keindonesiaannya dalam menapak karir. Sebab ia berasal dari suatu generasi yang unik dalam sejarah kekawanuaan. Generasi yang berusia SD saat meletus pergolakan Permesta ini penuh percaya diri terhadap wujud kekawanuaan, namun juga teramat sangat mencintai Indonesia. Generasi yang konsisten menggali dan melestarikan tradisi adat dan budaya Minahasa, kendati – praktis – mesti dipelajari sendiri berhubung generasi pendahulu “lupa” mewariskan. Generasi yang tidak ‘traumatis”, sehingga tidak pernah menguatirkan kekawanuaan akan menghambat perjalanan karir. Generasi yang sering meleceh petinggi Kawanua yang suka ‘berubah’ wujud menjadi “putra Solo”, “putra Makasar” atau “putra Bogor” demi menggapai jabatan tinggi. Generasi yang sering berkaca pada Sam Ratulangi: sosok cendekia modernis yang tetap mempertahankan kefasihan berbahasa asli Minahasa sebab teramat sangat mencintai budaya leluhur. Generasi yang karena kesadaran sendiri mendirikan atau menjadi inspirator berbagai organisasi, yayasan, penerbitan, dan kegiatan-kegiatan lain-lain yang bersifat kekawanuaan. Generasi yang memasuki dan memberi warna khusus pada KKK-Kerukunan Keluarga Kawanua, YKM-Yayasan Kebudayaan Minahasa, MKM-Majelis Kebudayaan Minahasa, sebagai bagian dari kesadaran perlunya “rekonsialisasi” dan konsolidasi antar generasi, antar Kawanua Asli dan Kawanua Kaart dan antar kekuatan sosial politik yang sempat terpecah berkeping-keping semasa Orde Lama, demi mewujudkan kehidupan lebih berkualitas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Generasi yang tanpa sungkan menyuarakan “gubernur Sulut harus putra daerah” saat menyikapi pemberhentian Gubernur Willy Lasut G.A. beberapa tahun lalu. Generasi yang tanpa gentar “turun ke jalan” memperjuangkan amanat penderitaan rakyat saat mengkritik Gubernur H.V. Worang pada zamannya. Generasi yang membawa maengket dan musik Bambu dari “teater kintal” di kampung-kampung ke Balai Sidang Senayan untuk dipergelarkan secara profesional pada tahun 1980-an. Generasi yang dengan bangga berbusana baniang dan kabaya di perhelatan-perhelatan nasional mau pun internasional. Generasi yang darinya masyarakat Kawanua dapat belajar dan meneladani bagaimana menghayati tradisi keegaliteran dan kedemokratisan para leluhur dengan prinsip ‘perbedaaan pendapat tidak akan mampu merenggangkan persahabatan, memutus persaudaraan dan memusnahkan wujud kekawanuaan’.
Dan kini, generasi ini pula lah - bersama adik-adiknya dari generasi kemudian - secara intens menggumuli betapa untuk mempertahankan perwujudan kekawanuaan dalam perwujudan keindonesiaan memasuki era kejagatan (globalisme), tou (manusia) Kawanua memerlukan Baku Beking Pande sebagai falsafah yang berakar pada budaya Minahasa.

Barangkali Theo adalah salah satu contoh kasus yang dapat dikedepankan dari generasi ini. Master lulusan School of Advanced International Studies (SAIS) John Hopkins University, Washington D.C. ini saat kampanye Pemilu lalu merasa perlu mengunjungi Watu Pinawetengan, untuk memperlihatkan monumen alam persatuan leluhur Minahasa itu kepada sang istri - Erna Soedaryati Soekardi - yang asal Jawa Timur. Serta berjalan keluar masuk lorong-lorong di kampung Mahakeret menyalami rekan-rekan sepergaulan masa muda. Lulusan KSA IV Lemhanas ini juga tetap terpanggil - tanpa sungkan - menduduki posisi teras dalam organisasi KKK Jakarta selama beberapa periode. Bahkan saat diangkat sebagai Menteri ia masih menjabat salah satu Wakil Ketua Umum (periode sampai Desember 1998). Suatu jabatan yang tidak semua petinggi “berani” memangkunya, sebab “malu” atau kuatir dituduh “etnik sentris” (umumnya mereka baru mau menjabat setelah pensiun).

Dengan peristiwa bersejarah ini, Ketua FKP yang sejak 1982 menjadi anggota DPR-RI seperti ingin membuktikan kepada kita bahwa jatidiri kekawanuaan tidaklah “nista”, tetap justru modal kodrati mencapai cita-cita tertinggi: salah satu pemimpin bangsa.

Dari pengalaman berteman selama puluhan tahun, calon Golkar Sulawesi Utara urutan pertama dalam Pemilu lalu ini memang bukan jenis pemimpin yang suka “lupa kacang akan kulitnya”. Atau menjadi pang tunjung pande, kehilangan integritas saat menjabat posisi penting. Sebagai Sekjen DPP KNPI (1981-1984) dan Ketua DPP AMPI (1984-1989), putra keluarga Sambuaga-Gontha ini justru dikenal sebagai pemimpin pemuda yang moderat. Terlihat pada berbagai tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku, agama dan golongan memerlukan bertandang ke rumahnya hari itu menyampaikan ucapan selamat. Para sahabat yang Kristen mau pun yang Muslim sama-sama mendoakan dengan tulus ayah dari Eddy Khrisna Patria (19) dan Jerry Adi-thya Ksatria (12) itu.

Sekarang, Minahasa dan Sulut tidak dapat lagi memilikinya sendirian. Theo yang memapak karir politik dari KNPI dan dua kali mewakili Jawa Tmur di DPR-RI (baru sejak 1997 mewakili Sulut) telah menjadi milik masyarakat, bangsa dan negara.

Apalagi Wakil Sekjen DPP Golkar yang juga salah satu Ketua PPK Kosgoro ini akan menghadapi tugas yang dikatakannya sebagai tidak ringan. Ia perlu didukung oleh kita semua, terutama Minahasa, yang seyogianya mesti terus mendoakannya ! Agar penganut Protestan yang dibaptis GMIM dan menjadi Ketua Komisi Politik, Keamanan Internasional dan Perlucutan senjata pada Konperensi IPU – Inter-Parliamentary Union di Sofia, Bulgaria, ini dapat menjadi “garam” dan “terang” di tengah-tengah masyarakat bangsa dan negara.

Dalam beberapa artikel saya di harian Manado Post yang menyoroti tercabik-cabiknya tatanan kultural Minahasa sebagai akibat lemahnya kepemimpinan pembina dan elit politik daerah dalam proses pemilihan Bupati Minahasa baru-baru ini, saya sempat kecewa berat. Dan merasa bahwa organisasi semacam KKK, YKM, MKM, gelar-gelar Tona’as Wangko, serta hadirnya ratusan organisasi kekawanuaan di seantero Tanah Air adalah suatu kesia-siaan belaka. Sebab jangankan mengakselerasi pemberdayaan sumber daya manusia Kawanua, di tanah Toar Lumimuut sendiri ternyata dorang pe baku-baku cungkel so dapa tako skali.

Syukurlah, Tuhan memberikan Theo kepada kita. Sehingga Minahasa terpacu kembali meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia untuk dipersembahkan kepada Indonesia tercinta. Segala aktifitas keorganisasian yang selama 30 tahun terakhir secara intensif dilakukan – dengan berkat Tuhan – tidak menjadi kesia-siaan. Sesuatu yang amat berharga telah dihasilkan, para Kawanua perantauan (diasphora) tidak hanya pandai “memasok” manusia untuk menjadi gubernur Sulut, tetapi juga - kini - Menteri Kabinet.

Untuk itu nomor satu yang amat perlu dilakukan oleh Minahasa untuk merespons hari bersejaran ini ialah memuji Tuhan. Pujilah Tuhan, sebab setelah menanti selama 32 tahun kita boleh mempersembahkan seorang putra terbaik bagi bangsa. Pujilah, Pujilah Tuhan hai Minahasa, sebab Bung Theo telah membuka jalan bagi “Bung Theo” lain untuk menjadi anggota Kabinet di masa-masa mendatang. Pujilah Tuhan, sebab apa yang selama ini kita anggap mustahil, telah dimungkinkan oleh Tuhan!. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar