Jumat, 02 Juli 2010

15. WATU PINAWETENGAN IN NUWU

Willy H. Rawung
MANADO POST 17 Januari 1993

PENDETA SCHWARZ dari Sonder mestinya dianggap seorang tokoh penginjil berniat baik. Sebab beliau adalah peziarah non-Minahasa pertama yang diizinkan – dan diantar – para tetua Minahasa memasuki
Watu Pinawetengan In Nuwu (1888). Kunjungan beliau membuka kesempatan bagi peziarah non-Minahasa berikutnya, setelah selama berabad-abad sebelumnya sangat tertutup dan terlarang bagi penziarah non-Minahasa (JGF Riedel, “De Watu rerumeran ne Empung in de Minahasa”, Tijd, XL, 1898 seperti di kutip Bert Supit, “Minahasa, Dari Amanat Watu Pinawetengan samapi Gelora Minawanua”, Penerbit Sinar Harapan, 1986).

LEGENDA
LUMIMUUT-TOAR

Apresiasi Schwarz dan penginjil-penginjil
NZG lainnya disebabkan kukuhnya legenda Lumimuut-Toar tertanam dan mempengaruhi tatanan masyarakat yang sedang dikristenkan saat itu (Penulis sepakat menuruti gagasan kandidat Doktor Bertha Pantouw untuk membahasakan Lumimuut-Toar ketimbang Toar-Lumimuut). Legenda yang menjadi sumber kepercayaan kuna etnik Minahasa tersebut dikisahkan dalam banyak versi, namun - menurut Bert Supit - versi-versi itu selalu memiliki kesamaan unsur. Yaitu seluruh orang Minahasa adalah keturunan dari Toar (ayahanda) dan Lumimuut (ibunda), sementara Toar adalah putra kandung Lumimuut. Lalu, orang Minahasa bukanlah penduduk asli dari daerah yang mereka duduki sekarang, dan – ini yang pokok - pembagian dan penempatan wilayah-wilayah ditetapkan melalui suatu upacara yang diselenggarakan di Watu Pinawetengan in Nuwu.

NUWU I TUA

Pemahaman masyarakat perihal situs
Watu Penawetengan selama ini agaknya telah seringkali rancu dan tidak lagi sama sebangun dengan makna sebenarnya yang dituju para leluhur. Kerancuan terjadi sejak monumen alam itu disalah tafsir oleh N. Graafland dalam de Minahasa haar veleden en haar tegenwoordige toestand (Haerlem, 1890) sebagai “deverdeeling der spraak (pembagian bahasa yang dihubungkan dengan kisah Menara Babel). Yang dikutip pula oleh JGF Riedel : “de verdeeling van de wijze van ve-reering der Empungs, de vergode vaderen” (pembagian cara-cara memuja Empung leluhur yang menjadi dewa-dewa).

Akibat kesalah tafsiran ini, umat Kristiani “menjauhi” kompleks
Watu Pinawetengan lantaran tafsiran kedua penginjil - kurang lebih memaknakan - Watu sebagai “berhala”, yang diharamkan iman Kristen. Tafsiran yang salah kaprah ini setidaknya telah memberi pengukuhan bahwa watu tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dalam tata kehidupan masyarakat Minahasa kuna.

Dalam rangka meluruskan kesalahkaprahan tafsir yang kian berlebihan - di tengah para modernis, yang mulai memandangnya sebagai “monumen omong kosong” - politikus dan matematikus handal Dr. GSSJ Ratulangi melancarkan apologi: “kita tidak boleh melakukan tinjauan yang tidak pasti berdasar kisah-kisah yang diteruskan secara turun temurun, tetapi kita dapat mengecualikan kisah tentang Watu Pinawetengan in Nuwu… Batu ini adalah batu besar yang berasal dari gunung berapi dan terletak dikaki gunung Tonderukan dalam komplek pegunungan Soputan, tempat seluruh walak pernah menyelenggarakan pertemuan untuk mengatur pembagian tanah tumpah darah mereka, sesuai jalannya cerita. Gambar-gambar yang tertulis di atas batu tersebut merupakan meterai pembagian yang akan berlaku sepanjang masa” (
De Indische Gemeente-Ordonantie voor de Minahasa ..” Persatuan Minahasa, Batavia 1933).

Bapak bangsa itu ingin menegaskan bahwa makna sesungguhnya dari
Watu Pinawetengan adalah meterai keberadaan etnik Minahasa di ujung utara jazirah Sulawesi. Menjadi saksi bahwa pada suatu masa di tengah-tengah para tonaas, walian, pa’matuan (tetua negeri), pa’tuusan (pemuka masyarakat) serta waraney (serdadu), sang Pemimpin yang telah membawa keturunan Lumimuut-Toar dengan selamat sampai ke pemukiman baru, menyampaikan keputusan Min’hasa (musyawarah adat) yang mesti diamanatkan turun-temurun sebagi Nuwu I Tua (Nuwu = ucapan, atau sabda dari Sang Pemimpin) :

Sapake si koyoba’an anio, tana ‘ ta imbaya !
Asi endo makasa, sa me’e si ma’api
Wetengen eng kayobaan!
Tumani e kumeter
Mapar e waraney
Akad se tu’us tumou o tumuo tou


(Bahwa tanah tumpah darah ini, ialah milik kita semua
Bila pada saatnya sang burung manguni memberi tanda
Bagi-bagikanlah itu, wahai para pemimpin
Bagi-bagikanlah tanah ini
Bukalah lahan pertanian baru, wahai pemimpin kerja
Kuasailah itu, wahai serdadu perkasa
Agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup).
(
Sumber: cerita : guru tua KB Masinambouw, yang banyak persamaannya dengan kisah Pastor Doms-dorff, dan menjadi sumber utama artikel Mr FD Holleman dalam “De verhouding de gemeenschap-pen-familie, dorp en district in Minahasa,”Ind. Gen. 1929-Bert Supit, ibid).

Nuwu I Tua yang disumpahadatkan para leluhur inilah yang membuat batu itu disebut Watu Pinawetengan, sementara Bert Supit mengistilahkan sebagai Amanat Watu Pinawetengan.

Saya lebih memahami
Nuwu I Tua sebagai konstitusi Minahasa dan Watu Pinawetengan in Nuwu - yang kita kenal – sebagai monumen peringatan alami yang dipilih untuk menandai lokus dimana konstitusi tersebut disahkan. Pendapat ini memang tidak didukung bukti tertulis sejarah. Namun kepatuhan selama berabad-abad dari etnik di Minahasa terhadap konstitusi lisan itu adalah indikasi faktual yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Apalagi konstitusi itu kemudian menjadi acuan tata pemerintahan modern sampai sekarang.

Coba anda bayangkan, hanya dengan
Nuwu terjadi kepatuhan total dan abadi atas pembagian tanah dan wilayah di antara seluruh subetnik : Tontemboan, Tombulu, Toulour dan seterusnya. Tiada yang berani melanggar. Setiap pelanggaran batas wilayah, bukan hanya menanggung resiko penghukuman oleh subetnik lain, tetapi juga – diyakini - dapat berakibat kemarahan dan kutuk para leluhur. Ini menandakan kokohnya konstitusi lisan itu dalam tatanan kehidupan Minahasa kuna.

Menurut Supit, sekurang-kurangnya telah terjadi dua kali
Nuwu I Tua. Pertama, dilakukan oleh keturunan Lumimuut-Toar. Kedua, setelah migrasi subetnik Tou Singal (kemudian dikenal sebagai: Tondano) dari pulau Tidore yang mendarat di Tanjung Pulisan dan diizinkan oleh walak Tounsea untuk meng-apar (menguasai) daerah yang kini dikenal sebagai Tonsea Lama. Disusul migrasi subetnik Tounsini atau Tounsingin (Tounsawang), juga dari pulau Tidore (N Graaflan, ibid).

Penerimaan baik leluhur
Lumimuut-Toar terhadap dua subetnik penyusul tersebut adalah sebab Tondano dan Tonsawang menerima totalitas dan kesahihan konstitusi Nuwu I Tua sebagai persyaratan adat untuk berserikat dalam keturunan Lumimuut-Toar. Dengan tunduknya Tondano dan Tonsawang terhadap Nuwu, kehadiran kedua subetnik itu di Minahasa menjadi sahih. Kesahihan yang memberi kepada mereka hak-hak hidup dan hak-hak perlindungan wilayah di bumi Lumimuut-Toar. Termasuk hak-hak menjadi “anak-anak keturunan Lumimuut-Toar”.

Perang Tondano (1808-1809) adalah contoh klasik yang tiada duanya tentang kepatuhan seluruh subetnik – anak-anak keturunan
Lumimuut-Toar- terhadap Nuwu i Tua. Ketika seluruh Minahasa - termasuk Tondano - menabalkan Lontho ukung Kamasi Tomohon sebagai pemimpin peperangan yang diabsahkan dalam musyawarah adat (Min’hasa). Sementara Tewu dan Matulandi - nota bene dari Tondano - berada di lini kedua. Penabalan Lontho membuktikan bahwa Nuwu I Tua adalah pemersatu seluruh subetnik seantero Minahasa. Dan kesatuan itu dioperasionalkan dalam perang melawan kolonial yang sangat berdarah itu. Yang oleh sejarawan lokal lebih suka menyebutnya sebagai Perang Minahasa di Tondano.

Dari segi lain, Bert Supit menulis betapa kokohnya
Nuwu I Tua mempengaruhi manusia Minahasa meng-apar (menguasai) wilayah-wilayah pemukiman baru. “Legitimasi dan kesetiaan terhadap kedua Nuwu telah menjadi landasan dan obor perjuangan hidup keturunan Lumimuut-Toar melaksanakan penyebaran kelompok-kelompok subetnik ke timur dan barat, hingga mencapai wilayah kerajaan Bolaang Mongondow di bagian selatan”.

Supit mengutip laporan Pendeta JA Schwarz dan NP Wilken yang mengunjungi pemukim Minahasa yang sejak abad XVII telah
tumani (bertani) di wilayah kerajaan Bolaang Mongondow - menyaksikan etnik Minahasa tetap menganut kepercayaan dan agama leluhur, serta menggunakan bahasa Minahasa (NP Wilken & JA Schwarz, “Verhaal eener reis naar Bolaang Mon-gondow, Aantekeningen van FSA, de Clerg, MNZ XI, 1967).

Menurut hemat penulis,
Nuwu I Tua - telah tanpa sadar - menciptakan pula pemukiman-pemukiman Minahasa di seluruh Nusantara bahkan di beberapa bagian dunia. Yang kendati berhadapan langsung dengan tatanan modern, tetap terpanggil untuk berserikat. Seperti nampak pada terorganisasinya perkumpulan-perkumpulan Kawanua berdasar taranak dan roong di Jakarta dalam semacam federasi yang bernama Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK).

Era pasca industri nampaknya tidak mampu menggerus keterikatan terhadap
Nuwu I Tua dan terhadap Watu Pinawetengan in Nuwu. Kendati kemajuan teknologi nyaris “menelan” monumen leluhur itu - yang entah ide dari mana - dikurung dan dibenamkan ke dalam bangunan bak kamar mandi, membuat keagungan dan keindahannya nyaris sirna. Toh “roh” dari nilai-nilai yang terpateri diatas watu tetap bernyala dan hidup di tem-pat manapun manusia Kawanua berada.

KENAIFAN SUBETNOSENTRISME

Namun di balik itu semua saya prihatin bahwa dalam perkembangannya kini, konstitusi
Nuwu I Tua yang telah sekian abad membuat etnik Minahasa dapat bertahan (survive) di bumi Nusantara dan di beberapa bagian dunia mulai diracuni pikiran-pikiran jahat, yang penulis percaya diakibatkan terkontaminasi ekses manuver politik praktis. Atau setidaknya, dipengaruhi ideologi asing yang tak berakar di bumi Lumimuut-Toar, bahkan tak berakar di bumi Nusantara.

Coba direnungkan dalam-dalam, apa
nyanda seno (tidak edan), jika manusia Minahasa mulai menjadi subetnosentris, dengan mencoba mempersoalkan bahwa seorang Gubernur Sulut, seorang Bupati Minahasa, seorang Ketua Sinode GMIM, atau seorang pejabat birokrasi anu mesti berasal dari subetnik tertentu, semisal Tontemboan, Tonsea dan seterusnya. Sementara para leluhur serta para Kawanua dirantau menajiskan pikiran-pikiran jahat dan pemecah belah model demikian lantaran bertentangan dengan hakikat Nuwu I Tua.

Bukankah contoh kasus Lontho sudah tegas-tegas memberi acuan. Bahwa beliau terpilih sebagai pemimpin Perang Tondano karena ia memang lebih dari kredibel untuk jabatan tersebut.
Min’hasa - tentu - boleh menolak beliau sebagai pemimpin. Tetapi penolakan oleh sebab-sebab yang menyangkut kualitas kepemimpinan, kualitas ke-waraney-an, bukan karena alasan kenaifan subetnik. Sebab sekali Min’hasa menerapkan argumentasi penolakan naif, semisal mempermasalahkan asal usul subetnik Lontho yang dari Tomohon, maka hancur luluhlah tatanan Nuwu I Tua, dan musnah juga “batu penjuru” yang selama ini membuat seluruh subetnik hidup dalam kesatuan, ketenteraman dan harmoni.

Syukur para leluhur diberi hikmat untuk memahami tanda-tanda zaman. Sebab jika mereka terkontaminasi penyakit politik praktis lalu terjebak dalam kenaifan etnosentrisme, maka sebelum bertempur melawan Belanda,
Min’hasa sudah lebih dahulu pecah berkeping-keping dan perang Tondano akan bernasib lain. Sebab yang akan tyerjadi adalah perang tanpa berkeputusan antara sesama subetnik di Minahasa. Syukur kepada Tuhan, mereka tidak berpikir naif dan kerdil.

Penulis yakin, selain hikmat dari Tuhan, maka rasa hayat berkebudayaan yang tiada tara dari para leluhur, adalah satu faktor yang mematikan keberanian untuk mempersoalkan kepemimpinan kepala
Walak Tomohon itu, hingga tidak terbesit kenaifan dan kepicikan untuk mempermasalahkan asal-usul subetnik Lontho yang dari Tomohon.

Para leluhur tetap sepakat, jika telah ditabalkan
Min’hasa, siapakah lagi berani mempersoalkan. Sebaliknya, siapapun yang telah ditabalkan harus didukung sepenuh-penuhnya. Barang siapa tidak mendukung sama artinya dengan memusuhi Min’hasa, karena yang demikian itu identik dengan kolonial Belanda yang memang sejak awal menentang penabalan Lontho sebagai pemimpin Perang Tondano.

Karena itu tulisan ini ingin menggugat elit politik, birokrasi daerah dan masyarakat, agar tidak sekali-sekali terjerembab kedalam kenaifan subetnosentrisme. Jangan menggunakan kenaifan ini sebagai legitimasi atau senjata untuk membenarkan tujuan politik praktis, menguntungkan diri sendiri, kelompok atau golongan. Sebab manakala kita tidak berhati-hati, saya kuatir Minahasa akan mengalami degradasi dan kehancuran tatanan nilai leluhur yang tiada terhingga. Dan para insan yang memiliki secuil saja rasa hayat berbudaya memaklumi, setiap kehancuran tatanan nilai akan selalu menjadi akar kehancuran dan kerusakan tatanan-tatanan lain. Kalau sudah demikian Minahasa akan memasuki masa penuh air mata, penderitaan, onak dan duri.

Saya - sekali lagi - mengajak kita semua, masyarakat Minahasa, untuk segera menghentikan dan tidak memberi peluang bertunasnya kenaifan itu. Kita belum terlambat. Masih tersedia waktu - kendati tinggal sedikit - untuk menepis akibat dosa sejarah yang dapat berakibat fatal bagi anak cucu kita.
Pakatuan wo Pakalowiren !.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar