Selasa, 22 Juni 2010

7. RAKYAT, WAKIL RAKYAT, SUARA RAKYAT

Oleh Willy H. Rawung
MANADO POST 21 NOVEMBER 1992

MAX WILAR berpendapat, jangan bertanya tentang sosok bupati idaman kepada anggota legislatif, sebab hal itu salah dan terbalik. Para anggota terhormat itu tidak lebih dari sekedar pembawa suara rakyat. Pemberi jawab yang absah untuk pertanyaan demikian ialah rakyat sendiri
(Rakyat dan Bupati - Manado Post 7/11/92).

Orang Inggris memang menyebut para anggota parlemen ini,
speaker. Para anggota DPRD Sulut pun jika suatu ketika diajak berdialog dengan penutur berbahasa Inggris, akan disapa Mr Speaker. Tapi jangan rancu. Mereka bukan speaker yang lazim dijual di toko elektronika. Karena perangkat tata suara untuk berhalo-halo itu nama dagangnya loudspeaker. Hanya Om Sampel yang tinggal di desa Paku Ure terbiasa menyebut kata singkatnya, spiker. Substansi antara spiker-nya Om Sampel dan speaker bermakna anggota legislatif seyogianya tiada jauh berbeda.

Speaker yang bermakna anggota DPRD ini adalah manusia sejati, dan telah mengangkat sumpah untuk tidak bersuara lain selain dari suara yang diterima dari rakyatnya. Walau ada gempa bumi, manakala rakyat mengatakan, “amin, amin”, para speaker pun akan ramai-ramai melantunkan koor : “amin, amin”. Jika seandainya rakyat bersuara, “ubi batata” umpamanya, tidak seharusnya para anggota terhormat menyanyikan lagu : “mie lao-lao”. Sebab jika hal ini sampai terjadi, maka akan berlaku peristiwa seperti runtuhnya menara Babel, kisah yang tak asing bagi para pembaca Alkitab yang rajin. Inti kisahnya, Allah mengacaubalaukan bahasa manusia sehingga proyek mercusuar para pendosa itu lalu runtuh sendiri. Bayangkan apa yang terjadi jika sang mandor meminta batu-batu dipasangkan, tapi para tukang bangunan malah membongkarnya.

Nah, bagaimana pula bila kita bertanya perihal seorang gubernur idaman. Bila menanyakan kepada para anggota legislatif tentu salah kaprah pula. Atau sopankah menanyakan kepada ibu-ibu, isteri - atau bapak-bapak para suami - dari para anggota legislatif yang tinggal di kompleks DPRD Malalayang, tempatnya gosip politik off the record beredar?

Jika hal ini dianggap kurang pas, maka tentu percuma pula menanyakan kepada KNPI, atau organisasi kemasyarakatan yang konon berjumlah 30 buah di Sulut. Dan mubazir mencari jawab dari pimpinan PPP, Golkar dan PDI. Serta sia-sia juga menanyakan hal tersebut kepada Julius Satyadarma Undap - putera almarhum pendeta Undap - yang dinobatkan Media Indonesia (14/11) sebagai “Tokoh Petisi 17” sebab menggonjang-ganjingkan kepemimpinan Sulut.

Menanyakan kepada para jurnalis di daerah - termasuk para koresponden harian Jakarta - mungkin malah akan mendapat jawab membingungkan. Setidaknya bila menggunakan tolok ukur runtunan berita satu harian pagi ibukota yang menyiarkan sosok idaman gubernur dan “petisi 17” bak siaran iklan humas Pemda.

Mencari jawab yang adil dan seimbang memang sulit. Bertanya gaya syair lagu Ebiet G Ade, ‘tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang’ malah mencerminkan sikap fatalistik yang tidak karuan. Namun memberanikan diri bertanya kepada Mendagri Rudini misalnya, paling tidak akan sama dengan Max Wilar, yang menganjurkan kita bertanya langsung kepada rakyat.
Jadi apa harus berlaku tidak waras, berjalan dari Miangas sampai Papayato menjumpai seluruh rakyat Sulut - tanpa kecuali - sekadar untuk mencari jawab yang disepakati bersama perihal sosok idaman seorang gubernur Sulut. Maka jadilah itu suatu kesia-siaan yang dileceh habis-habisan oleh para ahli ilmu ketatanegaraan dan membuat kesibukan baru bagi aparat keamanan.

Melakukannya melalui tanda tangan dukungan orang dan kelompok masyarakat rasanya ketinggalan zaman. Dalam era menyiapkan diri memasuki PJPT II saat ini, produk-produk rekayasa politik praktis demikian - habis mau disebut produk apa - dapat saja bermakna sebaliknya. “Kagak bisa dipegang”, kata pepatah Betawi. Apalagi pemerintah pun – dalam banyak kasus sejenis - tidak serta merta menerima dan mempercayai hal-hal demikian.

Di Amerika Serikat yang demokrasinya liberal, hal semacam itu akan tidak sulit. Sebab pada zaman pasca modern ini,
polling, atau pengumpulan pendapat bisa dilakukan melalui institusi-institusi, seperti perusahaan publik relasi komersial yang berbau iklan sponsor. Lembaga sedemikian pernah membuat Bush frustasi. Lantaran pengumuman hasil yang disiarkan berkala oleh CNN ke seantero belahan bumi dengan menyebut angka sekian persen, sekian persen, untuk keunggulan Bill Clinton, telah menimbulkan dampak sebaliknya. Siaran-siaran itu malah mempengaruhi pendapat umum, yang walau dilawan habis-habisan oleh Bush, hasilnya telah kita ketahui.

Pengumuman pendapat yang dilakukan dengan cara
sampling wawancara telepon, tatap muka, pengumpulan tandatangan, junk mail, dan bentuk praktis canggih lainnya, ternyata cukup benar dan akurat mencerminkan aspirasi rakyat Amerika. Maka meski petugas polling bukanlah Mr. Speaker, mereka ternyata mampu menyerap dan menyuarakan suara rakyat Uncle Sam.

Di negara kita apalagi di daerah, keahlian profesional demikian dilakukan secara sangat berbeda. Jika petugas
polling turun ke jalan, lorong dan rumah rakyat untuk bertanya-tanya langsung kepada responden. Adalah para pembawa suara rakyat kita lebih sering mengadakan rapat, lalu dari sana menjadi “pengunjuk rasa” gaya Undap, atau “pengunjuk rasa” khas 30 kelompok ormas kemasyarakatan kontra Undap. Lantaran untuk menggunakan skenario hearing atau kunjungan kerja sama halnya melanggar aturan main, dan melangkahi bidang yang hanya kompetensinya para anggota DPRD.

Para spiker nonformal ini terpaksa menggunakan cara yang sejak era Orde Lama sudah menjadi model. Membacakan pernyataan, pernyataan dan sekali lagi pernyataan. Dan jangan harap cara semacam ini melahirkan dialog,
urun rembug, atau yang sejenis. Padahal sopan santun demikian sangat diutamakan dalam tatanan demokrasi Pancasila kita. Kalau saja dialog sempat terjadi maka itu tak lebih dari letusan kata-kata yang sering dianggap belum patut didengar rakyat. Maka para “pengunjuk rasa” model inipun lalu sulit dikompetensikan sebagai wakil rakyat yang membawa suara rakyat.

Memasuki analogi-analogi demikian, di mana rakyat dan wakil rakyat menjadi tak terukur, tak terjamah, serta nyaris menjadi abstrak. Masakkan mau meniru Raja Perancis Louis XIV yang mengkonkretkannya dengan deklarasi “saya adalah negara”, lalu menyulut Revolusi Perancis. Dengan analogi yang sama kita lalu mengatakan, “saya adalah Sulut, kami adalah Sulut, atau karena saya Sulut berhasil”, dan yang sejenis dengan itu.

Maka seruan yang dilengkingkan Max Wilar, “suara rakyat adalah suara Allah”, walau cukup membangunkan bulu roma mereka yang beriman kepadaNya, mungkin adalah jawab yang pas dan aman bagi semua pihak. Maka jika ingin bertanya sosok idaman seorang gubernur. Tanyakanlah kepada Allah. Sebab jauh lebih mudah bertanya kepadaNya, ketimbang menelusuri jalan dan lorong untuk menanyai segala orang yang tinggal di Sulut. Dan jangan sekali-kali pergi kepada para alim ulama, sebab mereka pun belum tentu kredibel sebagai pembawa suara Allah. Lantaran - konon - ada juga satu dua dari mereka yang p
ang bagila.

Demikian pula, jika ingin menanyakan apakah suara
the angry young man - suara amarah – Julius Satyadarma Undap dan kawan-kawan, atau pernyataan 30 kelompok masyarakat pendukung gubernur adalah suara rakyat, tanyakanlah kepada Dia, Allah Yang Maha Kuasa. Ia pasti memberi jawab yang sungguh dan benar bagi semua pertanyaan kita. Ya Allah, tolonglah Sulawesi Utara !#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar