Selasa, 15 Juni 2010

2. MANUSIA MINAHASA

Oleh Willy H. Rawung
CAHAYA SIANG 19 SEPTEMBER 1990


AWAL 1989 di Balai Sidang Jakarta diselenggarakan Pekan Seni Rakyat Minahasa(PSRM) yang dianggap sebagai apresiasi Yayasan Kebudayaan Minahasa (YKM) dalam menggali dan menalarkan serat-serat budaya Minahasa dalam konteks peradaban Indonesia.

Dalam “acara bacirita budaya" - semacam sarasehan - yang diadakan dalam Pekan tersebut, tampil ke permukaan suatu aspek yang cukup menarik, yakni pembahasan tentang Manusia Minahasa. Bagaimana kiranya sosok Manusia Minahasa yang hendak dibahas itu ? Apakah itu suatu pembahasan mengenai
materialisasi archais tentang legenda Toar dan Lumimuut yang menurut cerita turun temurun adalah konon asal muasal Manusia Minahasa? Atau suatu Manusia Minahasa yang mengalami proses baru setelah masuknya agama Kristen dan Katolik yang kelak menjadi sistem kepercayaan dominan di bumi Manusia itu?

Lalu, muncullah banyak pertanyaan kritis. Seperti, mungkinkah Manusia Minahasa itu berurat akar pada zaman Perunggu dari Asia Tenggara dengan gaya lokal Indocina 750 SM-100 M (gaya Dongsong) atau akhir zaman Perunggu awal dari Cina Utara 1700-1100 SM? Ataukah, manusia Minahasa berakar pada zaman Pasifik Kuno dari Asia Timur 3000 SM, atau bahkan pada masa sebelumnya yang diwujudkan oleh kesamaan konsep dasar “hockers” ambang pintu dari batu di Gajarmarguilla, Peru atau seperti keserupaan sebuah
piktograf dari Venezuela dengan Waruga yang terletak di beberapa tempat di Minahasa?

Ada lagi yang terungkap, misalnya, apakah Dongson, Chou maupun Pasifik Kuno telah memberikan andil tertentu sehingga muncul karakteristik tertentu kepada Manusia Minahasa, maka ia mempunyai
biopatron sama dengan orang Cina atau orang-orang dari kawasan Indocina? Ataukah justru pengaruh Pasifik Kuno, sehingga ada persamaan antara Waruga dan ‘hocker’? Karena itukah ada sebuah negara bernama Vanuatu di kawasan Pasifik yang dalam bahasa Toumbulu sama dengan wanua-tu atau wanua-ku yang pengertiannya kurang lebih : “tanah air kita”?

Kalau demikian, kini kita boleh mengusulkan pertanyaan kepada para pakar. Apakah karena itu lalu ada puncak-puncak kebudayaan Minahasa yang layak diperbandingkan dengan berbagai daerah lain di Indonesia? Maengket, Cakalele, Kolintang adalah kesenian khas Minahasa. Apakah itu dapat disebut sebagai puncak kebudayaan Minahasa?

Tapi, mengapa lalu Minahasa tidak memiliki penulis atau pelukis besar pada zaman di belakang kita, yang – kalau pernah hadir dalam pentas sejarah - tentu memberikan warna khas kepada peradaban Manusia Minahasa? Sebaliknya, mengapa kesenian Minahasa cenderung terkikis habis, bila dibandingkan dengan berbagai daerah lain di Indonesia seperti di Jawa dan Bali, misalnya?
Sebuah - bahkan beberapa Pekan Seni - mungkin belum mampu menjawabnya. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar