Minggu, 04 Juli 2010

32. “GOLKAR TIDAK MENIPU RAKYAT ?”

Willy H. Rawung
MANADO POST 29 September 1998

KEDATANGAN Ang Marentek dan kawan-kawan ke redaksi Manado Post untuk meluruskan tulisan dalam pojok “Tukang Kuti”, Manado Post 14/9, dapat dikata suatu kemajuan besar dalam memulai budaya politik yang sehat di Sulut. Sebab meski berdialog dengan nada tinggi (so ganu’ kote’?), kedatangan para politisi kita tentu jauh lebih bijak ketimbang bertindak kriminal, seperti merusak kantor atau mengeroyok orang.

Yang penting disini mereka dapat menyampaikan isi hati dan bantahan bahwa "Golkar tidak pernah memanipulasi kepentingan rakyat. Kalau oknum kader Golkar, bisa saja. Malah kami bisa membantu memberikan data-datanya", telah dimuat harian ini. Soal berita siapa atau bantahan siapa yang benar, tentu berpulang kepada akal sehat sidang pembaca.

Setelah mereguk nikmat bulan madu sebagai salah satu pilar rezim Orde Baru, “partai” Golkar yang terbiasa berlindung di bawah kekuasaan memang mesti belajar hidup dalam paradigma baru: demokrasi!

Berbudaya politik yang sehat, belajar berpikir dan bermental dewasa, dengan mulai membiasakan diri menerima krtitik, tudingan bahkan fitnah. Hal-hal yang semestinya lazim dalam percaturan politik praktis.

Sebab kalau tidak tahan dan tak mampu bersikap dewasa, bisa-bisa kerjaan hari-hari hanya mendatangi dan memarahi kantor-kantor media pers dan pusat-pusat “ngerumpi” untuk “meluruskan” sesuatu yang belum tentu lurus. Belum lagi nanti saat memasuki masa kampanye Pemilu yang pasti akan diwarnai berbagai intrik antara parpol yang bersaing. Bila kurang dewasa, bisa-bisa waktu hanya dihabiskan mengorganisasikan satgas “kepalan dan urat leher” atau “
ramas-ramas orang pe tangang” demi memberangus kritik dan serangan dari kontestan lain.

Dalam wawancara
Buletin Malam RCTI 15/9, pengamat Eep Saefullah menyatakan selama 32 tahun ini rezim Soeharto telah menjalankan kekuasaan secara primitif, yakni melalui cara logistik (sembako, dll) dan cara pengamanan (stabilisasi). Bicara rezim Soeharto pada masanya tentu saja sama dengan bicara tentang Golkar. Nah kalau tidak dewasa berpolitik atau sudah kadung dihinggapi penyakit fanatisme, memirsa berita mengesalkan demikian bisa-bisa membuat pesawat TV di rumah digempur sendiri. Sementara salah seorang pemilik RCTI, Bambang Trihatmodjo, justru tenang-tenang saja memirsa ayahandanya dikomentari demikian.

Berpikir dewasa, bijaksana dan belajar berdemokrasi tidaklah mudah. Terlebih dalam kondisi sekarang di mana Golkar terpaksa mesti mandiri dan setara dengan par-pol. Serta belum-belum sudah mengalami pembelotan-peggembosan-pengunduran diri (P3D) yang diawali pada pasca musda yang lalu. Itu pun baru gelombang babak pertama dari keterpurukan mesin politik rezim orde baru itu.

Gelombang P3D babak kedua sudah menanti, yakni pada pasca Musda DPD II/Kabupaten/Kotamadya yang akan digelar dalam waktu dekat.

Sementara gelombang P3D babak ketiga diperkirakan akan terjadi sesudah pensahan UU kepartaian baru yang melarang ABRI/pegawai negeri menjadi anggota partai. Ini, kalau pasal tentang larangan tersebut tidak digagalkan Golkar yang untuk sementara menduduki mayoritas DPR. Sebab konon, Golkar akan “menawar” supaya pegawai negeri dalam batas-batas tertentu boleh merangkap anggota/pengurus partai. Sebab bila UU mensahkan pelarangan, kurang lebih 70% pengurus DPD I dan DPD II (termasuk di Sulut) plus sekian juta anggota Golkar diperkirakan akan melakukan P3D demi mempertahankan
“kampung tenga” (perut) yang lebih terjamin dalam status pegawai negeri.
Istri saya berpendapat, nyaris mustahil ada istri kader partai ikhlas mengizinkan sang suami melepas status pegawai negeri demi menjayakan partainya, kecuali mereka yang sudah dekat-dekat
traham (pensiun). Lagi pula siapa rela melepas kedudukan birokrasi yang sudah kadung priyayi, feodal, dan lengket dengan KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) untuk ditukar dengan keanggotaan partai yang belum tentu memenangkan pemilu?

Babak keempat amat mungkin terjadi saat partai-partai baru membuka cabang di daerah. Kader-kader Golkar yang menyeberang akan diberi jabatan lebih tinggi, ibarat perusahaan baru yang membajak manager profesional atau tenaga ahli dari perusahan saingan. Belum lagi yang memang “babuang” lantaran alasan idealisme, idelogi, SARA dan “sakit hati”.

Babak kelima akan terjadi selama masa kampanya Pemilu, yakni ketika partai-partai baru mengkampanyekan, misalnya, sumber malapetaka dimana 2 dari 3 orang Indonesia telah jatuh miskin - ditimpakan kepada perbuatan KKN mantan ketua dewan pembina Golkar, Soeharto, keluarga, dan konco-konconya di daerah.
Golkar Sulut akan sulit menghindari terpaan gelombang P3D, mengingat pola pikir yang masih jauh dari kultur reformasi dan ketakberdayaan melepas diri dari kultur politik rezim Orde Baru. Yang, misalnya, lebih suka mengedepankan soal-soal prosedural, administrasi, konstiusi partai, legalitas, petunjuk DPP, dan yang sejenis untuk pembenaran sikap.

Prof. Ishak Pulukadang memang agak memasuki substansi ketika melihat kelemahan Golkar pada ditampilkannya figur neokonservatif
(MP 3/9/98). Tetapi pikiran beliau yang berbau reformis dan menginginkan Golkar bersih dari status quo (“Ada pengurus yang tidak hanya produk orde baru, tapi orde lama. Mereka sudah berkiprah sejak orde lama, kemudian bisa menyesuaikan dan eksis di orde baru …”) sayangnya dipoles dengan gincu tatakrama Orde Baru lagi, "Pengurusnya memang harus gemuk, supaya bisa mengakomodasi semua potensi yang ada ……Dalam merekrut kader, memang harus memilih tokoh dari potensi tertentu. Tidak boleh sembarang comot. Jangan merekrut yang bukan kader. Jadi kalau menga-komodasi organisasi, yah ketua organisasi yang dimasukan. Itu kan cukup proporsional"'. Kembali, ia mengedepankan lagi segi-segi normatif intern Golkar ketimbang substansi.

Selama Golkar tidak menyentuh substansi, seperti menampilkan figur bersih KKN, dikenal, dicintai rakyat, yang siap “ditawarkan” kepada calon pemilih dalam pemilu mendatang, tidak memiliki
sense of crisis, tetap merasa business as usual. Dan selama mereka secara substansial tidak berpihak kepada rakyat. Maka gelombang lima babak P3D akan menenggelamkan Golkar diurutan pemenang ketiga pemilu, sebagaimana diperkirakan William Liddle dari Ohio State University.

MENGAPA TIDAK MENELADANI ABRI?

Menghadapi kritik, gugatan, cercaan bahkan hujatan masyarakat terhadap rezim Soeharto (termasuk Golkar), mestinya para kader Sulut meneladani pendirian ABRI yang jelas-jelas mengakui diri sebagai salah satu bagian dari format politik rezim Orde Baru, seperti dinyatakan Kassospol ABRI Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono
(Kompas 12/9/98).

Beliau secara ksatria menyatakan tidak adil jika ABRI dianggap salah atas peran masa lampaunya meskipun ABRI sendiri menyadari telah terjadi beberapa deviasi dan sesuatu yang lebih dari propor-sinya. Harus dipahami bahwa ABRI hanya menjadi salah satu bagian saja dalam format politik Orde Baru, yang ditandai ditekankannya stabilitas nasional, pembangunan ekonomi, integrasi nasional, pembinaan politik dan pemerintahan yang kuat. "Kita harus paham format politik Orde Baru diawali dengan kebutuhan obyektif waktu itu, format politik Orde Baru ya seperti itu. Jadi sebenarnya, peran yang dilakukan ABRI tentu berada dalam format politik semacam itu. Bahwa ada deviasi dan sesuatu yang lebih dari proporsinya, inilah yang hendak kita perbaiki," katanya.

Jadi berbeda dengan pendapat kader-kader yang datang ke
Manado Post, bagi ABRI masalah “beberapa deviasi dan kelebihan proprsi” bukanlah soal oknum, tetapi soal format atau sistem, serta soal lembaga, bukan soal oknum. “Beberapa deviasi dan kelebihan proporsi” adalah bahasa halus, sementara bahasa kasar bisa saja disebut “KKN”, “rezim primitif” yang semuanya bermakna pada merugikan kepentingan rakyat.

Sebagai kekuatan politik yang juga menikmati “beberapa deviasi dan kelebihan proporsi”, para kader boleh saja mengklaim Golkar masih merupakan kekuatan besar dan “memberikan andil besar dalam pergantian Presiden”. Namun jangan lupa, Harmoko ketua umum atas nama Golkar (bukan oknum) itulah yang dihujat keluarga Pak Harto sebab membujuk beliau menjadi Presiden lagi. Dan Harmoko ketua umum yang sama itu pula yang dua bulan kemudian ikut-ikutan meminta Soeharto turun dari jabatannya. Bukan karena lembaga Golkar tiba-tiba menjadi reformis, tetapi lantaran ia tidak sebesar dan sekuat seperti dibayangkan para kader, sehingga terpaksa ikut-ikutan setuju dengan tuntutan gerakan reformasi mahasiswa dan desakan dunia internasional: turunkan Soeharto !.

Nah, sikap “plintat-plintut” lembaga Golkar yang ternyata bukan kekuatan besar itulah – antara lain – yang dimaksud dengan memanipulasikan kepentingan rakyat. Sebab baik mengangkat dan menurunkan Soeharto pun Golkar selalu mengatasnamakan rakyat.

Dengan meneladani sikap ksatria ABRI, seyogianya pengakuan kesalahan sebagai lembaga atau - bahasa halusnya - “beberapa deviasi dan kelebihan proporsi”, mulai dipelajari dan diamalkan para kader. Sebab bagaimanapun juga, Golkar tidak dapat melepaskan diri dari dosa-dosa politik rezim Soeharto yang telah membenamkan duapertiga rakyat Indonesia dalam kemiskinan.

Adalah lebih bijak mengintrospeksi diri, melakukan reformasi internal (sebagaimana dilakukan ABRI), ketimbang memaksalan diri seolah-olah masih dalam zaman kejayaan rezim lama. Masih
business as usual. Ditambah sikap arif bijaksana, dewasa dan menjauhkan diri dari pola pikir sektarian, SARA, KKN dan yang sejenis, Golkar masih memiliki peluang di Sulut. Kendati untuk mengharapkan kondisi kemenangan pemilu 1997, ibarat ‘punguk merindukan bulan’. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar