Kamis, 24 Juni 2010

13. PUJI TUHAN, MINAHASA !

Willy H. Rawung
MANADO POST 23 Desember 1992

“PUJI TUHAN!”, kata Max Wilar ketika mendengar berita proses pemilihan Karel Senduk sebagai Bupati Minahasa 1992-1997 memancarkan fenomena baru : lancar, mulus dan tertib. Puja-puji kepada Tuhan memang seharusnya selalu diungkapkan terhadap segala apapun yang terjadi di bumi Lumimuut-Toar. Baik dalam masa-masa kesusahan mapun sukacita. Namun kali ini rasa hati memuji Dia memang agak berbeda, sebab dikhususkan bagi
aufklarung (pencerahan) kembali tatanan nilai luhur budaya Minahasa. Yang secara pas direfleksikan oleh DPRD Minahasa saat memilih Bupati yang baru. Tempat, dimana tatanan nilai warisan leluhur mulai menjadi acuan, memberi jawab dan menunjuk jalan bagi komunikasi aspirasi (baca : hati nurani) antara rakyat dengan para wakilnya di DPRD.

TERBUKA EGALITER, DEMOKRATIS

Tak syak lagi penilaian tentang perilaku terbuka, sebagai refleksi tatanan nilai demokrasi egaliter manusia Minahasa - yang dalam pemahaman tertentu - dikuatirkan menjadi sumber distorsi bila kepemimpinan tidak berada di tangan kokoh kuat dan keras, telah terjawab tuntas dan pas dalam persidangan pemilihan Bupati yang - kita percaya - berlangsung dalam batas-batas mekanisme demokrasi Pancasila.

Memang, sewaktu hegemoni Barat menyentuh bumi Lumimuut-Toar, mereka menemukan daerah yang terdiri dari pakasaan-pakasaan yang berserikat dan menamakan diri
Mina’esa atau Se Mina’esa. Kata yang dituliskan keliru sebagai Min’hasa, oleh Residen Schirstein (1789). Min’hasa tidak dipergunakan untuk membahasakan nama masing-masing pakasaan. Tetapi nama dari lembaga adat, musyawarah, konvensi adat, yang dilakukan untuk memecahkan persoalan dan pertikaian internal antar pakasaan, atau untuk menghimpun seluruh pakasaan guna melawan musuh. Seperti terlihat saat mengambil keputusan memasuki Perang Tondano (1808-1809).

Dalam artikel “Budaya Minahasa tidak mengenal Dikotomi Sipil-ABRI” dan "Min’hasa an Jakarta” (Manado Post, 5/12), penulis telah mencoba menjelaskan status dan fungsi
Min’hasa dalam tatanan kuno. Mengapa? Lantaran belum terlihat sumber lain untuk memahami tatanan nilai - yang selalu disebut egaliter, terbuka demokratis itu - selain dari menganalisanya dalam mekanisme lembaga yang disebut Min’hasa. Sejauh ini, hanya lembaga itu yang mampu bertutur perihal tatanan nilai, pola berpikir, perilaku dan – katakanlah - sikap politik masyarakat Minahasa. Yang menilik perilaku masyarakat di akhir abad XX ini nampaknya tidak banyak tergerus erosi budaya Barat.

MIN’HASA IDENTIK DENGAN MUSYAWARAH

Seperti dipahami,
pakasaan ialah kesatuan masyarakat berdasar garis keturunan. Terdiri dari keluarga (taranak) yang bertempat tinggal terbesar di pelbagai desa (roong, banua, wanua). Sebagai kesatuan masyarakat hukum, pemimpinnya disebut kepala wangko, kepala im balak atau kepala walak, yang dipilih dari “akka im banua” (kepala desa, banua, ro’ong). VOC dan Hindia Belanda membahasakannya sebagai “regent” atau Hukum Tua (Oud Hukum), sementara para pembantunya disebut Pakeno Tua (Dr.FN. Stapel : Corpus Diplomaticum Nederland Indicum 1726-1752, seperti dikutip Eddy Mambu SH dalam “Pantang menyerah”, makalah seminar Perang Tondano, YKM Jakarta 1986).

Dibanding tatanan pemerintahan tetangga-tetangga Minahasa di mana Belanda hanya perlu membuat kontrak denga raja yang memerintah. Maka khusus bagi Minahasa, Robertus Padrugge, Gubernur Maluku (1679), harus mengundang seluruh kepala
walak untuk membuat kontrak dengan Min’hasa. Hal serupa dilakukan Salmon Lesage (1696-1700) saat mengusulkan pembaharuan verbond (kontrak) baru. Belanda maklum benar, Minahasa tidak akan pernah mengakui bahkan sebaliknya akan melawan bila suatu verbond tidak diratifikasi (disahkan) oleh Min’hasa.

Itu memang tinggal sejarah. Namun tatanan nilai yang ditinggalkannya, egaliter dan demokratis, yang selama beradab-abad memberi harmoni dalam kehidupan manusia Minahasa masih tetap tertinggal, tertanam, belum terhapus dan justru tetap menjadi jatidiri manusia Minahasa. Kendati kebudayaan Barat telah membawa perubahan-perubahan namun pengaruhnya tidak seperti yang diduga selama ini. “Transformasi kebudayaan - khususnya penerimaan agama kristen dan penetrasi peradaban barat - ditambah lagi dengan partisipasi dalam tentara dan birokrasi pemerintah kolonial sejak abad XIX telah memberi kesan kepada Belanda dan masyarakat non-Minahasa lainnya seakan-akan rakyat Minahasa loyal kepada Belanda. Malahan ada ungkapan yang mengatakan daerah ini sebagai “propinsi ke-12” dari Kerajaan Belanda. Padahal seorang sejarahan Belanda menyatakan bahwa dalam banyak hal, hanya satu segi saja dari citra Minahasa dan penduduknya yang dikenal di negeri Belanda : “citra mitos tentang loyalitas yang mapan dan abadi, “the myth of their long estabilished and enduring loyality” . Lagi pula,
in reality, Minahasan often expressed in their attitude and actions and avowed rejection of the Dutch measures, although never used form of arm revolt. The most frequently used form or resistance was non cooperation (or in Minnehaha terms, mirage, maraud), but especially later in the 19th century Minahasans showed hat they had to use a weapon which the Dutch themselves had delivered to them : Literacy” (Patuleia-Schorten, 1978 seperti dikutip AB Lapian).

Nyatalah, manusia Minahasa tetap bertahan dengan tatanan yang diwariskan
Min’hasa. Perilaku demokrasi egaliter tetap hidup, kendati menghadapi hempasan budaya barat dan tekanan senjata. Dengan - seperti dikutip di atas - mentransformasikan tatanan demokrasi egaliternya dalam bentuk perilaku nonkoperasi (tidak mau bekerja-sama, anti partisipasi), yang dalam istilah tipikal Minahasa disebut “maraju”. “Maraju” menjadi mekanisme - senjata - untuk melawan keputusan-keputusan kolonial yang tidak disepakati Min’hasa. Mekanisme alamiah - sebut saja begitu - terjadi, sebab manusia Minahasa - oleh karena warisan tatanan nilai luhur - hanya mampu berpartisipasi, mendukung dan bekerjasama manakala hal itu ditetapkan dalam musyawarah yang demokratis dan egaliter, seperti dalam mekanisme Min’hasa.

Pada akhir abad XIX perlawanan terhadap penumpasan tatanan
Min’hasa oleh kolonial ditampilkan dengan sikap kesadaran baru. Yakni ketika para cerdik cendekia mentransformasikan senjata “maraju” tersebut menjadi upaya keras mempelajari ilmu pengetahuan Barat. Para nenek moyang kita agaknya sadar bahwa dengan senjata yang dipergunakan Belanda untuk mengalahkan Minahasa itulah tatanan nilai, jati diri Min’hasa dapat dipertahankan. Dan para ilmuwan mencatat, saking cepat dan mulusnya manusia Minahasa mempelajari - kadang-kadang “menelan” mentah-mentah – ilmu pengetahuan, religi, perilaku modern, seperti dansa dansi dan busana Barat. Sempat timbul prasangka yang yang oleh sejarawan Belanda dianggap tidak obyektif, bahwa manusia Minahasa telah sangat kebarat-baratan dibanding saudara-saudaranya di Nusantara.

Dari visi ketatanegaraan,
Min’hasa justru mendapat lahan pesemaian dalam tatanan Barat, yang kian subur manakala ia disemaikan dalam tatanan demokrasi Pancasila. Dapat dimengerti mengapa tatanan Min’hasa justru menjadi kian subur dalam tatanan demokrasi Pancasila, sebab dalam yang satu ini, demokrasi Pancasila, sebenarya telah memiliki akarnya dalam tatanan nilai budaya nasional, dimana Min’hasa menjadi salah bagiannya.

“ROH” MIN’HASA

Itulah sebabnya mensyukuri persidangan memilih bupati oleh DPRD kali ini agak terasa berbeda. Kali ini ada segenggam sukacita sebab “roh Min’hasa” telah mendapat peluang bersemai kembali di lembaga legislatif kabupaten Minahasa. “Roh" yang merevisi "kesepakatan DPRD 30 September 1992”, membuat pengambilan keputusan berjalan lancar, mulus, tertib dan – nyaris "sempurna”. “Roh” yang memberi jiwa besar kepada Letkol Herman Lengkong Kaunang, kandidat yang populer itu, untuk memberi peluang kepada keempat fraksi memilih calon masing-masing secara bebas.

Sudah barang tentu, “roh Min’hasa” itu juga yang membuat Kolonel Johan Otto Bolang - Bupati Minahasa yang sukses itu - membuktikan kepada kita bahwa ia adalah seorang
patu’usan (teladan). Waraney Minahasa itu telah menciptakan suasana batin bagi tatanan nilai “Si Tou Timou Tumou Tou” dan etos “Baku Beking Pande” bagi melicinkan suksesi kepada bupati baru, yang notabene adalah pula seorang pemimpin Min’hasa dan seorang Ketua Majelis Kebudayaan Minahasa yang baru.

Kita percaya - dibalik itu semua - Gubernur CJ Rantung adalah tokoh utama yang menangkap, mendorong dan memperjuangkan “roh
Min’hasa” sebagai acuan tatanan nilai dalam perangkat birokrasi dan elit politik, agar aspirasi dan hati nurani rakyat Minahasa mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Semua pemberian bagi pencerahan Min’hasa itu, bak mengabsahkan seruan Max Wilar : berpolitiklah dalam kemuliaan kebudayaan.

Maka mulai Januari 1993 mendatang, batu ujianpun akan mulai menghadang “roh
Min’hasa”. Apakah duet Senduk-Pangaila (Ketua DPRD) akan menjadi duet harmonis dalam “roh” itu, semuanya berpulang pada kita semua, masyarakat Kawanua, baik di Minahasa maupun di rantau. Sebab dalam tatanan yang tidak mengenal “lone ranger” (pejuang sendirian) ini semua pihak harus bekerjasama saling mendukung. So nimbole ada yang maraju. Demikian pula halnya dengan keluarga KL Senduk-Hermanus sendiri. Apa boleh buat, sebagai bagian dari masyarakat yang egaliter, demokratis dan terbuka, ibu Olly Senduk-Hermanus, serta anak-anak Didi, Carol dan Bart, tentu mesti menjadi patu’usan meski hal itu sungguh tanggungan beban moril, moral dan mental yang lumayan berat. Tapi inilah pengorbanan keluarga yang memang wajib diberikan. Tidak saja kepada Pak Bupati, tetapi - terutama - bagi rakyat Minahasa.

Selamat bekerja dalam selamat berjuang bersama rakyat Minahasa.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar