Kamis, 01 Mei 2014

Pos Ketiga: Amurang

Abineno, Dr. J.L. Ch. 1978. Sejarah Apostolat di Indonesia II/1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 103-105

Di atas telah kita katakan, bahwa dari 2 pendeta-sending yang diutus Kam ke Minahasa pada tahun 1835, Hermann ditempatkan di Amurang, suatu Jemaat yang cukup besar (dengan 700 anggota), tetapi yang sangat terlantar: banyak anggotanya hidup "di luar nikah". Kemudian keadaan itu berangsur-angsur berobah: pemborosan untuk pesta-pesta makin berkurang, jumlah anggota-anggota Jemaat, yang minta supaya nikah mereka diberkati, makin besar, pendidikan di sekolah-sekolah mulai dihargai, dan lain-lain.
Waktu Van Rhijn berada di Amurang, ia banyak mengadakan pembicaraan dengan Hermann tentang dialek-dialek Minahasa. Menurut Hermann dialek-dialek Minahasa dapat dikembalikan pada 3 dialek utama, yaitu: dialek Tonsea, Tondano dan Amurang. Ia sendiri menganggap dialek Amurang lebih penting dari pada kedua dialek yang lain. Sejak tahun 1848 ia telah mulai berkhotbah dan mengajar dalam dialek itu. Sayang sekali, bahwa ia lekas meninggal (1851). Tetapi setahun sesudah itu Injil Matius, yang ia terjemahkan dalam dialek Amurang, diterbitkan oleh Lembaga Alkitab di Betawi (**Coolsma, a.w., blz. 574)
Ia digantikan oleh pendeta-sending Van der Velde van Capellen. Pekerjaan yang ditinggallan Hermann - 9 Jemaat (dengan kira-kira 2500 anggota) dan 14 sekolah (dengan 1318 murid) - coba diperkembangkannya dengan jalan: mempersiapkan pembantu-pembantu pribumi, mengadakan semacam katekisasi-sidi di rumahnya, dan secara teratur mengunjungi Jemaat-jemaat di luar Amurang. Tetapi oleh kematiannya yang mendadak (1856) - karena serangan penyakit tiphus - usahanya itu terhenti. Penggantinya, pendeta-sending Tindeloo, tidak begitu senang bekerja di Amurang. Alasannya: dari 1100 anggota Jemaat di situ hanya kira-kira 120 orang saja yang mengunjungi kebaktian-kebaktian. Memang keadaan Jemaat-jemaat di luar Amurang sedikit lebih baik, tetapi sikap bermusuhan dari kontrolir di Amurang tidak menyenangkannya. Karena itu ketika isterinya meninggal (**Isterinya adalah anak perempuan Riedel.), ia minta dipindahkan ke Tonsea. (**Tidak lama sesudah itu ia kawin lagi dengan anak perempuan Wilken.)
Jemaat Amurang dan Jemaat-jemaat lain di sekitarnya pada waktu itu mempunyai kira-kira 6000 anggota dan 22 buah sekolah (dengan 1500 murid).
Pendeta-sending Van de Liefde diutus ke situ sebagai penggantinya. Ia juga mula-mula banyak mendapat kesulitan dari residen Bosch, yang berusaha menghidupkan kembali tarian-tarian kafir dan yang mengancam kepala-kepala desa dengan hukuman, kalau mereka berani menentang usahanya itu. Tetapi kemudian, sesudah Bosch dipecat, situasi berangsur-angsur menjadi baik kembali. Pada tahun 1864 ia pergi bercuti ke Belanda. Berhubung dengan kematian isterinya (**Ia meninggal di kapal, ketika mereka berada dalam perjalanan mereka ke Belanda), ia baru kembali delapan tahun kemudian (1872) ke Amurang. Pekerjaannya sejak itu berjalan dengan baik. Waktu Jemaat-jemaat di Amurang dan sekitarnya diambil-alih oleh G.P.I. (1879), ia diangkat menjadi pendeta-pembantu. (**Bnd antara lain Verslag van den staat der gemeenten onder Amoerang-Januari 1865 (dalam: Mededeelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), oleh C.J. van de Liefde, 1866, blz. 139-153.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar