Selasa, 15 Juni 2010

3. TERIMA KASIH

Willy H. Rawung
CAHAYA SIANG No. 685 Tahun IV 1990

IBU dan Ayah saya berbahasa Minahasa, dialek
Tountemboan. Saya bersyukur dapat memahami bahasa ini dengan baik, kendati sulit mengucapkannya dengan lancar - akibat sekian puluh tahun tinggal di rantau orang. Kendati demikian, kegandrungan saya akan bahasa dan kesenian Minahasa tidak berkurang.

Sekitar dua tahun lalu, saya berbincang sengit dengan beberapa "pakar" dan pecinta seni budaya Minahasa di Jakarta yang setia mengayuh langkah dalam Yayasan Kebudayaan Minahasa (YKM). Pasalnya adalah, saya capek mencari kata bermakna 'terima kasih' dalam khasanah bahasa Minahasa. Karena gagal menemui, maka timbul keprihatinan. Mengapa ? Bahasa adalah ekspresi jiwa dan karakter manusia penuturnya. Kata 'raja', 'kraton', 'pangeran', dikenal luas dalam khasanah bahasa Jawa, karena intitusi itu memang eksis dalam masyarakatnya. Dan bila ada kata 'matur nuwun' yang bahkan mulai digunakan pula oleh mereka yang bukan berbahasa Jawa, sebagai padanan kata 'terima kasih', maka itu pertanda karakter dan kultur menghaturkan ucapan terima kasih lekat dengan masyaraka dan karakter Jawa.

Menarik garis sejajar dari contoh ini, makin penat terasa upaya mencari khasanah kata dalam bahasa Minahasa yang bermakna 'terima kasih' itu. Boleh dikata mencari padanan katanya saya menemui kegagalan. Kalau pun ada, ya bahasa Melayu Manado, 'makase banya'. Dan ini jelas bukan bahasa Minahasa.

Bert Supit, salah satu budayawan dan referensi utama masalah-masalah budaya Minahasa di Jakarta menganggap kata 'makapulu sama' mempunyai makna yang pas sama dengan 'terima kasih'. Namun pendapat ini tidak diterima utuh oleh para 'pakar' lainnya pada saat itu. Ini berarti kata bermakna 'terima kasih' seperti dugaan dan kerisauan saya, mungkin memang tidak pernah ada dalam bahasa Minahasa dialek manapun. Sebab bila ada, tidak mungkin keberadaan kata sederhana itu lalu diperdebatkan sengit. Perbedaan mencerminkan adanya keraguan eksistensi dari kata tersebut. Atau kalau memang pernah ada, mungkin sudah samar, tidak penting, tidak umum digunakan, lalu punah dan terlupakan.
Seandainya kata ini pernah ada dan kokoh dalam hidup keseharian, mustahil lalu punah begitu saja, dilupakan, dan terganti dengan bahasa masyarakat Riau : ‘terima kasih banyak’ yang diadopsi menjadi 'makase banya'.

Khasanah kata menyatu dengan sistem nilai, termasuk karakter manusia pemakainya. Dari sini, sebuah judgement akan terasa menyakitkan dan merindingkan bulu roma : sistem nilai menghaturkan ucapan terima kasih dalan kultur Minahasa, apa ada ? Terus terang saya berharap, bahkan berdoa, mudah-mudahan kata itu - dalam beragam dialek bahasa Minahasa - memang pernah ada, agar tuduhan bahwa Minahasa tidak memilkiki kultur menghaturkan ucapan terima kasih adalah tidak benar.

Namun kalau toh benar kultur menghaturkan ucapan terima kasih memang tidak ditemui dalam kultur Minahasa, saya ingin mengusulkan kepada Pdt. Kelly Rondo - yang sedang giat melakukan "Tabea Campaign" di kalangan Jemaat GMIM - juga mengawali "Terima Kasih Campaign" kepada seluruh masyarakat Minahasa.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar