Selasa, 22 Juni 2010

8. INSIDEN TELUK BETUNG

Willy H. Rawung
MANADO POST 26 NOVEMBER 1992

JAKARTA, 14 Februari 1972. Hari menjelang malam. Sebuah mobil VW Kombi putih perlahan-lahan meninggalkan Asrama Putri Menteng 36 di bilangan Jalan Menteng Raya. Beberapa anak muda duduk berdesakan di dalamnya. Pemiliknya Josi Katoppo di belakang setir. Didekatnya duduk Jeanne Mambu dan Yuyu Mandagie. Di dua bangku belakang, Theo Sambuaga, Max Wilar, Herman Mosal, George Warouw, Ferdinand Pandey, Lexy Abuthan dan Willy Rawung. Selang limabelas menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar di Jalan Teluk Betung No. Para penumpang belum ada yang turun, memasang mata saling berbisik. Dari jendela mobil nampak pemilik rumah, Brigjen TNI Hein Victor Worang, Gubernur Sulawesi Utara, sedang berbincang dengan Laksamana Pertama John Lie (Jahja Daniel Dharma) di beranda depan.

“Ayo turun “ kata Max. Kontan semua berhambur keluar. Theo dan Max berjalan di depan, sementara lainnya menguntit dari belakang. Theo mendekat berhadapan dengan tuan rumah, memberi salam dan menyatakan maksud kedatangan rombongan. Sebelum Theo menyelesaikan kalimatnya, Worang dengan garang langsung menghardik, “Ini rumah jenderal.
Kalu mo baku dapa nanti di kantor perwakilan. Ini kita pe rumah”. Dan tibatiba, “Buk !”, “Ado !” Semua terkejut, termasuk John Lie. Ternyata Max Wilar telah terkena pukulan gagang pistol. Ia melorot dan terjerembab mencium tanah. Di dekatnya berdiri seorang pengawal pribadi Worang. Dengan muka beringas mengokang pistol bak gorela Jan Timbuleng, mengarahkan moncongnya ke arah kumpulan anak-anak muda tadi.

Max pingsan. Untung pukulan telak sang pengawal belum sempat mengirimnya ke akhirat. Maka tanpa meladeni lagi sumpah serapah yang masih bersemburan dari mulut sang gubernur, acungan pistol ajudan dan ucap-ucap menyabarkan dari John Lie, rombongan langsung bubar. Kembali menuju pondokan Max dan Herman, asrama Sekolah Tinggi Teologia di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi). Tak lama kemudian John Lie datang dengan
jeep Gaz. Laksamana yang arif ini langsung membawa Max ke RSAL Bendungan Hilir. Menurut dokter ia perlu diopname. Tetapi si penakut jarum suntik itu hanya dapat betah semalam. Esoknya ia kabur pulang ke asrama.

Sementara itu para putri yang ikut malam itu mendatangi Polsek Menteng mengadukan tindak kriminal Worang. Tapi polisi menolak dan menyarankan untuk melapor langsung ke Skogar. Soalnya sang pelaku kriminal adalah oknum ABRI. Polisi jelas sungkan, sebab mungkin ini hal pertama kali dalam riwayat seorang gubernur yang jenderal didakwa sebagai pelaku kriminal. Jadi ada bedanya sedikit dengan gerakan Undap. Jika pada 1972 para anak muda melaporkan gubernurnya ke polisi sebagai pelaku kriminal, maka dalam gerakan Undap justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Kejadian ini adalah puncak dari konfrontasi yang terus menerus terjadi antara IPMMD (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Djakarta) dengan gubernur yang memerintah di kampung halaman anak-anak muda itu. Pasalnya, Worang didakwa sejak menjadi gubernur sangat nepotis, anarki, anti demokrasi. Kesenangannya disapa “jenderal” sebagai pengganti “pak gubernur” juga diprotes lantaran dianggap kelewat arogan. Kendati ia jenderal pertama di Mi-nahasa. Sampai-sampai anak-anak muda itu menjulukinya Gubernur Jenderal abad ke XX. Dan yang membuat mereka tidak sabar sampai harus mendatangi rumahnya ialah saat Worang mendukung program pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dengan bersedia membangun paviliun Sulut di kompleks tersebut. Mereka berpendapat Sulawesi Utara masih terlalu miskin untuk proyek elit semacam itu dan mendesak Worang agar menggunakan uang tersebut bagi kesejahteraan rakyat di daerah. Sebab anak-anak muda itu tahu bahwa dibalik sikap Worang tersembunyi maksud untuk menduduki jabatan keduakalinya.

17 Februari 1972, harian KAMI dalam Pojok Demonstran menulis, “Max Wilar dipukul Adjudan Gubernur Hein Victor Worang dengan pistol, hingga terpaksa masuk Rumahsakit. Itu masih bagus njong. Kalau di Manado sana, ngana so mati djo, en tra ada jang ribut” (ejaan lama, Pen.). Dan dalam berita 24 Februari 1972, harian itu memberitakan lengkap peristiwa tersebut dibawah judul “Insiden Teluk Betung ”.

Sudah tentu sesuai kelaziman saat itu harian KAMI yang memuat berita semacam itu tidak akan pernah tiba di Sulut. Harian malang itu sudah terlebih dahulu dibreidel (diberangus) dan menjadi "almarhum" di bandar udara Sam Ratulangi. Dibeli borongan oleh birokrasi, untuk tidak mengata-kannya sebagai "black out a la market fprce". Hal yang biasa diberlakukan pada penerbitan manapun yang mencoba mengunjang-ganjingkan kedudukan Worang. Sementara pers daerah dapat dimaklumi, menyiarkan berita berat sebelah yang intinya menyatakan para pelaku "Insiden Teluk Betung" tidak lebih dari "sampah masyarakat" yang harus dijauhi dan katanya-katanya tidak boleh dipercaya.

Max Wilar dan Herman Mosal memang sebelumnya sudah diincar. Soalnya duet mahasiswa calon pendeta ini getol menyebar pamflet di arena pertemuan sehari sebelumnya di aula Paldam Kwitang, saat Worang menyampaikan pidato kepada warga Sulut di Jakarta menjelang akhir jabatannya yang pertama. Tentu saja isi pamflet-pamflet itu membuat Worang marah besar. Dan sebagaimana yang terjadi saat ini dalam kasus Undap, Worang pun merekayasa sejumlah pernyataan dukungan dari berbagai pihak di daerah dan di Jakarta. Sehingga jadilah IPPMD dipaksa memasuki “perang saudara” berhadapan dengan rekan-rekan pemuda pro Worang.

Kedua mahasiswa STT ini bersama-sama dengan kelompok Arief Budiman memang sering melakukan aksi menentang pembangunan TMII, aksi anti korupsi dan sebagainya. Keduanya pernah "berkemah" di halaman Polda Metro Jaya menuntut pembebasan rekan-rekannya yang saat itu ditahan polisi. Interogasi polisi bagi keduanya bak makanan sehari-hari lantaran saking seringnya melakukan aksi unjuk rasa.

Kejadian pemukulan terhadap Max praktis telah memutus semua hubungan IPMMD dengan Worang. Sampai akhir hayatnya tak pernah lagi terbina komunikasi yang baik dengan almarhum. Boleh dikata sejak saat itu IPMMD mengambil sikap menjauh dan kurang peduli dengan masalah-masalah yang timbul di daerah. Mereka kemudian memusatkan perhatian kepada DKI Jakarta sebagai lahan tempat menimba ilmu dan perjuangan. Hubungan batin dengan daerah dipelihara melalui kegiatan-kegiatan sosial budaya yang kemudian lebih berkembang setelah dibentuknya KKK (Kerukunan Keluarga Kawanua). Dan baru setelah Willy Lasut G.A. menggantikan Worang, hubungan dengan pemerintah daerah pulih kembali.

Memang tidak semua aktifis ikut menggoyang Worang. Jan F. Mailangkay - kini Itwilprop Sulut - dan Max Ekel, kini pengusaha, terpaksa memilih nonaktif dalam organisasi. Sebab salah-salah bisa ditarik pulang. Keputusan mereka didukung rekan-rekan yang anti Worang. Sebab disini perbedaan pendapat dan hak azasi pribadi sangat dijunjung tinggi. Tidak melunturkan persahabatan, tidak ada saling caci maki, tidak ada saling menjelekkan, dan tidak ada tindakan anarki diberlakukan di antara sesama sahabat yang berbeda pendapat.

Tiga tahun setelah Insiden Teluk Betung, Theo Sambuaga dan Hariman Siregar ditangkap sebagai ekor dari Peristiwa Malari. Theo perlu lebih dari setahun meringkuk dalam rumah tahanan mahasiswa yang amat terkenal, Kampus Kuning. Untung saja dalam tahanan ia belajar bahasa Inggris secara intensif. Hal yang kemudian amat bermanfaat saat menjadi anggota dan kemudian Wakil Ketua Komisi Luar Negeri DPR RI dan anggota delegasi RI pada KTT Non Blok baru-baru ini.
Sementara itu Herman Mosal menjadi Pendeta dan kini menjadi Sekretaris Umum Badan Pekerja Sinode GMIM. Max tetap garang namun kian arif, dan secara tetap mengisi kolom-kolom artikel dan puisi-puisi di koran-koran, selain mengurusi usaha jasa konsultan keuangannya. Josi Katoppo dan Jeane menikah dan seusai bertugas di Suara Pembaruan kini menetap di Los Angeles, USA. Juju menikah dengan penyair Asbari N. Krisna, usai bertugas di Suara Pembaruan dan menjadi wanita pertama penerima penghargaan pers terkemuka – Piala Adinegoro – untuk rangkaian karya “Menelusuri Remang-Remang Jakarta”, kini menetap di Eropa.

Ketika Worang seusai menjabat gubernur untuk keduakalinya dipercaya Presiden menjabat Irjenbang di Bina Graha. Para anak muda itu ternyata tidak sampai menjadi "sampah amsyarakat". Mereka - mungkin juga - bukan emas dan pula bukan loyang. Tapi pasti bukan pula besi tua. Bahkan saat prajurit itu menutup usia, seluruh mantan aktifis itu berkumpul di rumahnya yang baru di bilangan Simprug, bak bernostalgia, datang menyampaikan penghormatan terakhir. Sebab bagaimana pun Worang tetaplah seorang besar dalan sejarahnya.

Kendati ia banyak dikritik, toh perlu diakui ia telah berbuat semampunya untuk membangun daerah. Ia memang keras, bahkan cenderung kejam, sebab pembawaan pengalamannya sebagai serdadu yang ikut berjuang mempertahankan Republik. Ia tak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan lebih suka bertutur Melayu Manado, bahkan - konon – ia melakukannya dengan bapak Presiden sekalipun. Ia didakwa anak-anak muda sebagai "gubernur jenderal", "nepotis", "arogan", kasar, tidak pernah lemah lembut bak priyayi Solo. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah salah satu waraney (
the warrior, serdadu) sejati yang pernah dimiliki Minahasa. Ia membuat Max Wilar gegar otak. Ia juga membreidel harian dan segudang tindakan nonpopuler lainnya. Tetapi satu hal, ia yang mendapat panggilan akrab Kembi dari rekan-rekan seangkatannya ini, tidak cukup mempunyai keberanian untuk melecehkan atau mempermalukan tatanan nilai moral yang menjadi tradisi budaya nenek moyangnya. Yakni setelah isterinya wafat, Hein Voctor Worang memberi patu'usan (teladan) kepada kita semua. Ayah dari Freddy, teman sebangku penulis di SMP Negeri I Cikini itu, membawa calon istrinya yang masih belia ke altar suci, Gereja Tuhan, untuk diberkati dalam nikah yang kudus.

Insiden Teluk Betung tinggal kenangan. Para pelakunya merasa saat itu adalah
the golden years (tahun-tahun emas) dalam menikmati masa muda. Tidak ada yang menyesal pernah mengalaminya. Mengapa? Karena insiden itu tidak menjadi penentu mana emas, mana loyang. Tidak melahirkan dendam kesumat, tidak mengancur luluhkan persahabatan. Dan yang paling substansial, tidak pernah menyakiti hati rakyat Sulawsi Utara.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar