Kamis, 08 Juli 2010

37. MENYAMBUT TERPILIHNYA SONDAKH-SUALANG

INKLUSIF, REKONSILIATIF DAN GOOD GOVERNANCE

Willy H. Rawung
MANADO POST 1 Maret 2000

HAMPIR dua tahun lalu saya menulis ulasan bertajuk "Ketua DPD Golkar Sulut 1998-2003 Potensial Jadi Gubernur Tahun 2000" (MP, 26/9/98), sementara menjelang berakhirnya era Mangindaan dalam tajuk "Gubernur Sulut Tahun 2000" (MP 23/11/99), saya mencoba mengetengahkan beberapa logika politik yang konon menjadi awal kristalisasi pencalonan gubernur dalam dalam tubuh Partai Golkar Sulut.

Logika pertama, tak ada lagi serdadu "terpaksa" atau "bapaksa" jadi gubernur sebab "diperintah atasan".
Kedua, TNI/Polri yang mendapat 5 kursi gratis, berkonsentrasi pada tugas pokoknya dan bersikap netral (abstain) dalam pemungutan suara.
Ketiga, DPRD akan menolak rekayasa memilih "kucing dalam karung" yang didrop dari Jakarta sebab umumnya calon Jakarta kurang dikenal dan tidak mengakar dalam masyarakat (untuk soal ini saya berbeda pandangan dengan beberapa fungsionaris KKK Jakarta yang berpendapat sebaliknya).
Keempat, Adolf Jouke Sondakh, Ketua Partai Golkar Sulut yang pemenang pemilu, potensial memenangkan pemungutan suara, dengan syarat mampu berkoalisasi dengan PDI-P.
Kelima, sesuai dengan ucapan-ucapannya sendiri, EE Manghindaan akan menolak dicalonkan. Meskipun "tim sukeses" tertentu akan merekayasa sekelompok orang mengatasnamakan "rakyat" untuk mendukung beliau.

Mengakhiri artikel itu saya memberi catatan bahwa yang dapat mementahkan logika-kogika di atas ialah
money politics (politik uang). Sebab dalam percaturan politik praktis, sang "akar segala kejahatan" itu dengan mudah dapat memelintir segala logika, realitas atau analisis politik siapapun.

Kendati hanya logika keempat yang benar-benar terjadi, namun tak urung beberapa teman di Jakarta menelpon saya memberi selamat saat Sondakh-Sualang terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Sulut periode tahun 2000-2005. +

Ucapan kepada saya tentu salah alamat dan berlebihan. Sebab yang seharusnya berhak menerima ialah mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang memelopori reformasi menumbangkan rezim Soeharto. Tanpa syuhada-syuhada mahasiswa yang tewas di kawasan Semanggi,
nyanda ada cirita Sulut yang benteng utama rezim Orde Baru dapat menikmati buah-buah reformasi, yakni demokratisasi politik yang membuat masyarakat dapat mulai menikmati supremasi sipil.

Dengan reformasi, Sondakh-Sualang terpilih secara
legitimate, boleh dikata setara dengan terpilinya Gus Dur-Mega. Berbeda dengan model pemungutan suara pura-pura pada pemilihan gubernur-gubernur sebelumnya.


Karena terpilihnya Sondakh-Sualang sebagai akibat adanya reformasi, maka adalah layak bila agenda utama mereka ialah mempertahankan dan mengembangkan buah-buah reformasi, yakni demokratisasi dan penegakan hukum
(law enforcement).

Untuk mewujudkannya, tipe kepemimpinan Gus Dur yang inklusif dan rekonsiliatif dapat menjadi acuan. Tipe tirani bertopeng demokrat (munafik) mesti dihindari, dengan - misalnya - tidak menjalankan prinsip
winner takes all (sang pemenang memborong semua).

Dengan menjadi insan inklusif dan rekonsiliatif, adalah bijak, santun dan suatu kemestian bila saudara-sauara kaum muslim diberi kehormatan menduduki Ketua DPRD Sulut. Sehingga kemenangan Sondakh-Sualang tidak semata kemenangan eksklusif Partai Golkar dan PDIP, tetapi juga simbol kemenangan totalitas kultural dan umat beragama Sulut, tanpa kecuali.

Dengan mempraktikkan model kepemimpinan inklusif dan rekonsiliatif gaya Gus Dur, tidak seorang pun lagi akan bertanya-tanya "Siapa kita?" seperti diserukan Katamsi Ginano ketika mengadvokasi kasus "Peristiwa 12 Juni 1998", yakni demonstrasi, pembakaran kertas, perusakan disket dan foto di kantor Manado Post serta 45 menit pendudukan dan penyiaran paksa Radio
Smart FM (MP, 26/6/98). Dan saya pun tak lagi was-was dan perlu ditawari pengawalan Satgas PDIP bila berkunjung ke Manado. Sebab dalam model ini tak ada pemaksaan kehendak dengan kekerasan fisik.
Tiada monolog yang cuma mata dan bukan telinga, yang tak mau mendengar, tuli dan hanya mau melihat. Tak ada dogma bahasa pentungan, senjata dan massa sebagai legitimasi pembenaran dengan siapa yang menentang langsung digebuk. Tak ada penciptaan pribadi pengecut menjadi pemberingas dalam kerumunan massa.

Dalam model ini pula segala kekuasaan-jabatan-status Sondakh-Sualang harus mampu untuk tidak terperangkap dalam lakon marah karena kritik yang diciptakan para profesional birokrat yang akan mereka gauli sebentar lagi. Dan perlu waspada terhadap birokrat-birokrat bertangan besi yang berkebiasaan memaksakan kebenaran dengan menakuti-nakuti rakyat lewat penciptaan "hantu-hantu" SARA (suku-agama-ras-antargolongan) serta lihay menghujat provokator tanpa pernah menangkap apalagi mengadili.
Hati-hati terhadap mereka yang amat fasih memainkan skenario yang membutakan intelektualitas dan kemanusiaan, bertindak pragmatis, menempatkan religi-agama sekadar alat, retorika dan "stempel pos".

Sebagai insan politik, Sondakh memiliki pengalaman sebagai kader dan politisi dari nol (dari bawah) yang terus meningkat dalam pengalaman panjang sebagai langgota DPRD dan DPR serta Ketua Partai Golkar Sulut. Sualang kurang lebih sama. Pengalaman berpolitiknya pun bermula dan jenjang paling bawah. Keduanya tidak punya riwayat sebagai kader karbitan yang miskin pengalaman. Dan untungnya, gubernur dan wakil gubernur ini pernah merasakan pedihnya dikasari penguasa. Sondakh mengalaminya ketika "dikalahkan" Tanor dalam pemilihan Bupati Minahasa, dan Sualang amat menderita dan dikucilkan semasa memimpin PDI Megawati.

Maka dari suka duka pengalaman keduanya dalam berpolitik, saya sedikit optimis mereka akan mampu menjalani dan mengatasi hal-hal di atas, sepanjang mereka tidak berubah jadi orang yang bak kacang lupa akan kulitnya.

Narnun rangkaian optimisme di atas akan menjadi retorika, bila masyarakat sendiri tidak ikut mengawasi kinerja Sondakh-Sualang dan kinerja DPRD seterusnya. Sebab siapa yang tahu apa akan terjadi kelak. Selalu timbul pertanyaan siapa dapat menjamin bahwa demokratisasi dan penegakan hukum telah dijalankan dengan sebaik-baiknya. Siapa akan mengawasi gubernur-wakil gubernur dan DPRD jika keduanya membangun konspirasi yang merugikan rakyat seperti dilakukan rezim Orde Baru.

Bila UU No 22 dan No 25 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan dilaksanakan dan kemungkinan kocek pemerintah daerah kian menggelembung, bagaimana pula masyarakat dapat mengontrol kemungkinan-kemungkinan korupsi secara efektif. Bagaimana kita tahu bahwa secara substansial good governance diwujudkan.

Prof. Dr. Syed Hussein Alatas, "bapak" Sosiologi Korupsi dari Universify of Amsterdam dalam
The Sociology of Corruption yang sampai kini menjadi "buku suci" bagi mereka yang ingin membedah masalah korupsi, ketika mengobservasi korupsi di Indonesia menyatakan, "korupsi yang parah, termasuk di Indonesia hanya dapat dilawan kalau rakyat bersatu, membentuk gerakan melawan pemerintahan dan masyarakat yang korup. Apa yang dilakukan kalangan intelektual seperti sewaktu Indonesia akan merebut kemerdekaan harus dilakukan sekarang dengan mempengaruhi khalayak agar melawan korupsi. Disini media massa mempunyai peran yang penting untuk menimbulkan semangat antikorupsi itu. Kalau gerakan rakyat menentang korupsi semakin besar dan kuat, pemerintah tidak akan berani menindasnya".

Prof Alatas benar, kuncinya ialah rakyat dan media pers. Hanya rakyat bersatu menentang korupsi dengan dukungan media pers yang dapat mencegah atau meredam para penyamun itu. Sebab, "korupsi tak terbendung", dan hampir menjadi semacam budaya birokrasi. Meski semua orang sudah mengetahui dan merasakan korupsi sebagai suatu perilaku yang merugikan rakyat dan kian membikin rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk.
Namun hanya sedikit saja intelektual yang memberikan nilai lebih untuk menjadikan korupsi sebagai sebuah kajian ilmiah, padahal korupsi sudah berlangsung lama, sejak dulu. Kalangan akademisi sebenarnya tak dapat mengangap diri bersih, karena tidak ada kajian komprehensif tentang korupsi yang dapat memberikan kesadaran kepada rakyat untuk melakukan usaha menentang korupsi", tulis Alatas lagi.

Terdorong oleh kesetujuan terhadap tese Prof Alatas, saya pernah mengusulkan agar para reformis Sulut bergegas membentuk "komite penyelamat jarahan harta rakyat Sulut". Supaya kaum KKN - korupsi, kolusi nepotisme - yang selama ini difasilitasi pembina dan elit poltik tidak lagi semena-mena menggunakan hasil jarahan uang rakyat untuk mengkonsolidasi kekuatan dan memecah belah rakyat
(Reformasi-refornasian Gaya Sulut, MP 9/6/1998).

Sayang, usulan itu tak direspons. Kini tokoh-tokoh LSM yang dulu dikenal reformis telah menjadi politisi praktis. Kita belum tahu apakah mereka masih reformis atau tidak. Para mahasiswa sebagai kekuatan moral pun tampaknya tak paham lagi harus berbuat apa dan bagaimana. Sementara Unsrat tak pernah bermimpi membuat kajian komprehensif tentang "budaya" korupsi di Sulut.
Penyadaran dan pemberdayaan rakyat tidak dilakukan sebagaimana mestinya, padahal semua ini penting untuk mencegah, meredam, dan memberantas praktik-praktik korupsi yang kian mengerikan dan kasar.

Diskusi telepon saya dengan Subendro Boroma beberapa hari lalu amat memprihatinkan situasi ini. Media pers Sulut kendati belum memadai sudah menjalankan fungsi kontrol. Narnun seperti ditegaskan Prof Alatas, bagaimana kerasnya pun upaya media pers menjalankan fungsi sosial ini, bila masyarakat tidak memberdayakan diri dalam bentuk - misalnya - LSM-LSM yang mefungsikan diri sebagai
parliament watch, maka kontrol sosial yang akan berlangsung tidak total dan kurang efektif.

Maka kami berdua pun hanya bisa mendambakan semoga para intelektual muda Sulut segera tersadar dan terpanggil membentuk semacam ICW - Indonesian Corruption Watch - sebagaimana dilakukan Teten Masduki di Jakarta. Sebab dengan kehadiran LSM-LSM sejenis ini, konspirasi yang melemahkan fungsi DPRD sebagai benteng suara rakyat dapat teratasi.

Dalam konteks ini kita harapkan duet Sondakh-Sualang mampu menciptakan suasana kondusif bagi lahirnya LSM-LSM dimaksud. Sebab harus dipahami gerakan kesadaran masyarakat mandiri seperti ini adalah mitra - bagai mata dan telinga - pemerintah daerah untuk menebarkan benih-benih reformasi dan mewujudkan
good governance.

Kalau boleh menggunakan analogi para pemerhati Gus Dur-Mega, tiada salahnya kita memberi waktu 100 hari kepada Sondakh-Sualang. Kita akan mencermati langkah-langkah konkret apa saja yang telah mereka lakukan dalam mewujudkan visi dan misi (baca : janji) yang disampaikan kepada DPRD ketika masa kampanye pemilihan yang lalu. Saya berharap 100 hari setelah pelantikan,
Manado Post dapat menseminarkan kinerja pemerintah daerah yang baru ini.

Akhirnya kepada gubernur dan wakil gubernur yang baru patutlah kita ucapkan selamat bekerja.
Pakatuan wo Pakalowiren. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar