Senin, 05 Juli 2010

33. SELAMAT SIANG, PARTAI GOLKAR !

Willy H. Rawung
MANADO POST 20 Oktober 1998

HARI INI adalah ulang tahun ke-34 Golkar dan bila tiada aral melintang, orpol (organisasi politik) ini akan mendeklarasikan diri sebagai partai politik (parpol).

Dari segi RUU Politik yang tengah dibahas DPR, deklarasi ini memang agak kepagian, tetapi lantaran sejak dulu “roh” Golkar adalah parpol, sama dengan PPP dan PDI (walau selalu menyamarkan atau membedakan diri dengan parpol), maka saya lebih suka menyampaikan ucapan “Selamat Siang” untuk menyambut “pergantian kulit” benteng utama rezim Orde Baru yang selama lebih dari 30 tahun merawat kursi Presiden Soeharto dengan cermat dan takzim. Rezim otoriter sarat KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) yang baru pada tanggal 21 Mei 1998 berhasil dipaksa turun oleh kekuatan moral mahasiswa prodemokrasi.

Hari ini juga menurut rencana, Partai Golkar (untuk membedakan dengan Golkar “lama”, sebut saja dulu “ParGol”), akan mengeluarkan pernyataan politik yang nampaknya tidak akan jauh berkisar dari pidato ketua umum Akbar Tanjung pada pembukaan Rapim. Yakni, siap menghadapi Pemilu 1999 dengan sistem apa pun, menyukseskan agenda nasional (Sidang Istimewa MPR 1998, Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999). Melakukan pemilihan umum secara demokratis, jujur dan adil agar terbentuk pemerintahan yang mendapat legitimasi kuat dari rakyat. Membangun kehidupan politik yang terbuka dan demokratis dengan menghindari kekuasaan yang terpusat dan tertutup. Menghapus bentuk-bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan seperti KKN. Mengembalikan seluruh praktek penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai amanat UUD 1945. Anti bentuk negara yang belawanan dengan UUD 1945. Mengakui substansi reformasi politik sebagai mengembalikan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat yang yang adalah pemilik kedaulatan, sehingga rakyat mendapat kesempatan sebaik-baiknya di lembaga permusyawaratan dan perwakilan. Membentuk lembaga permusyawaratan dan perwakilan yang benar-benar menjadi pilihan rakyat. Mendengar dan memahami suara nurani rakyat serta berjuang untuk membela kepentingan rakyat. Mengakui bahwa selama ini kelemahan yang menonjol adalah tidak berjalannya kontrol politik karena terpusatnya kekuasaan pada satu orang. Dan bertekad untuk tidak mengulangi ke-salahan itu.

Dalam pengamatan saya, pidato Tanjung dan pernyataan politik yang akan dikeluarkan hari ini amat dipengaruhi oleh
signal pihak tentara yang disampaikan Kassospol ABRI Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. “Saat ini dan di masa datang, ABRI akan meletakkan diri yang pantas, bukan hanya dengan Golkar tetapi juga dengan partai politik lain. Dengan kata lain terjadi proses desosiasi ABRI dari Golkar. Jalur ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar) tentu tidak relevan lagi serta tidak tepat untuk dihidupkan pada semangat demokratisasi dan reformasi ini" (Kompas, 24/9). Hal lain yang mempengaruhi isi pernyataan politik ParGol ialah sikap ABRI yang sedang menunggu terlaksananya proses reformasi internal dalam tubuh partai itu.

Menurut sumber Mabes ABRI, ParGol harus mampu menjawab tiga pertanyaan. Pertama, apakah komitmen partai beringin ini sama seperti dulu, yakni tetap mempertahankan negara kesatuan RI, Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, apakah partai dalam mereformasi dirinya betul-betul terhindar dari KKN serta mampu menampung aspirasi reformasi yang diharapkan?
Ketiga, apakah partai tidak tergantung lagi pada lembaga lain, instansi lain ataupun kepada pemerintah?
Kalau itu dilakukan dengan baik, maka aspirasi KBA masih akan disalurkan ke Golkar. Tetapi kalau itu tidak terjawab dengan baik apalagi berseberangan dengan ABRI, maka ABRI tidak akan segan-segan meninggalkan Golkar.
(Kompas, 16/10/98).

Diteruskannya koalisi strategis tentara-ParGol dengan paradigma baru dari pihak tentara (sementara belum kita dengar paradigma baru dari ParGol untuk pihak tentara), nampaknya juga akan menjadi “roh” pernyataan politik ParGol hari ini. Kendati Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sudah mengkhawatirkannya sebagai usaha mempertahankan
status quo. Sebab yang nampak dalam pembahasan tiga RUU Politik, dimana ParGol yang masih mayoritas, mereka tetap mempertahankan posisi ABRI di DPR, komposisi Komite Penyelenggara Pemilu yang dianggap merugikan parpol lain, serta jumlah anggota DPR yang diangkat dari utusan daerah sebanyak 30 persen dari total jumlah anggota MPR.

"Bila Golkar memperoleh 20 persen suara saja dalam Pemilu mendatang, ditambah 30 persen utusan daerah, ia sudah bisa menguasai suara MPR," kata Ketua F-PP Zarkasih Nur dalam pertemuan FPP dengan pengamat politik Dr. AS Hikam dan pakar hukum tata negara Prof. Dr. Ismail Suny di Jakarta (15/10). Suny bahkan menantang "Kalau mereka mau melanggar UUD 1945 dan melanggar Sapta Marga, silakan tetap di DPR.". Sementara Hikam berpendapat, ABRI memang sebaiknya tidak lagi duduk di DPR tetapi masih bisa dipertahankan di MPR. Sambil menegaskan dalam realitas realitas politik sekarang, ABRI tidak bisa lagi berada dalam posisi mengancam karena masyarakat luas dan opini internasional begitu ketat terhadap negara yang diperintah secara militeristik
(Kompas, 16/10/98).

Dalam situasi politik Jakarta yang kian memanas saat ini seharusnya bukan hanya ABRI yang boleh menilai ParGol. Tetapi rakyat yang telah memberi kemenangan mayoritas dalam pemilihan umum lalu pun berhak mempertanyakan, apakah sikap politik ParGol dalam isi pidato Akbar Tanjung itu masih klise-klise seperti gaya rezim Soeharto, yakni cuma
mulu-mulu atau memang so butul-butul ini? Serbab kalau memang tidak sekedar retorika, banyak kalangan termasuk saya, mendesak agar ParGol segera membuat semacam pengakuan “dosa politk” atas kekeliruan Golkar masa lalu yang banyak membodohi rakyat dan akhirnya menimbulkan rentetan krisis di negeri kita. (lihat MP 29/9/98 “Golkar Tidak Menipu Rakyat ?”).

Sama halnya dengan pikiran ketua DPP ParGol Marzuki Darusman, “Sekarang ini adalah waktunya bagi Golkar untuk melakukan perbaikan-perbaikan menyeluruh. Kita (Golkar) akan mengakui telah terjadi kesalahan politik dan historis pada masa lalu. Jika Golkar harus minta maaf, untuk itu tidak ada keragu-raguan, maaf itu bisa diberikan," kata Marzuki. Artinya yang lain ialah, untuk masuk kedalam kubu reformasi, ParGol harus meneladani pihak tentara yang secara ksatria meminta maaf atas rangkaian kesalahannya terhadap rakyat, seperti menculik aktivis prodemokrasi dan tindakan-tindakan melawan hukum lainnya.

Masih dalam konteks menguji soal cuma
mulu-mulu, perlu dipertanyakan pula apakah benar ParGol telah putus hubungan (disconnection) dengan Golkar “lama" meski Tanjung menegaskan, “Kita ingin tegaskan bahwa Golkar sekarang berbeda dengan Golkar lama." Atau kalau di Manado barangkali sama dengan isi spanduk Musdalub “.... lain dulu lain sekarang”.

Soal ini penting mengingat PDI Megawati, PPP, PKB dan PAN telah terus terang (transparan) menyebut siapa calon Presiden mendatang, sementara ParGol belum. Padahal dengan menyebut siapa calon presiden mendatang, akan lebih jelas apakah ParGol itu cuma
mulu-mulu atau memang benar-benar telah “bertobat”. Siapa bisa menjamin bahwa kelak calon presiden ParGol adalah justru dedengkotnya KKN.

Bagi masyarakat prodemokrasi dan anti KKN di Sulut yang terus-terusan digedor tindak kekerasan politik yang mulai menjadi tradisi baru di Manado (terakhir dilakukan sekelompok karyawan PT Megasurya terhadap
Manado Post), pun perlu diberi hak untuk menguji apakah tekad ParGol memberantas KKN benar-benar serius. Sebab selama ini para tokoh ParGol Sulut justru lebih banyak membenarkan para pelaku kriminal itu dengan misalnya berucap, “itu spontanitas masyarakat”.

Coba pikir, masakan tindak kriminal disebut spontanitas masyarakat? Bukankah munafik bila parpol yang selalu bicara konstitusi, prosedur dan norma-norma legalitas ini, justru mengabsahkan tindak kriminalitas politik?
Maka kalau perbedaan kata dan perbuatan tetap terus berlangsung atau “pertobatan politik” cuma sampai
mulu-mulu, niscaya ucapan Selamat Siang pun menjadi berlebihan. Yang pantas barangkali, Selamat Malam Partai Golkar! #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar