Kamis, 24 Juni 2010

11. “BINTANG” DAN “JASA”

Willy H. Rawung
MANADO POST 16 Desember 1992

DI TENGAH keriuhan dan berduyunnya orang-orang mengurus surat pengakuan sebagai veteran perang kemerdekaan, ayah hanya berdiam saja. Mantan pemimpin Lasykar Rakyat di desa itu tetap tak beranjak, meski rekan-rekan seperjuangan dan mantan anak buahnya datang mendesak. Ibu memberitahu mereka bahwa ayah tidak mau mengurus surat semacam itu lantaran ia kecewa berat.
Ia sulit menerima kenyataan melihat banyak mantan musuh Republik - orang-orang yang prokolonial Belanda - tiba-tiba sudah menyandang gelar veteran. Ia tahu benar, beberapa “veteran” yang dengan pongah berkisah tentang jasa-jasa kepada Republik, adalah mereka yang dulu justeru sering meleceh, “Huh, sedang
bekeng potlod nintau, kong lei mo malawang pa Walanda” (membuat pinsil saja tak mampu, bagaimana pula melawan Belanda).

Mereka memang belum termasuk kategori pengkhianat. Tapi sikap mereka saat masa-masa berjuang yang lebih memilih berkolaborasi dengan penjajah telah menorehkan luka mendalam di hati ayah, sang pejuang yang antikolaborasi. Dan dapat dibayangkan, betapa sakit hatinya patriot desa itu ketika seusai perang melihat para “pahlawan-pahlawan kesiangan” itu petantang-petenteng dengan “surat pengakuan veteran” bak patriot sejati.

Itulah sebabnya saat jenazah ayahanda pada beberapa tahun lalu dipindahkan dari pemakaman umum Menteng Pulo Jakarta ke desa kelahirannya, dengan segan aku mendengar pembacaan riwayat hidup beliau oleh rekan-rekan seperjuangannya, yang merasa memerlukan melakukan hal itu di hadapan keranda. Aku segan, lantaran sampai akhir hayat, ia tidak pernah mau tahu lagi dengan segala hal yang menyangkut keveteranan.

Sikap keras cenderung puritan tersebut lama baru aku pahami. Aku sadar, bahwa sikap demikian bukan hanya milik beliau seorang. Ribuan, ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan pejuang sungguhan merasa terluka dan kecewa dengan kehadiran pejuang-pejuang imitasi. Kekerasan hati dan penderitaan selama masa-masa perjuangan membuat mereka sulit menerima suatu realita baru, yang bernama rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang tidak lagi mengdikotomikan antara pejuang anti Belanda dengan yang propenjajah Belanda itu tiada lain dimaksud untuk melancarkan proses
nation & character building menuju keutuhan dan kekokohan sebagai bangsa dan negara baru yang bernama Negara Kesatuan RI. Suatu realita yang memunculkan peluang dari mereka yang tadinya sangat prokolonial Belanda untuk “bertransformasi” menjadi patriot.

Pada era pasca revolusi kemerdekaan, realitas demikian banyak terkisah pada cerpen, novel, koran, majalah, sebagai kisah-kisah romantisme sejarah. Almarhum Usmar Ismail - tokoh perfilman nasional - banyak membuat film dengan tema demikian : patriot sejati menyembunyikan jasa dan nama, sementara patriot imitasi mendapat fasilitas, pahala, kekayaan, populer dan bintang jasa.

Kasus perburuan komisi Haji Achmad Thahir sebesar US$. 78 juta (160 milya rupiah) antara Nyonya Kartika isteri kedua Thahir, dengan anak-anak dari isteri pertamanya, segera saja membangkitkan rasa romantisme sejarah. Penyandang bintang jasa Bintang Gerilya tersebut demikian kaya raya. Isteri kedua yang gagal menguasai harta negara sebesar Rp. 160 milyar tersebut sudah lebih dulu menarik deposito sebesar US$. 40 juta (90 milyar rupiah) dari rekening The Hongkong & Shanghai Bank di Singapura yang menjadi milik pahlawan yang dimakamkan di Taman Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata itu. Bahkan tanpa malu-malu, “isteri idaman Thahir” itu menyatakan bahwa uang haram itu diperoleh dari komisi yang diberikan sejumlah perusahaan asing pemenang tender proyek di lingkungan Pertamina kepada suaminya, sang pahlawan nan kusuma bangsa itu.

Kita tidak tahu berapa besar sebenarnya kekayaan yang ditumpuk “sang patriot” selama hidupnya. Kita juga tidak tahu, apakah keserakahan Thahir mengeduk uang komisi sebab kepiawaian isteri keduanya, atau memang ia sendiri cukup profesional untuk hal demikian. Lantaran, mantan komandan TNI Sumatera itu juga didakwa sebagai pernah melarikan uang dan emas milik rakyat Aceh, yang tidak pernah dikembalikan sampai akhir hayatnya (Prof. Ali Hasymi, ketua MUI Aceh, Suara Karya 7/12).

Tidak perlu dijelaskan lagi betapa dengan kasus komisi yang disidangkan bertahun-tahun di Pengadilan (High Court) Singapura, “sang patriot sejati“ ini sudah mempermalukan bangsa dan negara di dunia internasional. Mempermalukan dan melecehkan para pahlawan sungguhan. Mempermalukan rekan-rekan seperjuangan baik yang masih hidup maupun yang telah berpulang. Mempermalukan para patriot sejati penerima bintang gerilya. Nila setitik ini memang jauh dari merusak susu sebelanga, namun nila ini sungguh sangat menyakitkan hari nurani para pejuang sungguhan.

Pencabutan tanda jasa ialah wewenang Presiden, kata Menko Polkam Sudomo sebagai Ketua Umum Dewan Tanda-Tanda Kehormatan RI. Hal mana pernah dilakukan terhadap DN Aidit sang gembong PKI, karena terbukti melakukan kedeta. Namun terhadap Thahir, lantaran ia keburu mati, tetap berhak disemayamkan di bawah pohon rindangnya TMPN Kalibata. Karena ia tidak pernah diadili dan dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana oleh pengadilan, maka secara hukum, harta karun Thahir dari hasil komisi memang belum tentu terbukti sebagai hasil korupsi. Dan karena negara kita adalah negara hukum, siapapun dilarang menyatakan seseorang bersalah kecuali pengadilan menyatakannya. Tetapi dalam masyarakat, “vonis kesalahan” yang terberat adalah yang dijatuhkan oleh hati nurani masyarakat, seperti ditulis Suara Karya 7/12 : “Apalah artinya itu semua, kalau kemudian terbukti bahwa jasad yang berbaring di TMPN itu ternyata melakukan tindakan yang merugikan negara. Masih adakah kebanggaan itu. Apa artinya status kepahlawanan, kalau kemudian digugat masyarakat karena perbuatan sang tokoh yang memalukan?”

Kata-kata bijak ini tidak hanya relevan bagi almarhum Thahir. Itu berlaku juga sebagai peringatan kepada siapapun penyandang tanda jasa. Apa artinya bintang gerilya, apa makna bintang mahaputera, jika sebab kurang hati-hati melangkah, lalu nama keluarga, nama anak cucu, mesti tercemar. Apa guna harta, kekayaan dan pangkat, jika pulang di kampung halaman pun hati tak tentram lagi.

Maka tetaplah tulus, tetaplah jujur, setialah terus, di dalam keluhuran hati nurani rakyat, engkau wahai kusuma bangsa. Supaya status sebagai penyandang bintang gerilya atau bintang mahaputera tetap dihargai masyarakat dan bangsa.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar