Selasa, 22 Juni 2010

10. DISPOSISI ATAS PENSWASTAAN TNL BUNAKEN

Willy H. Rawung
MANADO POST 10 Desember 1992

SEUMUR hidup baru sekali saya beroleh kesempatan berharga mengunjungi Taman Nasional Laut (TNL) Bunaken. Itupun hanya beberapa jam, saat bersama Bung Cosmas Batubara, Bung Eric Samola dan artis-artis ibukota memenuhi undangan Gubernur CJ Rantung melepas lelah di tengah kesibukan kampanye pemilu 1987. Kesan para jurkam ketika itu sama dengan siapa pun yang pernah melihat TNL Bunaken. Sungguh luar biasa, fantastik, karya Ilahi yang keindahan dan keunikannya bak tak mampu ditulis sejuta kata.

Maka kendati pengalaman penulis dalam berbisnis tidak lebih dari kepiawaian orang sekampung di desa Paku Ure, Minahasa Selatan sana, namun membaca berita-berita media perihal penswastaan TNL Bunaken yang adalah titipan sementara dari anak cucu kepada kita, keras juga niat menuliskan disposisi atas niat dagang yang sedang dilangsungkan pemda tersebut.

Sudah barang tentu disposisi penulis tidak sama sebangun dengan coretan pena birokrasi dan anggota DPRD di atas surat permohonan kontraktor yang meminta penswastaan. Lantaran disposisi ini dipengaruhi tema klasik para ahli teologi, yang sering memilih lebih aman mengkhotbah ketimbang memperjuangkan : “Demi keutuhan ciptaanNya”. Serta didorong konsistensi untuk ikut menyemangati era keterbukaan yang menjadi roh zaman ini. Roh komunikasi dan globalisasi. Roh yang mengucap ucapan selamat tinggal pada kebodohan akibat kegelapan informasi.

Pada galibnya penswastaan harta milik negara dan rakyat membuktikan bahwa pemda tidak sanggup atau tidak mengutamakan lagi obyek pariwisata yang menginternasional itu dalam kocek anggarannya. Atau bisa juga birokrasi sudah pusing tujuh keliling, tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan terhadap mahakarya itu. Lalu dari pada sakit kepala terus-terusan, coba mengambil jalan pintas sekaligus ikut berlatah ria : penswastaan ! Kemana, ya kepada pihak swasta yang memiliki kemampuan, yang dipercaya lebih solid, lebih piawai, baik menyangkut permodalan, personil, kesadaran lingkungan, dan lain-lain.

Itulah sebabnya disposisi penulis akan lebih berkait erat dengan keingintahuan tentang sejauh mana sih kelebihan-kelebihan mitra dagang pemda tersebut, menurut acuan di bawah ini.

Pertama, penswastaan harta milik negara – sejenis TNL Bunaken – mesti transaksi transparan (tembus pandang). Latar belakang apa dan mengapanya diungkapkan terbuka kepada masyarakat luas. Keterbukaan tidak sebatas sampai ke tingkat DPRD dan birokrasi semata. Agar “pengawasan melekat” tidak saja dilakukan birokrasi, tetapi ditang-gungjawabkan pula kepada masyarakat, semisal LSM, KNPI, dan seterusnya. Sebab itu bentuk dan isi kontrak dengan perusahaan yang kejatuhan rezeki itu pun perlu di-palakat-kan. Dijelaskan terus terang apa jenisnya : BOT (Build, Operate & Transfer), BOOT (Build, Own, Operate & Transfer), kontrak manajemen, sejenis kontrak perusahaan retribusi parkir, kontrak perusahaan “cetak jual sobek karcis”, atau bagaimana. Dengan mengetahui jenis kontrak, kualitas kontraktor serta ruang lingkup hak dan kewajiban, kita dapat memahami luasnya sepak terjang sang pengusaha. Sebab mana tahu tiba-tiba TNL Bunaken disulap menjadi “lokalisasi WTS terselubung” lantaran dimungkinkan dalam kontrak. Maaf saja, di tengah keriuhan berita-berita pers perihal degradasi moral petinggi Sulut akhir-akhir ini, kekuatiran semacam itu selalu membayang. Apalagi demi promosi dan pemasaran, iklan sejenis sun-sand-sex (matahari-pasir pantai-seks) secara munafik selalu menyelimuti bisnis pariwisata.

Kedua, anatomi perusahaan itu - meminjam istilah Christianto Wibisono - harus ditransparankan kepada masyarakat. Jika prosesnya melalui tender terbuka, company data, profil dan likuiditas perusahaan bersangkutan mudah terdeteksi. Namun karena tender dilupakan atau memang ada peluang yuridis untuk tidak ditender, maka masyarakat pun tak bisa maklum, apakah sang kontraktor sekelas perusahaan “cleaning service”, “perusahaan catering”, “perusahaan perparkiran”, “PT Akta Notaris”, atau memang sejenis perusahaan hebat yang berinduk pada korporasi konglomerat tertentu dan berakses kuat dengan para bankir. Ditambah gelapnya siapa-siapa profesional yang akan mengelola TNL Bunaken dan remang-remangnya indentitas pakar yang menjadi konsultan, kitapun kian tak tahu lagi apa dan siapa ge-rangan sang kontraktor.
Proporsal,
prestudy - syukur-syukur – studi kelayakan haruslah pula dibeberkan secara terbuka. Supaya semua maklum akan bernasib apa kelak karya Allah itu setelah diserahkan kepada kontraktor. Struktur modalnya pun mesti disingkap. Kendati perseroan komanditer (CV) itu masih jauh perjalanan dari kelas perusahaan publik (public company). Namun sebab harta negara dan rakyat menjadi taruhan. Wajiblah ia membuktikan berapa cash in hand, berapa equity, berapa loan, DER (Debt to equity Ratio), Cash Flow dan seterusnya, untuk dinilai likuid atau tidaknya perusahaan itu sebagai mitra dagang pemerintah.
Disposisi ini memerlukan pula data tentang berapa laba bersih perusahaan pada lima tahun terakhir. Berapa besar pajak yang telah disetor ke kas daerah dan kas negara. Dan apakah ia termasuk dalam daftar pembayar pajak yang baik, atau malah masuk
black list.
Jawaban atas disposisi di atas mesti benar dan jujur,
nimbole putar bale. Sebab demikianlah bisnis, apabila menyangkut harta negara dan rakyat, bonafitas dan likuiditas mesti terbaca dalam angka-angka. Bukan dinilai dari sedan Baby Benz, BMW yang dikendarai dan luksnya kantor perusahaan yang full AC, serta tidak pula dipengaruhi oleh siapa-siapa petinggi yang berlindung di belakang perusahaan.
Mengapa? Pameo manajemen mengatakan “if you spent peanuts, you got monkey”
(kalu tuang kase keluar biaya cuma kacang-kacang, tuang cuma dapat yaki - terjemahan bebas). Di Taipei, seorang Cina pernah menasehati penulis, ‘syarat keberhasilan dagang adalah uang, uang, uang dan sekali lagi uang ! Tidak ada syarat lain, selain uang”. Inilah kerasnya realita norma dunia bisnis. Maka besarnya investasi dan modal kerja sang kontraktor perlu dimaklumatkan. Agar anggapan bahwa kontrak tersebut hanya akan menjadi referensi pinjaman modal kerja dari bank dapat dibuang jauh-jauh.
Publik perlu pula mendapat informasi sejelasnya sudah berapa lama usia perusahaan kontraktor kita. Apakah sebelumnya sudah – sedang - memiliki basis bisnis (
main business) yang kokoh, sehingga TNL Bunaken ialah pilihan diversifikasi usaha. Atau apakah kontrak ini merupakan bisnis perdana dan kelak akan menjadi basis satu-satunya ? Lalu, siapa-siapa saja gerangan para pemegang sahamnya. Apakah mereka kredibel untuk memberi personal guarantee. Bukan apa-apa, syarat ini dimaksud untuk mendapat keyakinan bahwa pemda tidak sedang berdagang dengan pemula, coba-coba latah, miskin modal, nihil profesionalitas manajemen dan yang sejenisnya.
Pengalaman tragedi KUD Inspirasi yang sarat air mata, pengorbanan moral, moril, materil dan melukai hati jemaat GMIM, mesti ditekadkan tidak boleh terulang. Lantaran yang demikian ini dengan gampang pasti diterkam hukum bisnis, pontang-panting dan bangkrut ! Pokoknya terang benderangnya informasi, mesti sejernih “akuarium alam” TNL Bunaken. Sebab bukankah Alkitab menulis “akar kejahatan adalah uang“, sehingga profil moral para pemegang sahamnya pun perlu pula disimak.

Ketiga, dalam kontrak bisnis yang wajar dan profesional berlaku kelaziman pemberian garansi. Maka demi menjaga kelestarian TNL Bunaken, pihak kontraktor mestinya diwajibkan memberi bank garansi senilai - misalnya - sepuluh milyar rupiah kepada pemda. Maaf kepada LSM Sulut, jumlah ini kacang-kacang sekali dibanding harta yang dipercayakan kepadanya. Tapi dengan jaminan ini, “torang bekeng berikade karang buatan” kepada pihak kontraktor, supaya tidak berani-berani merusak TNL Bunaken. Kalau sampai terjadi, garansi - atau agunannya - dapat segera dicairkan untuk memperbaiki cagar bahari tersebut. Coba bayangkan bila tidak ada jaminan. Dengan mudah saja peristiwa lari sipat kucing dapat berlaku. Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab kepada para anak cucu. Maaf sekali lagi maaf. Jangan ibu kontraktor merasa dilecehkan. Bisnis adalah bisnis. Normanya jelas, tidak percaya dulu satu dengan lainnya. Karena bukankah kontrak diperlukan sebab memang sulit saling percaya.

Keempat, substansi penswastaan adalah bisnis semata. Maka tiada guna menggunakan tatanan lain sebagai timbangan selain dacin bisnis. Untuk itu pemda sebagai pelaku bisnis mesti segera mengangkat para profesional sebaga supervisor (pengawas). Dan alangkah baiknya untuk tanggung jawab ini, pakar-pakar dan aktifis LSM diikutsertakan. Supaya kepentingan bisnis pemda benar-benar berjalan sesuai kontrak dan TNL Bunaken terjaga kelestariannya. Jelas pemda tidak memiliki kualitas birokrasi profesional yang diperlukan untuk itu. Maka silahkan menunjuk konsultan bisnis piawai di bidangnya. Jangan tunjung pande, sebab kalau memang memiliki profesional, mustahil TNL Bunaken mesti diswastakan.

Adalah tidak adil jika disposisi ini tidak diolah dalam etos
baku beking pande. Maka tiada salahnya pada akhir disposisi ini sekadar sumbang saran perlu disampaikan kepada ibu kontraktor. Pandanglah pengungkapan anatomi perusahaan kepada masyarakat luas sebagai kiat bisnis. Bukankah dengan pengungkapan ini, popularitas perusahaan menjadi meningkat, iklan dan promosi diperoleh “gratis”. Lalu dengan tanpa menyewa PR Manager handal, citra perusahaan menjadi baik. Lalu ekornya kelak akan berakibat positif pada promosi, pemasaran dan “penjualan” TNL Bunaken. Kita rasanya sudah sama-sama tahu bahwa dengan mengungkap anatomi perusahaan kepada publik, penampilan high profit yang juga menjadi kiat bisnis pariwisata akan berjalan mulus.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar