Selasa, 08 Juni 2010

1. MENGENANG PAHLAWAN NASIONAL WOKTER MONGISIDI

"SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN"

Willy H. Rawung
SUARA PEMBARUAN 14 September 1987

SUBUH, 5 September 1949, seorang pemuda berusia 24 tahun berdiri berhadapan dengan regu tembak. Matanya tidak tertutup pembalut sebagaimana lazimnya. Seluruh anggota regu penembak sebelumnya meminta maaf kepada si anak muda. “Jalankan kewajibanmu dan tembaklah dengan tepat,” katanya mantap kepada para penembak. Maka eksekusipun dilaksanakan. Si pemuda terkulai layu. Dikubur dalam lubang dangkal. Esoknya rekan-rekannya mendapat izin membongkar makam dan jenazahnya untuk dibawa ke Makassar. Peti jenazah diselubungi sang saka Merah Putih, diusung beramai-ramai. Hari itu, Belanda melarang aparat keamanannya berkeliaran, kuatir meluapkan amarah rakyat yang hari itu berkabung. Anak muda itu adalah Robert Wolter Mongisidi. Ia biasa dipanggil dengan nama Bote. Dalam bahasa Bantik, salah satu anak suku di Minahasa, berarti ‘mari’. Ia dilahirkan di desa Malalayang, Minahasa, 14 Februari 1925, berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Rentetan tembakan eksekusi itu adalah akhir dari pemeriksaan dan penyiksaan berkepanjangan yang bermuara pada vonis hukuman mati oleh Hakim Mr. Dr. B. Damen pada 26 Maret 1949. Hari itu juga si anak muda langsung membubuhkan tanda tangan persetujuannya karena tidak sudi meminta grasi kepada pemerintahan boneka Belanda yang bersandar pada kekuatan NICA. Kepada Soumokil Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur - NIT - ketika itu, tokoh ini kemudian menjadi biang RMS, Bote berkata : “Hukum matilah saya, jika tidak kamu nanti yang saya bunuh pertama kali”.

DR. SAM RATULANGI

19 Agustus 1945, Dr. Sam Ratulangi kembali dari Jakarta setelah mengikuti persiapan dan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Tetapi sekutu dengan berintikan tentara Australia mendarat di Makassar pada 23 September 1945 sambil membawa NICA, tentara Belanda yang dulu bertekuk lutut kepada Jepang. Pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Gubernur DR. GSSJ Ratulangi terancam. Ekspedisi pasukan-pasukan dari Jawa mulai mendarat untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia sementara perjuangan di bidang diplomasi berjalan terus.

Tetapi para pemuda di Sulawesi Selatan juga memilih jalannya sendiri, yaitu berjuang dengan senjata apa adanya. Mengganggu, menyerang dan dengan segala cara menggoyahkan eksistensi NICA. Mereka tergabung dalam berbagai kelompok dengan berbagai nama : PPNI, KRIS, LAPRIS dan lain-lain. Tahun 1946 Gubernur Ratulangi ditangkap Belanda dan diasingkan ke Serui, Irian Barat, mengakibatkan perlawanan para pemuda bertambah hebat. Dan dari itu muncul sebuah nama : Robert Wolter Mongisidi!

JEJAK KAKI

S. Sinansari Ecip dalam buku Jejak Kaki Wolter Mongisidi (PSH Jakarta, 1981), melukiskan secara detail perjuangan anak muda ini dengan rekan-rekannya. Penggambaran Ecip sangat realistik dan manusiawi serta tidak terjerat untuk memasukkan beliau pada legenda sejarah. Lukisan ini membuat kita lebih mengenal Wolter secara utuh, termasuk pula ‘kelemahan” dan pergulatan batinnya ketika mengalami penyiksaan dalam tahanan, serta selama jalannya pengadilan yang telah diatur skenarionya oleh Belanda.

Belanda menuduh Wolter sebagai ekstremis, penjahat, perampok, pemeras, pemberontak, pembunuh, sejak 17 Juli 1946 sampai 28 Pebruari 1947. Ini dakwaan resminya. Karena dengan boneka NIT-nya, Belanda mencoba me-ngelabui masyarakat dan dunia, seolah-olah pengadilan ini sah dan beradab dalam menjatuhkan hukuman.

Tetapi pemuda yang berusia 22 tahun ketika ditangkap itu membuktikan lain. Dari dalam penjara ia menunjukan moral yang tinggi kepada dunia luar bahwa tuduhan Belanda bak jauh panggang dari api.

S. Sinansari Ecip yang membaca surat-surat Wolter yang dikirimkan dari penjara, mengutip pergumulan dan refleksi kearifan dari pejuang muda ini. ”Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan. Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada. Juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan jangan ditinggalkan. Kasih Tuhan mengatasi segalanya… Apa yang saya bisa tinggalkan hanya rohku saja, yaitu roh setia hingga terakhir pada Tanah Air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun, menuju cita-cita kebangsaan yang tetap. Terbatas dari segala pikiran itu, junjunganku senantiasa Tuhan Yang Maha Kuasa …….. Aku tidak mengandung perasaan tidak baik terhadap siapapun, juga terhadap mereka yang menjatuhkan hukuman paling berat ini kepadaku karena kupikir mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan …. Untuk Tanah Air, saya sudah bulatkan hati menghadapi saat ini …. Perjuanganku terlalu kurang tapi sekarang Tuhan telah memanggilku. Rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi… semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kukuh untuk tanah kita yang dicintai, Indonesia. Saya telah relakan diriku sebagai korban, dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. Pengertian tanah air Indonesia buat saya sendiri hampir-hampir saja sebagai suatu wujud yang berbentuk nyata sekali. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk Tanah Air mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Betapa kasihku kepada kamu sekalian dan kepada sukuku dan bangsaku tidaklah dapat kukatakan dengan kata-kata!”.

Hakikat yang berada dibalik ungkapan Wolter memang tidak saja bersumber pada dirinya sendiri. Perjuangan dan kecintaannya kepada bangsa serta perlawanannya terhadap penjajah menjadi religius, menjadi ibadah. Sinansari menulis bahwa pada Bijbel (Alkitab, pen) yang dijadikan bantal di liang lahat Wolter, ditemukan secarik kertas tulisan tangannya : “Setia hingga terakhir dalam keyakinan”.

Wolter juga mengetahui bahwa beberapa gelintir bangsanya telah menjadi pengkhianat dan ikut mengambil bagian meneteskan darahnya di hadapan regu tembak. Akan tetapi beberapa hari sebelum peluru dimuntahkan ke dadanya, ia menulis : “ … kupikir mereka tidak tahu apa yang mereka kerjakan”. Ia memang tidak sampai terjerembab dengan membawa kebencian dan dendam kesumat terhadap sesama manusia, bahkan kepada Belanda sekalipun, seperti terbaca dalam salah satu suratnya: “Pun saya tidak minta grasi, jatuh atau bangun tidak usah saya cari dari manusia sebab walaupun bagaimana… keadilan tak ada di dunia. Manusia hanyalah alat dari keadilan dan keadilan itulah pada Tuhan sendiri. Sekali saya minta grasi berarti keyakinanku akan keadilan telah kendur dan sedetik saja saya gentar hadapi maut, berarti aku gentar hadapi kursi pengadilan Tuhan”.

PEJUANG FISIK DAN MORAL

Wolter, yang dituduh ekstremis dan sejumlah tindak pidana lainnya oleh Belanda telah membuktikan lain. Selama setahun ia bergerilya di dalam kota di bawah hidung pasukan divisi “7 Desember” KNIL dan Westerling yang ganas. Ia dan rekan-rekannya mempraktekkan serangan-serangan langsung ke jantung markas besar Belanda. Mereka menjauhi hutan-hutan belukar dan langsung berhadapan muka ke muka dengan Belanda.

Selama dua tahun dalam tahanan pun ia masih menunjukkan ketegarannya sebagai pejuang dan mampu memberikan alasan-alasan moral yang tangguh terhadap apa yang telah diperjuangkannya sebelum ia ditangkap Belanda. Ia membuktikan bahwa ia bukan ekstremis. Ketidakgentarnya menghadapi maut dan semangat yang terungkap melalui surat-suratnya tidak terasa klise. Karena nampaknya ia telah sampai pada kesadaran tentang apa arti maut baginya. Ia memahami maut sama dengan hidup yang telah dialaminya. Serba jelas dan terang.

Wolter tidak sempat mengetahui, bahwa dalam era Orde Baru ini, berpuluh tahun kemudian, rekan-rekannya generasi muda, baru mulai melafalkan rumusan kriteria kader bangsa. Namun anak muda yang gugur diberondong peluru Belanda ini telah ikut menuliskan kriteria kader bangsa bagi generasi penerusnya, yakni dengan jiwa dan darahnya sendiri pada 5 Sepetember 1949 dalam usia 24 tahun ! #

1 komentar: