Selasa, 15 Juni 2010

4. BELAJAR DARI KASUS SUMATERA BARAT

Willy H. Rawung
MANADO POST 9 Oktober 1992

KINI memilih gubernur tidak semudah dulu. Kendati landasan perundang-undangan tidak berubah, mekanismenya haruslah dijalankan dengan hati-hati. Salah-salah bisa
dapa toki. Contohnya terjadi di Provinsi Sumatera Barat. Letkol TNI Nur Pamuntjak, Kadit Sospol Pemda dicopot dari jabatannya karena membuat kesalahan fatal.

Mendagri Rudini dalam wawancara pers sepulang melantik gubernur baru Timor Timur menegaskan, “dia harus
get out segera dari jajaran Depdagri”. Fatal. Sebab saking berjuang agar Hasan Basri Durin dicalonkan kembali, Pamuntjak sampai melakukan insubordinasi dan pemihakan. “Hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pembina politik di daerah,” tegas Rudini. Keterangan Rudini berlanjut dengan dikembalikannya usulan calon gubernur dari DPRD yang mencalonkan Durin, untuk ‘dimusyawarahkan’ kembali agar sesuai aspirasi masyarakat".

Ketegasan Mendagri kontan mencuatkan gosip politik di ibukota. Tidak kurang dua menteri asal Minangkabau, Bustanil Arifin dan Azwar Anas, serta mantan Kapolri Awaluddin Djamin, jadi
tasibu skali. Soalnya mereka digunjing masyarakat di kampungnya sebagai “perekayasa” di belakang pencalonan kembali Durin. Bustanil, misalnya, bahkan diberitakan telah menghadap Presiden untuk maksud tersebut. Tentu saja ketiga tokoh tadi tangkas menolak tuduhan. Sebab sala-sala dapa toki lei. Bisa-bisa dianggap mencampuri wewenang Mendagri dan Presiden. Yah, namanya saja gosip. Mana ada yang berani mengaku, walau media-media cetak Jakarta ramai memberitakan. Ketika ditanya Editor (16/9), mengapa proses pencalonan menjadi rumit, Rudini mengatakan, “mungkin karena orang Sumbar ini suka ngomong”.

Pencalonan kembali Durin memang tidak mencerminkan totalitas aspirasi masyarakat. Para pendukung menyebut jasa memenangkan Golkar pada Pemilu sebagai salah satu alasan. Sementara pihak penolak menganggap hal itu tidak sepantasnya menjadi alasan. Sebab tugas gubernur memang bukan itu. Betul juga. Ia kan wasit pemilu. Akibatnya, gejolak pernyataan penolakan pun datang bertubi-tubi.

Yang sangat menarik, aspirasi penolakan dari luar DPRD ditanggapi positif oleh pemerintah pusat. Bahkan dinilai sebagai pertanda meningkatnya kesadaran politik rakyat. DPRD yang telah memproses pencalonan via fraksi-fraksi dianggap kurang berkomunikasi dengan rakyat. Sehingga aspirasi rakyat yang tidak tersalur di DPRD lalu mengambil jalan pintas langsung ke pemerintah pusat. Akibatya suara DPRD menjadi mentah dan harus diulang, dengan memberi tempat sewajarnya kepada aspirasi rakyat.

Tidak lekatnya Durin dengan rakyat Sumatera Barat,sempat mengejutkan para pengamat politik di Jakarta. Sebab bagaimana mungkin selama masa jabatannya, Durin tidak kunjung lekat dengan rakyat. Namun setelah memahami alasan para penolak, kita pun memaklumi. Agaknya ia condong menjadi gubernurnya petinggi-petinggi Jakarta saja, ketimbang menjadi gubernurnya rakyat di daerah. Komunikasi yang dikembangkan lebih “nyantol” pada elite politik Minangkabau di Jakarta. Maka dapat dimengerti mengapa birokrasi daerah dan DPRD mesti terpeleset, mengabaikan aspirasi rakyat.

Namun, apa mau dikata, walau elite politik daerah - DPRD dan birokrasi - serta tokoh-tokoh Jakarta asal daerah menjagokan, pemerintah pusat tidak terpengaruh. Dan Durin, mungkin tidak berpeluang lagi, meski di bangku cadangan sekalipun.

Gebrakan Mendagri Rudini dalam menempatkan mekanisme pencalonan tidak sebatas formalitas UU telah diawali sejak dihapuskannya apa yang disebut “calon droping” dan “calon pendamping”. “Deregulasi” - katakanlah begitu - yang digebrak, sebenarnya bermaksud memaknai esensi, kualitas, dalam proses pencalonan gubernur. Semacam added value. Sehingga bobot mekanisme pencalonan menjadi lebih berkualitas. Tidak lagi bak seremoni politik di mana DPRD tinggal melagukan “koor ya setuju saja”.

Dalam pelaksanaannya, nilai tambah itu dapat diartikan diberinya peluang kepada DPRD untuk mengambil inisiatif. Dengan lebih dahulu memantau dan berusaha memahami siapa calon-calon yang berkenaan dengan apirasi rakyat. Dalam hal ini memahami aspirasi menjadi mutlak. Sebab peluang munculnya calon-calon yang cekatan
lobbying ke atas tetapi nihil dalam akses ke rakyat yang akan dipimpin, pupus sudah. Dengan seleksi demikian, para calon DPRD akan memiliki kesamaan kadar dalam bobot dan peluang. Tidak ada calon yang dipersiapkan untuk “tekeng boke”. Atau seperti pertandingan tinju pro klas pasar malam yang sudah ditentukan dan dibayar dulu siapa menang dan siapa kalah.

REALITAS BARU

Gebrakan Rudini di Sumatera Barat mestinya tidak mengejutkan. Tanda-tanda munculnya realitas baru telah tampak jauh sebelumnya. Ketika presiden Soeharto mencanangkan keharusan ditingkatkannya kualitas anggota legislatif hasil Pemilu 1992. Pencanangan ini sebenarnya merefleksikan
political will pemerintah yang mengacu pada seriusnya realitas yang menghadang di hadapan kita. Misalnya saja, sebab pembangunan yang semakin besar dan berat serta sederet masalah-masalah pelik lainnya, mustahil DPRD masih harus mo bekeng tasibu pemerintah pusat, hanya karena kurang berkualitasnya anggota-anggota legislatif.

Dalam era globalisasi, komunikasi canggih telah mendunia serta meningkatnya tingkat pendidikan rakyat. Pengertian kita tentang tingginya kualitas anggota legislatif, tentu tidak diukur dari melekatnya gelar kesarjanaan atau kepangkatan semata. Tetapi - seperti dalam kasus Sumatera Barat – pada sejauh mana para anggota terhormat mampu berkomunikasi dan menyuarakan aspirasi yang tersirat di lubuk hati rakyat. Atau, apakah setelah kini ber-
safarilook, kualitas komunikasi dengan rakyat masih tetap sama? Seperti ketika masih sama-sama mengenakan T-shirt kampanye pemilu.

SULAWESI UTARA

Sejak masa revolusi kemerdekaan, masyarakat Sulawesi Utara - seperti halnya Sumatera Barat - dikenal memiliki tingkat kesadaran politik lumayan tinggi. Kepekaan dan kepedulian akan politik praktis nyaris terjadi di segenap strata masyarakat. Menyoal hubungan aspirasi rakyat dengan pelbagai pengalaman, Sulut tidak kalah komplikasinya dengan kasus Sumatera Barat. Sebut saja misalnya pemberhentian gubernur Willy Lasut GA diawal masa jabatannya belasan tahun silam. Ketika itu, beberapa mahasiswa di Jakarta yang merasa dipermalukan atas pemberhentian Willy, dengan berani menyuarakan aspirasi rakyat Sulut. Dengan “meminjam” nama “Generasi Muda Sulut”, mereka berkeliling membacakan pernyataan dari DPRD sampai ke petinggi-petinggi, meminta agar pengganti Willy, harus “putra daerah”. Sementara itu teman-teman mereka, Julius Undap dan kawan-kawan, dengan “ngebon” nama “Angkatan Muda Sam Ratulangi” menyuarakan hal yang sama di Manado. Mereka bahkan tampil lebih keras dengan “mengutuk” DPRD Sulut, jika dewan yang terhormat tidak memilih “putra daerah” sebagai pengganti Willy. Kekecewaan mereka cukup beralasan, sebab saat itu DPRD hanya bisa diam seribu bahasa, menunggu datangnya “droping” dari pusat. Sementara elite politik daerah menyembunyikan muka bak takut dilanda topan.

Anak-anak muda itu tentu tidak berkeliling Sulut, mengadakan
polling atas isi pernyataan-pernyataan mereka. Namun, kepekaan menyuarakan isi lubuk hati rakyat itulah yang membuat rakyat mendoakan keberhasilan perjuangan mereka.

Kita kemudian kurang mengetahui apa tanggapan elite politik di Jakarta saat itu. Tetapi ketika GH Mantik dilantik sebagai gubernur baru menggantikan care taker Erman Harirustaman, rakyat pun bersuka cita. Sebab terbukti pemerintah pusat cukup peduli terhadap aspirasi rakyat. Rasanya, perlu juga angkat topi pada gerakan anak-anak muda itu. Sambil mengharap, semoga mereka kelak menjadi anggota DPRD beneran.

Maka meski masih memerlukan beberapa tahun lagi saatnya memilih gubernur baru, tiada salah jika DPRD, birokrasi, tokoh dan kelompok masyarakat Sulut - termasuk penetap di Jakarta - mewaspadai dan bersikap antisipatif terhadap kemungkinan timbulnya kasusnya Sumatera Barat, atau kasus post Willy Lasut di Sulut. Dimana aspirasi rakyat
ambe jalang potong langsung ke Jakarta sebab kurang dipedulikan di daerah.

Adalah baik jika semua pihak mengambil hikmah dari kasus tersebut. Hikmahnya, tidak saja bermanfaat bagi pencalonan gubernur baru kelak. Tetapi juga dalam proses pencalonan Bupati. Atau terhadap berbagai keputusan politik yang jelas-jelas memerlukan totalitas dukungan aspirasi rakyat.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar