Kamis, 24 Juni 2010

12. KNPI SULUT, MEMORI TUTUP TAHUN

Willy H. Rawung
MANADO POST 21 Desember 1992

KESEMPATAN memahami KNPI lebih mendalam saya peroleh saat menjadi editor buku “14 Tahun KNPI, Memperkuat Komitmen Pemuda Dalam Mengembangkan Wawasan Demi Kesinambungan Orde Baru“ (DPP KNPI-Deppen RI,1987). Dalam tugas yang memerlukan serangkaian diskusi dengan beberapa menteri kabinet, para pendiri, aktivis, DPD I – DPD II beberapa daerah, pengertian saya tentang eksistensi dan subtansi organisasi pemuda nonprimordial ini lumayan diperkaya sumber-sumber formal dan kompeten.

Persahabatan saya dengan beberapa Ketua DPD I KNPI Sulut seperti Lona Lengkong, Wimpie Frederick, Daniel Masengi, Jul Undap, Elisa Regar dan perkenalan saya dengan Rio Sumual, ketua yang baru, membuat saya terundang untuk sedikit memberi memori penutup tahun atas kiprah KNPI Sulut, baik dalam konteks peran nasional maupun peran daerah dari organisasi produk orde baru ini.

BUBAR ATAU JALAN TERUS

Gelombang besar dan kuat dari beberapa OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) Yogya, yang menyampaikan petisi pembubaran KNPI. Serta desakan serius Kongres HMI baru-baru ini agar KNPI segera kembali kepada “khittah” Deklarasi Pemuda 23 Juli 1993 seyogianya tidak ditanggapi pasif, semisal anak-anak menonton tayangan “Berpacu Dalam Melodi”” TVRI Pusat. Meski petisi-petisi sejenis tak henti menerpa sejak KNPI dilahirkan, namun tekanan nampak kian potensial. Bukan sebab meningkatnya kualitas dan derajat tekanan - tetapi harus diakui - lebih diakibatkan melemahnya kepemimpinan KNPI dibanding periode-periode sebelumnya.

Menghadapi hadangan ini, sikap skeptis apatis mesti disingkirkan. Sementara kegiatan dan penampilan harus lebih disepadankan dengan substansi ide dasar Deklarasi Pemuda 1973, Pemufakatan Pemuda Indonesia 1987, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Bab GBHN menyangkut KNPI, UU No. 8/1985 dan Permendagri No. 5/1986.

Memori ini perlu berulang kali dituliskan, lantaran tatanan formal tersebut sering diabaikan para fungsionaris KNPI dengan melakukan segala kiprah yang bertentangan dengannya. Kiprah, yang bahkan sebaliknya memberi peluang hadirnya anasir-anasir penggoyah sendi-sendi keutuhan tatanan kepemudaan. Padahal tatanan itu telah bersusah payah dibina dan ditegakan dalam organisasi yang diakui sebagai satu-satunya wadah efektif bagi kaderisasi dan komunikasi pemuda Indonesia.
Sebagai “Parlemen Pemuda” – istilah Dr. Midian Sirait salah satu pendiri KNPI - pengabaian terhadap tatanan formal oleh Ketua DPD KNPI misalnya, justru mendorong beberapa OKP di daerah lebih suka membubarkan saja organisasi sebab dijalankan berlawanan dengan ide dasarnya itu.

Sebab itu memori kali ini terutama ditujukan kepada KNPI daerah yang kerap kali begitu berani mengabaikan ide dasar karena “vested interest” sesaat dari para fungsionaris yang didorong kepentingan situasional semata. Imbauan Kongres HMI misalnya, perlu diwaspadai, sebab membidik akar dan pokok soal utama terjadinya pengabaian ide dasar. Yang dalam memori saya, KNPI Sulut termasuk dalam salah satu contoh kasus yang dimaksud. Di mana sadar atau tidak telah melakukan hal klasik penyebab petisi pembubaran KNPI. Yakni, dengan melibatkan diri secara teknis dan langsung ke dalam masalah krisis kepemimpinan birokrasi.

Lepas dari sikap pro kontra terhadap masalah krisis kepemimpinan tersebut, pengabaian terhadap ide dasar terjadi pada pernyataan-pernyataan dalam media cetak yang ditebar Rio Sumual dalam kapasitas sebagai Ketua DPD I KNPI – implisit - untuk dan atas nama seluruh Pemuda Sulut. Pelencengan menjadi sangat terang benderang saat
patu’usan (teladan) nomor satu organisasi pemuda Sulut ini memimpin langsung serombongan kelompok masyarakat menemui para pejabat pemerintah di Jakarta dan KKK.

BUKAN PERANGKAT POLITIK PRAKTIS

Sepanjang pemahaman saya, KNPI tidak pernah dirancang sebagai perangkat keras murah meriah panggung politik praktis seperti itu. Ia dilahirkan untuk pembinaan nilai-nilai substansial dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Makanya KNPI dimasukan dalam GBHN bersama OSIS, Pramuka dan Karang Taruna.
Sebab itu memanfaatkan organisasi kepe-mudaan yang strategis itu demi kepentingan permainan politik praktis tak lebih dari lelucon yang merugikan misi dan citra KNPI sendiri. Kendati KNPI Sulut memang tidak sendirian dalam hak aksi plesetan
(tapalisi) itu lantaran rekan-rekannya di Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara juga terpeleset pada saat yang sama.

Saya bisa memahami jika seandainya soal sejenis dilakukan AMPI Sulut, yang memang dikiprah sebagai salah satu wadah pembinaan kader politik Golkar. Tetapi KNPI, yang secara substansial berbeda dengan AMPI, GAMKI, GMKI, Pemuda Demokrat, HMI, GP ANSOR, Pemuda Pancasila dan seterusnya?. Mengerjakan pekerjaan rumah orang lain adalah – ibarat kata pepatah “jauh panggang dari api”. Sementara prioritas kegiatan justru enggan dikerjakan.

Contohnya, setelah 19 tahun berdiri sedikit saja dari puluhan juta generasi muda sempat mengenal apa dan sedang berpengapa KNPI dalam tatanan kepemudaan. Akses kepemudaannya kian rapuh, sehingga jangan Bung bertanya apakah puluhan juta pemuda mengetahui siapa ketua umum organisasi ini. Atau bertanya pada ratusan ribu pemuda Sulut, siapa ketua DPD I KNPI sekarang. Jangan-jangan mereka hanya akan menyebut Jul “buldozer” Undap – sang mantan – yang lantaran kelewat vokal membidik birokrasi daerah, rajin diwartakan para jurnalis.

KEGIATAN SUBSTANSIAL

Menyangkut kegiatan substansial, memori saya menemukan banyak hal yang semestinya dikerjakan. Sedemikian banyak hingga seharusnya tiada akan cukup waktu dan kesempatan untuk berkiprah lain. Manakala KNPI Sulut merelevansikan sedikit saja ide dasar dan substansi yang diamanatkan GBHN kepadanya, saya yakin Rio Sumual dan para fungsionaris mampu mencegah lahirnya “kelompok 10 Jul Undap”. Tidak dalam bentuk kontra aksi tetapi dengan mengantisipasinya dengan dialog, musyawarah dengan para mantan (kader) KNPI Sulut. Sebab bukankah Jul Undap, Wimpie Frederick, dan beberapa nama yang dominan disebut dalam kasus pelecehan tatanan moral, serta kasus pelecehan nama baik birokrasi daerah, adalah para mantan ketua DPD I, mantan aktivis dan mantan fungsionaris. Sehingga sesungguhnya jalan perdamaian, jalan rekonsiliasi, jalan kemanusiaan, sangat mungkin ditempuh.

MENGAPA JALAN KEMANUSIAAN?

Pertama. Bertolak dari substasi yang dituju GBHN, maka KNPI Sulut adalah produk masyarakat, juga produk elit politik dan produk birokrasi. Karenanya adalah tidak adil bila kita memberi judgement (penghakiman) terhadap tokoh-tokoh pemuda, semisal Jul Undap, Wimpie Frederick dan Rio Sumual saja. Kekeliruannya adalah pada kita semua, yang sadar atau tidak, telah menciptakan tatanan nilai dan suasana batin bagi lahirnya masalah-masalah sekitar pengabaian ide dasar oleh KNPI Sulut. Kelemahan anak-anak muda ini cermin kelemahan kita semua. Baik kelemahan masyarakat, kelemahan elit politik, maupun kelemahan birokrasi daerah.

Kedua. Ada kehendak kuat agar pemuda-pemuda Sulut mengantisipasi peran nasionalnya, bak peran “Bandaneira“ Sutan Syahrir. Sebab justru pada situasi kini, saat masyarakat dan bangsa sedang mengalami sedikit distorsi dalam kerukunan antar umat beragama, SARA, dan lain-lain. Kita perlu mendorong pemuda-pemuda bumi Nyiur Melambai menampilkan sosok-sosok cendekia emansipatorik. Menjadi “Sam Ratulangi, Maramis, Nani Wartabone, Santiago” baru. Yang membawa panji-panji penolakan atas sederet nafsu jahat yang mau menguntungi kelompok sendiri, kepentingan sendiri, ego sendiri. Lalu tetap tulus dan jujur mengajak mencintai sesama, lepas dari batas-batas apakah dia ini Islam, Kristen, Minahasa, Gorontalo, Bolaang Mongondow atau Satal. Dengan meletakannya dalam ruang segar nan damai, penghargaan sesama yaitu “kami Bangsa Indonesia”.
Sebab itu kita akan rindu sekali melihat Rio Sumual dan KNPI Sulut melepas sikap pemihakan, lalu mengantisipasi rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang bertikai, sambil tetap waspada untuk tidak terseret kedalam arus pertikaian itu. “Tiada gading yang tak retak”, kata pepatah. Saya berharap dengan berperilaku emansipatorik, Rio Sumual dan kawan-kawan sefungsionaris mampu mengemban kepercayaan rakyat yang secara tulus memperkenankan KNPI menjadi bagian dari GBHN. Sudah barang tentu, kerinduan ini akan lebih bermakna, manakala masyarakat, elit politik dan birokrasi berkenan menngkondisikan pula tatanan dan suasana batin, bagi pengejawantahan substansi KNPI ini.

Dalam suasana Natal, saya yakin kita sepakat untuk merefleksikan satu hal : apa yang mustahil bagi manusia, mungkin bagi Tuhan. Selamat Natal dan Selamat Tahun Baru 1993. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar