Kamis, 24 Juni 2010

13. PUJI TUHAN, MINAHASA !

Willy H. Rawung
MANADO POST 23 Desember 1992

“PUJI TUHAN!”, kata Max Wilar ketika mendengar berita proses pemilihan Karel Senduk sebagai Bupati Minahasa 1992-1997 memancarkan fenomena baru : lancar, mulus dan tertib. Puja-puji kepada Tuhan memang seharusnya selalu diungkapkan terhadap segala apapun yang terjadi di bumi Lumimuut-Toar. Baik dalam masa-masa kesusahan mapun sukacita. Namun kali ini rasa hati memuji Dia memang agak berbeda, sebab dikhususkan bagi
aufklarung (pencerahan) kembali tatanan nilai luhur budaya Minahasa. Yang secara pas direfleksikan oleh DPRD Minahasa saat memilih Bupati yang baru. Tempat, dimana tatanan nilai warisan leluhur mulai menjadi acuan, memberi jawab dan menunjuk jalan bagi komunikasi aspirasi (baca : hati nurani) antara rakyat dengan para wakilnya di DPRD.

TERBUKA EGALITER, DEMOKRATIS

Tak syak lagi penilaian tentang perilaku terbuka, sebagai refleksi tatanan nilai demokrasi egaliter manusia Minahasa - yang dalam pemahaman tertentu - dikuatirkan menjadi sumber distorsi bila kepemimpinan tidak berada di tangan kokoh kuat dan keras, telah terjawab tuntas dan pas dalam persidangan pemilihan Bupati yang - kita percaya - berlangsung dalam batas-batas mekanisme demokrasi Pancasila.

Memang, sewaktu hegemoni Barat menyentuh bumi Lumimuut-Toar, mereka menemukan daerah yang terdiri dari pakasaan-pakasaan yang berserikat dan menamakan diri
Mina’esa atau Se Mina’esa. Kata yang dituliskan keliru sebagai Min’hasa, oleh Residen Schirstein (1789). Min’hasa tidak dipergunakan untuk membahasakan nama masing-masing pakasaan. Tetapi nama dari lembaga adat, musyawarah, konvensi adat, yang dilakukan untuk memecahkan persoalan dan pertikaian internal antar pakasaan, atau untuk menghimpun seluruh pakasaan guna melawan musuh. Seperti terlihat saat mengambil keputusan memasuki Perang Tondano (1808-1809).

Dalam artikel “Budaya Minahasa tidak mengenal Dikotomi Sipil-ABRI” dan "Min’hasa an Jakarta” (Manado Post, 5/12), penulis telah mencoba menjelaskan status dan fungsi
Min’hasa dalam tatanan kuno. Mengapa? Lantaran belum terlihat sumber lain untuk memahami tatanan nilai - yang selalu disebut egaliter, terbuka demokratis itu - selain dari menganalisanya dalam mekanisme lembaga yang disebut Min’hasa. Sejauh ini, hanya lembaga itu yang mampu bertutur perihal tatanan nilai, pola berpikir, perilaku dan – katakanlah - sikap politik masyarakat Minahasa. Yang menilik perilaku masyarakat di akhir abad XX ini nampaknya tidak banyak tergerus erosi budaya Barat.

MIN’HASA IDENTIK DENGAN MUSYAWARAH

Seperti dipahami,
pakasaan ialah kesatuan masyarakat berdasar garis keturunan. Terdiri dari keluarga (taranak) yang bertempat tinggal terbesar di pelbagai desa (roong, banua, wanua). Sebagai kesatuan masyarakat hukum, pemimpinnya disebut kepala wangko, kepala im balak atau kepala walak, yang dipilih dari “akka im banua” (kepala desa, banua, ro’ong). VOC dan Hindia Belanda membahasakannya sebagai “regent” atau Hukum Tua (Oud Hukum), sementara para pembantunya disebut Pakeno Tua (Dr.FN. Stapel : Corpus Diplomaticum Nederland Indicum 1726-1752, seperti dikutip Eddy Mambu SH dalam “Pantang menyerah”, makalah seminar Perang Tondano, YKM Jakarta 1986).

Dibanding tatanan pemerintahan tetangga-tetangga Minahasa di mana Belanda hanya perlu membuat kontrak denga raja yang memerintah. Maka khusus bagi Minahasa, Robertus Padrugge, Gubernur Maluku (1679), harus mengundang seluruh kepala
walak untuk membuat kontrak dengan Min’hasa. Hal serupa dilakukan Salmon Lesage (1696-1700) saat mengusulkan pembaharuan verbond (kontrak) baru. Belanda maklum benar, Minahasa tidak akan pernah mengakui bahkan sebaliknya akan melawan bila suatu verbond tidak diratifikasi (disahkan) oleh Min’hasa.

Itu memang tinggal sejarah. Namun tatanan nilai yang ditinggalkannya, egaliter dan demokratis, yang selama beradab-abad memberi harmoni dalam kehidupan manusia Minahasa masih tetap tertinggal, tertanam, belum terhapus dan justru tetap menjadi jatidiri manusia Minahasa. Kendati kebudayaan Barat telah membawa perubahan-perubahan namun pengaruhnya tidak seperti yang diduga selama ini. “Transformasi kebudayaan - khususnya penerimaan agama kristen dan penetrasi peradaban barat - ditambah lagi dengan partisipasi dalam tentara dan birokrasi pemerintah kolonial sejak abad XIX telah memberi kesan kepada Belanda dan masyarakat non-Minahasa lainnya seakan-akan rakyat Minahasa loyal kepada Belanda. Malahan ada ungkapan yang mengatakan daerah ini sebagai “propinsi ke-12” dari Kerajaan Belanda. Padahal seorang sejarahan Belanda menyatakan bahwa dalam banyak hal, hanya satu segi saja dari citra Minahasa dan penduduknya yang dikenal di negeri Belanda : “citra mitos tentang loyalitas yang mapan dan abadi, “the myth of their long estabilished and enduring loyality” . Lagi pula,
in reality, Minahasan often expressed in their attitude and actions and avowed rejection of the Dutch measures, although never used form of arm revolt. The most frequently used form or resistance was non cooperation (or in Minnehaha terms, mirage, maraud), but especially later in the 19th century Minahasans showed hat they had to use a weapon which the Dutch themselves had delivered to them : Literacy” (Patuleia-Schorten, 1978 seperti dikutip AB Lapian).

Nyatalah, manusia Minahasa tetap bertahan dengan tatanan yang diwariskan
Min’hasa. Perilaku demokrasi egaliter tetap hidup, kendati menghadapi hempasan budaya barat dan tekanan senjata. Dengan - seperti dikutip di atas - mentransformasikan tatanan demokrasi egaliternya dalam bentuk perilaku nonkoperasi (tidak mau bekerja-sama, anti partisipasi), yang dalam istilah tipikal Minahasa disebut “maraju”. “Maraju” menjadi mekanisme - senjata - untuk melawan keputusan-keputusan kolonial yang tidak disepakati Min’hasa. Mekanisme alamiah - sebut saja begitu - terjadi, sebab manusia Minahasa - oleh karena warisan tatanan nilai luhur - hanya mampu berpartisipasi, mendukung dan bekerjasama manakala hal itu ditetapkan dalam musyawarah yang demokratis dan egaliter, seperti dalam mekanisme Min’hasa.

Pada akhir abad XIX perlawanan terhadap penumpasan tatanan
Min’hasa oleh kolonial ditampilkan dengan sikap kesadaran baru. Yakni ketika para cerdik cendekia mentransformasikan senjata “maraju” tersebut menjadi upaya keras mempelajari ilmu pengetahuan Barat. Para nenek moyang kita agaknya sadar bahwa dengan senjata yang dipergunakan Belanda untuk mengalahkan Minahasa itulah tatanan nilai, jati diri Min’hasa dapat dipertahankan. Dan para ilmuwan mencatat, saking cepat dan mulusnya manusia Minahasa mempelajari - kadang-kadang “menelan” mentah-mentah – ilmu pengetahuan, religi, perilaku modern, seperti dansa dansi dan busana Barat. Sempat timbul prasangka yang yang oleh sejarawan Belanda dianggap tidak obyektif, bahwa manusia Minahasa telah sangat kebarat-baratan dibanding saudara-saudaranya di Nusantara.

Dari visi ketatanegaraan,
Min’hasa justru mendapat lahan pesemaian dalam tatanan Barat, yang kian subur manakala ia disemaikan dalam tatanan demokrasi Pancasila. Dapat dimengerti mengapa tatanan Min’hasa justru menjadi kian subur dalam tatanan demokrasi Pancasila, sebab dalam yang satu ini, demokrasi Pancasila, sebenarya telah memiliki akarnya dalam tatanan nilai budaya nasional, dimana Min’hasa menjadi salah bagiannya.

“ROH” MIN’HASA

Itulah sebabnya mensyukuri persidangan memilih bupati oleh DPRD kali ini agak terasa berbeda. Kali ini ada segenggam sukacita sebab “roh Min’hasa” telah mendapat peluang bersemai kembali di lembaga legislatif kabupaten Minahasa. “Roh" yang merevisi "kesepakatan DPRD 30 September 1992”, membuat pengambilan keputusan berjalan lancar, mulus, tertib dan – nyaris "sempurna”. “Roh” yang memberi jiwa besar kepada Letkol Herman Lengkong Kaunang, kandidat yang populer itu, untuk memberi peluang kepada keempat fraksi memilih calon masing-masing secara bebas.

Sudah barang tentu, “roh Min’hasa” itu juga yang membuat Kolonel Johan Otto Bolang - Bupati Minahasa yang sukses itu - membuktikan kepada kita bahwa ia adalah seorang
patu’usan (teladan). Waraney Minahasa itu telah menciptakan suasana batin bagi tatanan nilai “Si Tou Timou Tumou Tou” dan etos “Baku Beking Pande” bagi melicinkan suksesi kepada bupati baru, yang notabene adalah pula seorang pemimpin Min’hasa dan seorang Ketua Majelis Kebudayaan Minahasa yang baru.

Kita percaya - dibalik itu semua - Gubernur CJ Rantung adalah tokoh utama yang menangkap, mendorong dan memperjuangkan “roh
Min’hasa” sebagai acuan tatanan nilai dalam perangkat birokrasi dan elit politik, agar aspirasi dan hati nurani rakyat Minahasa mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Semua pemberian bagi pencerahan Min’hasa itu, bak mengabsahkan seruan Max Wilar : berpolitiklah dalam kemuliaan kebudayaan.

Maka mulai Januari 1993 mendatang, batu ujianpun akan mulai menghadang “roh
Min’hasa”. Apakah duet Senduk-Pangaila (Ketua DPRD) akan menjadi duet harmonis dalam “roh” itu, semuanya berpulang pada kita semua, masyarakat Kawanua, baik di Minahasa maupun di rantau. Sebab dalam tatanan yang tidak mengenal “lone ranger” (pejuang sendirian) ini semua pihak harus bekerjasama saling mendukung. So nimbole ada yang maraju. Demikian pula halnya dengan keluarga KL Senduk-Hermanus sendiri. Apa boleh buat, sebagai bagian dari masyarakat yang egaliter, demokratis dan terbuka, ibu Olly Senduk-Hermanus, serta anak-anak Didi, Carol dan Bart, tentu mesti menjadi patu’usan meski hal itu sungguh tanggungan beban moril, moral dan mental yang lumayan berat. Tapi inilah pengorbanan keluarga yang memang wajib diberikan. Tidak saja kepada Pak Bupati, tetapi - terutama - bagi rakyat Minahasa.

Selamat bekerja dalam selamat berjuang bersama rakyat Minahasa.#

12. KNPI SULUT, MEMORI TUTUP TAHUN

Willy H. Rawung
MANADO POST 21 Desember 1992

KESEMPATAN memahami KNPI lebih mendalam saya peroleh saat menjadi editor buku “14 Tahun KNPI, Memperkuat Komitmen Pemuda Dalam Mengembangkan Wawasan Demi Kesinambungan Orde Baru“ (DPP KNPI-Deppen RI,1987). Dalam tugas yang memerlukan serangkaian diskusi dengan beberapa menteri kabinet, para pendiri, aktivis, DPD I – DPD II beberapa daerah, pengertian saya tentang eksistensi dan subtansi organisasi pemuda nonprimordial ini lumayan diperkaya sumber-sumber formal dan kompeten.

Persahabatan saya dengan beberapa Ketua DPD I KNPI Sulut seperti Lona Lengkong, Wimpie Frederick, Daniel Masengi, Jul Undap, Elisa Regar dan perkenalan saya dengan Rio Sumual, ketua yang baru, membuat saya terundang untuk sedikit memberi memori penutup tahun atas kiprah KNPI Sulut, baik dalam konteks peran nasional maupun peran daerah dari organisasi produk orde baru ini.

BUBAR ATAU JALAN TERUS

Gelombang besar dan kuat dari beberapa OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) Yogya, yang menyampaikan petisi pembubaran KNPI. Serta desakan serius Kongres HMI baru-baru ini agar KNPI segera kembali kepada “khittah” Deklarasi Pemuda 23 Juli 1993 seyogianya tidak ditanggapi pasif, semisal anak-anak menonton tayangan “Berpacu Dalam Melodi”” TVRI Pusat. Meski petisi-petisi sejenis tak henti menerpa sejak KNPI dilahirkan, namun tekanan nampak kian potensial. Bukan sebab meningkatnya kualitas dan derajat tekanan - tetapi harus diakui - lebih diakibatkan melemahnya kepemimpinan KNPI dibanding periode-periode sebelumnya.

Menghadapi hadangan ini, sikap skeptis apatis mesti disingkirkan. Sementara kegiatan dan penampilan harus lebih disepadankan dengan substansi ide dasar Deklarasi Pemuda 1973, Pemufakatan Pemuda Indonesia 1987, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Bab GBHN menyangkut KNPI, UU No. 8/1985 dan Permendagri No. 5/1986.

Memori ini perlu berulang kali dituliskan, lantaran tatanan formal tersebut sering diabaikan para fungsionaris KNPI dengan melakukan segala kiprah yang bertentangan dengannya. Kiprah, yang bahkan sebaliknya memberi peluang hadirnya anasir-anasir penggoyah sendi-sendi keutuhan tatanan kepemudaan. Padahal tatanan itu telah bersusah payah dibina dan ditegakan dalam organisasi yang diakui sebagai satu-satunya wadah efektif bagi kaderisasi dan komunikasi pemuda Indonesia.
Sebagai “Parlemen Pemuda” – istilah Dr. Midian Sirait salah satu pendiri KNPI - pengabaian terhadap tatanan formal oleh Ketua DPD KNPI misalnya, justru mendorong beberapa OKP di daerah lebih suka membubarkan saja organisasi sebab dijalankan berlawanan dengan ide dasarnya itu.

Sebab itu memori kali ini terutama ditujukan kepada KNPI daerah yang kerap kali begitu berani mengabaikan ide dasar karena “vested interest” sesaat dari para fungsionaris yang didorong kepentingan situasional semata. Imbauan Kongres HMI misalnya, perlu diwaspadai, sebab membidik akar dan pokok soal utama terjadinya pengabaian ide dasar. Yang dalam memori saya, KNPI Sulut termasuk dalam salah satu contoh kasus yang dimaksud. Di mana sadar atau tidak telah melakukan hal klasik penyebab petisi pembubaran KNPI. Yakni, dengan melibatkan diri secara teknis dan langsung ke dalam masalah krisis kepemimpinan birokrasi.

Lepas dari sikap pro kontra terhadap masalah krisis kepemimpinan tersebut, pengabaian terhadap ide dasar terjadi pada pernyataan-pernyataan dalam media cetak yang ditebar Rio Sumual dalam kapasitas sebagai Ketua DPD I KNPI – implisit - untuk dan atas nama seluruh Pemuda Sulut. Pelencengan menjadi sangat terang benderang saat
patu’usan (teladan) nomor satu organisasi pemuda Sulut ini memimpin langsung serombongan kelompok masyarakat menemui para pejabat pemerintah di Jakarta dan KKK.

BUKAN PERANGKAT POLITIK PRAKTIS

Sepanjang pemahaman saya, KNPI tidak pernah dirancang sebagai perangkat keras murah meriah panggung politik praktis seperti itu. Ia dilahirkan untuk pembinaan nilai-nilai substansial dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Makanya KNPI dimasukan dalam GBHN bersama OSIS, Pramuka dan Karang Taruna.
Sebab itu memanfaatkan organisasi kepe-mudaan yang strategis itu demi kepentingan permainan politik praktis tak lebih dari lelucon yang merugikan misi dan citra KNPI sendiri. Kendati KNPI Sulut memang tidak sendirian dalam hak aksi plesetan
(tapalisi) itu lantaran rekan-rekannya di Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara juga terpeleset pada saat yang sama.

Saya bisa memahami jika seandainya soal sejenis dilakukan AMPI Sulut, yang memang dikiprah sebagai salah satu wadah pembinaan kader politik Golkar. Tetapi KNPI, yang secara substansial berbeda dengan AMPI, GAMKI, GMKI, Pemuda Demokrat, HMI, GP ANSOR, Pemuda Pancasila dan seterusnya?. Mengerjakan pekerjaan rumah orang lain adalah – ibarat kata pepatah “jauh panggang dari api”. Sementara prioritas kegiatan justru enggan dikerjakan.

Contohnya, setelah 19 tahun berdiri sedikit saja dari puluhan juta generasi muda sempat mengenal apa dan sedang berpengapa KNPI dalam tatanan kepemudaan. Akses kepemudaannya kian rapuh, sehingga jangan Bung bertanya apakah puluhan juta pemuda mengetahui siapa ketua umum organisasi ini. Atau bertanya pada ratusan ribu pemuda Sulut, siapa ketua DPD I KNPI sekarang. Jangan-jangan mereka hanya akan menyebut Jul “buldozer” Undap – sang mantan – yang lantaran kelewat vokal membidik birokrasi daerah, rajin diwartakan para jurnalis.

KEGIATAN SUBSTANSIAL

Menyangkut kegiatan substansial, memori saya menemukan banyak hal yang semestinya dikerjakan. Sedemikian banyak hingga seharusnya tiada akan cukup waktu dan kesempatan untuk berkiprah lain. Manakala KNPI Sulut merelevansikan sedikit saja ide dasar dan substansi yang diamanatkan GBHN kepadanya, saya yakin Rio Sumual dan para fungsionaris mampu mencegah lahirnya “kelompok 10 Jul Undap”. Tidak dalam bentuk kontra aksi tetapi dengan mengantisipasinya dengan dialog, musyawarah dengan para mantan (kader) KNPI Sulut. Sebab bukankah Jul Undap, Wimpie Frederick, dan beberapa nama yang dominan disebut dalam kasus pelecehan tatanan moral, serta kasus pelecehan nama baik birokrasi daerah, adalah para mantan ketua DPD I, mantan aktivis dan mantan fungsionaris. Sehingga sesungguhnya jalan perdamaian, jalan rekonsiliasi, jalan kemanusiaan, sangat mungkin ditempuh.

MENGAPA JALAN KEMANUSIAAN?

Pertama. Bertolak dari substasi yang dituju GBHN, maka KNPI Sulut adalah produk masyarakat, juga produk elit politik dan produk birokrasi. Karenanya adalah tidak adil bila kita memberi judgement (penghakiman) terhadap tokoh-tokoh pemuda, semisal Jul Undap, Wimpie Frederick dan Rio Sumual saja. Kekeliruannya adalah pada kita semua, yang sadar atau tidak, telah menciptakan tatanan nilai dan suasana batin bagi lahirnya masalah-masalah sekitar pengabaian ide dasar oleh KNPI Sulut. Kelemahan anak-anak muda ini cermin kelemahan kita semua. Baik kelemahan masyarakat, kelemahan elit politik, maupun kelemahan birokrasi daerah.

Kedua. Ada kehendak kuat agar pemuda-pemuda Sulut mengantisipasi peran nasionalnya, bak peran “Bandaneira“ Sutan Syahrir. Sebab justru pada situasi kini, saat masyarakat dan bangsa sedang mengalami sedikit distorsi dalam kerukunan antar umat beragama, SARA, dan lain-lain. Kita perlu mendorong pemuda-pemuda bumi Nyiur Melambai menampilkan sosok-sosok cendekia emansipatorik. Menjadi “Sam Ratulangi, Maramis, Nani Wartabone, Santiago” baru. Yang membawa panji-panji penolakan atas sederet nafsu jahat yang mau menguntungi kelompok sendiri, kepentingan sendiri, ego sendiri. Lalu tetap tulus dan jujur mengajak mencintai sesama, lepas dari batas-batas apakah dia ini Islam, Kristen, Minahasa, Gorontalo, Bolaang Mongondow atau Satal. Dengan meletakannya dalam ruang segar nan damai, penghargaan sesama yaitu “kami Bangsa Indonesia”.
Sebab itu kita akan rindu sekali melihat Rio Sumual dan KNPI Sulut melepas sikap pemihakan, lalu mengantisipasi rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang bertikai, sambil tetap waspada untuk tidak terseret kedalam arus pertikaian itu. “Tiada gading yang tak retak”, kata pepatah. Saya berharap dengan berperilaku emansipatorik, Rio Sumual dan kawan-kawan sefungsionaris mampu mengemban kepercayaan rakyat yang secara tulus memperkenankan KNPI menjadi bagian dari GBHN. Sudah barang tentu, kerinduan ini akan lebih bermakna, manakala masyarakat, elit politik dan birokrasi berkenan menngkondisikan pula tatanan dan suasana batin, bagi pengejawantahan substansi KNPI ini.

Dalam suasana Natal, saya yakin kita sepakat untuk merefleksikan satu hal : apa yang mustahil bagi manusia, mungkin bagi Tuhan. Selamat Natal dan Selamat Tahun Baru 1993. #

11. “BINTANG” DAN “JASA”

Willy H. Rawung
MANADO POST 16 Desember 1992

DI TENGAH keriuhan dan berduyunnya orang-orang mengurus surat pengakuan sebagai veteran perang kemerdekaan, ayah hanya berdiam saja. Mantan pemimpin Lasykar Rakyat di desa itu tetap tak beranjak, meski rekan-rekan seperjuangan dan mantan anak buahnya datang mendesak. Ibu memberitahu mereka bahwa ayah tidak mau mengurus surat semacam itu lantaran ia kecewa berat.
Ia sulit menerima kenyataan melihat banyak mantan musuh Republik - orang-orang yang prokolonial Belanda - tiba-tiba sudah menyandang gelar veteran. Ia tahu benar, beberapa “veteran” yang dengan pongah berkisah tentang jasa-jasa kepada Republik, adalah mereka yang dulu justeru sering meleceh, “Huh, sedang
bekeng potlod nintau, kong lei mo malawang pa Walanda” (membuat pinsil saja tak mampu, bagaimana pula melawan Belanda).

Mereka memang belum termasuk kategori pengkhianat. Tapi sikap mereka saat masa-masa berjuang yang lebih memilih berkolaborasi dengan penjajah telah menorehkan luka mendalam di hati ayah, sang pejuang yang antikolaborasi. Dan dapat dibayangkan, betapa sakit hatinya patriot desa itu ketika seusai perang melihat para “pahlawan-pahlawan kesiangan” itu petantang-petenteng dengan “surat pengakuan veteran” bak patriot sejati.

Itulah sebabnya saat jenazah ayahanda pada beberapa tahun lalu dipindahkan dari pemakaman umum Menteng Pulo Jakarta ke desa kelahirannya, dengan segan aku mendengar pembacaan riwayat hidup beliau oleh rekan-rekan seperjuangannya, yang merasa memerlukan melakukan hal itu di hadapan keranda. Aku segan, lantaran sampai akhir hayat, ia tidak pernah mau tahu lagi dengan segala hal yang menyangkut keveteranan.

Sikap keras cenderung puritan tersebut lama baru aku pahami. Aku sadar, bahwa sikap demikian bukan hanya milik beliau seorang. Ribuan, ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan pejuang sungguhan merasa terluka dan kecewa dengan kehadiran pejuang-pejuang imitasi. Kekerasan hati dan penderitaan selama masa-masa perjuangan membuat mereka sulit menerima suatu realita baru, yang bernama rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang tidak lagi mengdikotomikan antara pejuang anti Belanda dengan yang propenjajah Belanda itu tiada lain dimaksud untuk melancarkan proses
nation & character building menuju keutuhan dan kekokohan sebagai bangsa dan negara baru yang bernama Negara Kesatuan RI. Suatu realita yang memunculkan peluang dari mereka yang tadinya sangat prokolonial Belanda untuk “bertransformasi” menjadi patriot.

Pada era pasca revolusi kemerdekaan, realitas demikian banyak terkisah pada cerpen, novel, koran, majalah, sebagai kisah-kisah romantisme sejarah. Almarhum Usmar Ismail - tokoh perfilman nasional - banyak membuat film dengan tema demikian : patriot sejati menyembunyikan jasa dan nama, sementara patriot imitasi mendapat fasilitas, pahala, kekayaan, populer dan bintang jasa.

Kasus perburuan komisi Haji Achmad Thahir sebesar US$. 78 juta (160 milya rupiah) antara Nyonya Kartika isteri kedua Thahir, dengan anak-anak dari isteri pertamanya, segera saja membangkitkan rasa romantisme sejarah. Penyandang bintang jasa Bintang Gerilya tersebut demikian kaya raya. Isteri kedua yang gagal menguasai harta negara sebesar Rp. 160 milyar tersebut sudah lebih dulu menarik deposito sebesar US$. 40 juta (90 milyar rupiah) dari rekening The Hongkong & Shanghai Bank di Singapura yang menjadi milik pahlawan yang dimakamkan di Taman Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata itu. Bahkan tanpa malu-malu, “isteri idaman Thahir” itu menyatakan bahwa uang haram itu diperoleh dari komisi yang diberikan sejumlah perusahaan asing pemenang tender proyek di lingkungan Pertamina kepada suaminya, sang pahlawan nan kusuma bangsa itu.

Kita tidak tahu berapa besar sebenarnya kekayaan yang ditumpuk “sang patriot” selama hidupnya. Kita juga tidak tahu, apakah keserakahan Thahir mengeduk uang komisi sebab kepiawaian isteri keduanya, atau memang ia sendiri cukup profesional untuk hal demikian. Lantaran, mantan komandan TNI Sumatera itu juga didakwa sebagai pernah melarikan uang dan emas milik rakyat Aceh, yang tidak pernah dikembalikan sampai akhir hayatnya (Prof. Ali Hasymi, ketua MUI Aceh, Suara Karya 7/12).

Tidak perlu dijelaskan lagi betapa dengan kasus komisi yang disidangkan bertahun-tahun di Pengadilan (High Court) Singapura, “sang patriot sejati“ ini sudah mempermalukan bangsa dan negara di dunia internasional. Mempermalukan dan melecehkan para pahlawan sungguhan. Mempermalukan rekan-rekan seperjuangan baik yang masih hidup maupun yang telah berpulang. Mempermalukan para patriot sejati penerima bintang gerilya. Nila setitik ini memang jauh dari merusak susu sebelanga, namun nila ini sungguh sangat menyakitkan hari nurani para pejuang sungguhan.

Pencabutan tanda jasa ialah wewenang Presiden, kata Menko Polkam Sudomo sebagai Ketua Umum Dewan Tanda-Tanda Kehormatan RI. Hal mana pernah dilakukan terhadap DN Aidit sang gembong PKI, karena terbukti melakukan kedeta. Namun terhadap Thahir, lantaran ia keburu mati, tetap berhak disemayamkan di bawah pohon rindangnya TMPN Kalibata. Karena ia tidak pernah diadili dan dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana oleh pengadilan, maka secara hukum, harta karun Thahir dari hasil komisi memang belum tentu terbukti sebagai hasil korupsi. Dan karena negara kita adalah negara hukum, siapapun dilarang menyatakan seseorang bersalah kecuali pengadilan menyatakannya. Tetapi dalam masyarakat, “vonis kesalahan” yang terberat adalah yang dijatuhkan oleh hati nurani masyarakat, seperti ditulis Suara Karya 7/12 : “Apalah artinya itu semua, kalau kemudian terbukti bahwa jasad yang berbaring di TMPN itu ternyata melakukan tindakan yang merugikan negara. Masih adakah kebanggaan itu. Apa artinya status kepahlawanan, kalau kemudian digugat masyarakat karena perbuatan sang tokoh yang memalukan?”

Kata-kata bijak ini tidak hanya relevan bagi almarhum Thahir. Itu berlaku juga sebagai peringatan kepada siapapun penyandang tanda jasa. Apa artinya bintang gerilya, apa makna bintang mahaputera, jika sebab kurang hati-hati melangkah, lalu nama keluarga, nama anak cucu, mesti tercemar. Apa guna harta, kekayaan dan pangkat, jika pulang di kampung halaman pun hati tak tentram lagi.

Maka tetaplah tulus, tetaplah jujur, setialah terus, di dalam keluhuran hati nurani rakyat, engkau wahai kusuma bangsa. Supaya status sebagai penyandang bintang gerilya atau bintang mahaputera tetap dihargai masyarakat dan bangsa.#

Selasa, 22 Juni 2010

10. DISPOSISI ATAS PENSWASTAAN TNL BUNAKEN

Willy H. Rawung
MANADO POST 10 Desember 1992

SEUMUR hidup baru sekali saya beroleh kesempatan berharga mengunjungi Taman Nasional Laut (TNL) Bunaken. Itupun hanya beberapa jam, saat bersama Bung Cosmas Batubara, Bung Eric Samola dan artis-artis ibukota memenuhi undangan Gubernur CJ Rantung melepas lelah di tengah kesibukan kampanye pemilu 1987. Kesan para jurkam ketika itu sama dengan siapa pun yang pernah melihat TNL Bunaken. Sungguh luar biasa, fantastik, karya Ilahi yang keindahan dan keunikannya bak tak mampu ditulis sejuta kata.

Maka kendati pengalaman penulis dalam berbisnis tidak lebih dari kepiawaian orang sekampung di desa Paku Ure, Minahasa Selatan sana, namun membaca berita-berita media perihal penswastaan TNL Bunaken yang adalah titipan sementara dari anak cucu kepada kita, keras juga niat menuliskan disposisi atas niat dagang yang sedang dilangsungkan pemda tersebut.

Sudah barang tentu disposisi penulis tidak sama sebangun dengan coretan pena birokrasi dan anggota DPRD di atas surat permohonan kontraktor yang meminta penswastaan. Lantaran disposisi ini dipengaruhi tema klasik para ahli teologi, yang sering memilih lebih aman mengkhotbah ketimbang memperjuangkan : “Demi keutuhan ciptaanNya”. Serta didorong konsistensi untuk ikut menyemangati era keterbukaan yang menjadi roh zaman ini. Roh komunikasi dan globalisasi. Roh yang mengucap ucapan selamat tinggal pada kebodohan akibat kegelapan informasi.

Pada galibnya penswastaan harta milik negara dan rakyat membuktikan bahwa pemda tidak sanggup atau tidak mengutamakan lagi obyek pariwisata yang menginternasional itu dalam kocek anggarannya. Atau bisa juga birokrasi sudah pusing tujuh keliling, tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan terhadap mahakarya itu. Lalu dari pada sakit kepala terus-terusan, coba mengambil jalan pintas sekaligus ikut berlatah ria : penswastaan ! Kemana, ya kepada pihak swasta yang memiliki kemampuan, yang dipercaya lebih solid, lebih piawai, baik menyangkut permodalan, personil, kesadaran lingkungan, dan lain-lain.

Itulah sebabnya disposisi penulis akan lebih berkait erat dengan keingintahuan tentang sejauh mana sih kelebihan-kelebihan mitra dagang pemda tersebut, menurut acuan di bawah ini.

Pertama, penswastaan harta milik negara – sejenis TNL Bunaken – mesti transaksi transparan (tembus pandang). Latar belakang apa dan mengapanya diungkapkan terbuka kepada masyarakat luas. Keterbukaan tidak sebatas sampai ke tingkat DPRD dan birokrasi semata. Agar “pengawasan melekat” tidak saja dilakukan birokrasi, tetapi ditang-gungjawabkan pula kepada masyarakat, semisal LSM, KNPI, dan seterusnya. Sebab itu bentuk dan isi kontrak dengan perusahaan yang kejatuhan rezeki itu pun perlu di-palakat-kan. Dijelaskan terus terang apa jenisnya : BOT (Build, Operate & Transfer), BOOT (Build, Own, Operate & Transfer), kontrak manajemen, sejenis kontrak perusahaan retribusi parkir, kontrak perusahaan “cetak jual sobek karcis”, atau bagaimana. Dengan mengetahui jenis kontrak, kualitas kontraktor serta ruang lingkup hak dan kewajiban, kita dapat memahami luasnya sepak terjang sang pengusaha. Sebab mana tahu tiba-tiba TNL Bunaken disulap menjadi “lokalisasi WTS terselubung” lantaran dimungkinkan dalam kontrak. Maaf saja, di tengah keriuhan berita-berita pers perihal degradasi moral petinggi Sulut akhir-akhir ini, kekuatiran semacam itu selalu membayang. Apalagi demi promosi dan pemasaran, iklan sejenis sun-sand-sex (matahari-pasir pantai-seks) secara munafik selalu menyelimuti bisnis pariwisata.

Kedua, anatomi perusahaan itu - meminjam istilah Christianto Wibisono - harus ditransparankan kepada masyarakat. Jika prosesnya melalui tender terbuka, company data, profil dan likuiditas perusahaan bersangkutan mudah terdeteksi. Namun karena tender dilupakan atau memang ada peluang yuridis untuk tidak ditender, maka masyarakat pun tak bisa maklum, apakah sang kontraktor sekelas perusahaan “cleaning service”, “perusahaan catering”, “perusahaan perparkiran”, “PT Akta Notaris”, atau memang sejenis perusahaan hebat yang berinduk pada korporasi konglomerat tertentu dan berakses kuat dengan para bankir. Ditambah gelapnya siapa-siapa profesional yang akan mengelola TNL Bunaken dan remang-remangnya indentitas pakar yang menjadi konsultan, kitapun kian tak tahu lagi apa dan siapa ge-rangan sang kontraktor.
Proporsal,
prestudy - syukur-syukur – studi kelayakan haruslah pula dibeberkan secara terbuka. Supaya semua maklum akan bernasib apa kelak karya Allah itu setelah diserahkan kepada kontraktor. Struktur modalnya pun mesti disingkap. Kendati perseroan komanditer (CV) itu masih jauh perjalanan dari kelas perusahaan publik (public company). Namun sebab harta negara dan rakyat menjadi taruhan. Wajiblah ia membuktikan berapa cash in hand, berapa equity, berapa loan, DER (Debt to equity Ratio), Cash Flow dan seterusnya, untuk dinilai likuid atau tidaknya perusahaan itu sebagai mitra dagang pemerintah.
Disposisi ini memerlukan pula data tentang berapa laba bersih perusahaan pada lima tahun terakhir. Berapa besar pajak yang telah disetor ke kas daerah dan kas negara. Dan apakah ia termasuk dalam daftar pembayar pajak yang baik, atau malah masuk
black list.
Jawaban atas disposisi di atas mesti benar dan jujur,
nimbole putar bale. Sebab demikianlah bisnis, apabila menyangkut harta negara dan rakyat, bonafitas dan likuiditas mesti terbaca dalam angka-angka. Bukan dinilai dari sedan Baby Benz, BMW yang dikendarai dan luksnya kantor perusahaan yang full AC, serta tidak pula dipengaruhi oleh siapa-siapa petinggi yang berlindung di belakang perusahaan.
Mengapa? Pameo manajemen mengatakan “if you spent peanuts, you got monkey”
(kalu tuang kase keluar biaya cuma kacang-kacang, tuang cuma dapat yaki - terjemahan bebas). Di Taipei, seorang Cina pernah menasehati penulis, ‘syarat keberhasilan dagang adalah uang, uang, uang dan sekali lagi uang ! Tidak ada syarat lain, selain uang”. Inilah kerasnya realita norma dunia bisnis. Maka besarnya investasi dan modal kerja sang kontraktor perlu dimaklumatkan. Agar anggapan bahwa kontrak tersebut hanya akan menjadi referensi pinjaman modal kerja dari bank dapat dibuang jauh-jauh.
Publik perlu pula mendapat informasi sejelasnya sudah berapa lama usia perusahaan kontraktor kita. Apakah sebelumnya sudah – sedang - memiliki basis bisnis (
main business) yang kokoh, sehingga TNL Bunaken ialah pilihan diversifikasi usaha. Atau apakah kontrak ini merupakan bisnis perdana dan kelak akan menjadi basis satu-satunya ? Lalu, siapa-siapa saja gerangan para pemegang sahamnya. Apakah mereka kredibel untuk memberi personal guarantee. Bukan apa-apa, syarat ini dimaksud untuk mendapat keyakinan bahwa pemda tidak sedang berdagang dengan pemula, coba-coba latah, miskin modal, nihil profesionalitas manajemen dan yang sejenisnya.
Pengalaman tragedi KUD Inspirasi yang sarat air mata, pengorbanan moral, moril, materil dan melukai hati jemaat GMIM, mesti ditekadkan tidak boleh terulang. Lantaran yang demikian ini dengan gampang pasti diterkam hukum bisnis, pontang-panting dan bangkrut ! Pokoknya terang benderangnya informasi, mesti sejernih “akuarium alam” TNL Bunaken. Sebab bukankah Alkitab menulis “akar kejahatan adalah uang“, sehingga profil moral para pemegang sahamnya pun perlu pula disimak.

Ketiga, dalam kontrak bisnis yang wajar dan profesional berlaku kelaziman pemberian garansi. Maka demi menjaga kelestarian TNL Bunaken, pihak kontraktor mestinya diwajibkan memberi bank garansi senilai - misalnya - sepuluh milyar rupiah kepada pemda. Maaf kepada LSM Sulut, jumlah ini kacang-kacang sekali dibanding harta yang dipercayakan kepadanya. Tapi dengan jaminan ini, “torang bekeng berikade karang buatan” kepada pihak kontraktor, supaya tidak berani-berani merusak TNL Bunaken. Kalau sampai terjadi, garansi - atau agunannya - dapat segera dicairkan untuk memperbaiki cagar bahari tersebut. Coba bayangkan bila tidak ada jaminan. Dengan mudah saja peristiwa lari sipat kucing dapat berlaku. Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab kepada para anak cucu. Maaf sekali lagi maaf. Jangan ibu kontraktor merasa dilecehkan. Bisnis adalah bisnis. Normanya jelas, tidak percaya dulu satu dengan lainnya. Karena bukankah kontrak diperlukan sebab memang sulit saling percaya.

Keempat, substansi penswastaan adalah bisnis semata. Maka tiada guna menggunakan tatanan lain sebagai timbangan selain dacin bisnis. Untuk itu pemda sebagai pelaku bisnis mesti segera mengangkat para profesional sebaga supervisor (pengawas). Dan alangkah baiknya untuk tanggung jawab ini, pakar-pakar dan aktifis LSM diikutsertakan. Supaya kepentingan bisnis pemda benar-benar berjalan sesuai kontrak dan TNL Bunaken terjaga kelestariannya. Jelas pemda tidak memiliki kualitas birokrasi profesional yang diperlukan untuk itu. Maka silahkan menunjuk konsultan bisnis piawai di bidangnya. Jangan tunjung pande, sebab kalau memang memiliki profesional, mustahil TNL Bunaken mesti diswastakan.

Adalah tidak adil jika disposisi ini tidak diolah dalam etos
baku beking pande. Maka tiada salahnya pada akhir disposisi ini sekadar sumbang saran perlu disampaikan kepada ibu kontraktor. Pandanglah pengungkapan anatomi perusahaan kepada masyarakat luas sebagai kiat bisnis. Bukankah dengan pengungkapan ini, popularitas perusahaan menjadi meningkat, iklan dan promosi diperoleh “gratis”. Lalu dengan tanpa menyewa PR Manager handal, citra perusahaan menjadi baik. Lalu ekornya kelak akan berakibat positif pada promosi, pemasaran dan “penjualan” TNL Bunaken. Kita rasanya sudah sama-sama tahu bahwa dengan mengungkap anatomi perusahaan kepada publik, penampilan high profit yang juga menjadi kiat bisnis pariwisata akan berjalan mulus.#

9. “MIN’HASA AN JAKARTA”

Oleh Willy H. Rawung
MANADO POST 5 DESEMBER 1992

Sa Cita Esa, Telu Cita
Sa Cita Telu, Esa Cita

(Pepatah Minahasa, terjemahan bebas : “Kalau kita bersatu, tiga jualah kita. Kendati kita tiga, bersatu jualah kita”).

Dalam tatanan Minahasa kuno bila terjadi pertikaian antara para walak atau ukung, maka diadakan musyawarah adat yang dihadiri seluruh walak dan ukung dari seantero wilayah. oleh Residen Schierstein (1789), konferensi itu disebut
Min’hasa . Pada abad XIX ketika istilah ini berkembang menjadi Minahasa, maknanya ikut berubah menjadi sebutan teritorial untuk seluruh distrik (pakasaan).

Selama berabad-abad sebelumnya, mekanisme demokrasi dalam konvensi
Min’hasa selalu mampu dengan tuntas menyelesaikan pertikaian antara kepala walak. Membuat kehidupan kuno Minahasa tetap terjaga dalam harmoni antara sesama insan, antara insan dan alam, dan antar insan dengan Ilahi. Suatu tatanan yang kelak dengan mulus menghantar Minahasa memasuki tatanan Demokrasi Pancasila yang kita miliki saat ini.

Dalam Min’hasa tiada dikenal kelompok-kelompok “presure group” (group penekan), “macht vorming” (pemupukan kekuatan), dan “macht anwending” (pemanfaatan kekuatan). Kata-kata celaka yang adik kandung politik “devide et impera” (adu domba dan kuasai) ini ialah perangkat kerja (tools) dari apa yang kini dikenal sebagai “politik praktis”. Yang sejak perang Tondano telah digunakan Belanda untuk melumpuhkan Minahasa dengan menimbulkan korban jiwa, harta dan nilai-nilai budaya yang tiada tara.

Sementara pada era Orde Lama, kelompok yang piawai memainkan perankat ini ialah kaum komunis. Baik yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun ormas-ormas resmi dan “siluman” yang bernaung di bawahnya. Dengan bentuk yang dapat diidentifikasi dari akumulasi kegiatan insinuasi, propaganda, fitnah, pembunuhan,
putar bale sampai pada seperangkat tindak kriminal yang berpuncak pada petualangan G-30S-PKI.

Bahwasanya kemenangan Orde Baru berhasil menuntaskan pemusnahan tatanan asing itu, tidak hanya disebabkan teguhnya pilar-pilar perangkat keras Rakyat-ABRI semata. Namun, terutama beralaskan pada kokohnya tatanan nilai budaya dan tatanan nilai religi yang berakar kuat dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Musnahnya komunisme di Indonesia adalah bukti sejarah yang paling kuat tentang keabsahan dan kebenaran tatanan nilai budaya bangsa. Suatu tatanan yang merupakan puncak-puncak (highlights) tatanan-tatanan nilai yang tersebar di seantero bumi Nusantara, di mana tatanan nilai budaya Minahasa termasuk di dalamnya.

Sebab itu siapapun pemain dan pelaku politik praktis, selalu kita ingat-ingatkan agar berjiwa Pancasilais dan mendasari kegiatannya pada tatanan Demokrasi Pancasila, yang akarnya adalah musyawarah yang bertumbuh dari keluhuran budaya bangsa sendiri.

Masalahnya kini mampukah tatanan
Min’hasa menyelesaikan tuntas kemelut politik praktis, seperti solusi yang selalu dihasilkan musyawarah adat itu dalam tatanan Minahasa kuna? Meski jawab atas berhasil tidaknya masih ditunggu, namun pertemuan yang dilakukan KKK (Kerukunan Keluarga Kawanua) Jakarta, 25 November lalu, bolehlah disebut sebagai upaya mendekati substansi Min’hasa. Sebab itu saya rindu sekali menabalkan pertemuan itu sebagai Min’hasa an Jakarta (musyawarah para “wa-lak” dan “ukung” di Jakarta).

Seperti diketahui, 11 November lalu Manado diguncang pernyataan sekelompok masyarakat yang menamakan diri “Barisan Keprihatinan” pimpinan Ir. Julius Satya-darma Undap, mantan ketua DPD I KNPI Sulut. Isi pernyataan kurang lebih sama dengan apa yang diberitakan media cetak Jakarta (Tempo 5/12 dan Forum Keadilan 10/12). Bahwa konon yang dimaksud telah - ya Allah, ampunilah kami – mencabut
“tu’ur tawa’ang (pohon pembatas) yang melindungi rumah tangga teman lama saya, Bung Wimpie Frederick, mantan Ketua DPD I KNPI Sulut. Tercabutnya “tawa’ang” itu konon juga sudah sampai berakibat mengganggu kelancaran pembangunan daerah, tidak berperilaku sebagai patu’usan (teladan) serta merusak wibawa pimpinan daerah.

Pernyataan yang semula disampaikan dalam kemasan tertutup kepada DPRD Sulut tersebut - anehnya - bocor ke tangan para jurnalis dan esoknya mulai menghiasi halaman koran Jakarta. Maka dapat diduga hal itu segera saja mencetuskan kontra pernyataan dukungan kepada Rantung dari berbagai kelompok masyarakat seperti yang dimotori Ir. Rio Sumual, Ketua DPD I KNPI. Rio membidik seniornya Jul Undap dan kelompoknya sebagai juga “pelaku pencabutan tu’ur tawa’ang yang lain”, yang membatasi tatanan mekanisne demokrasi Pancasila. Pencabutan "tawa’ang" mana - konon - telah menimbulkan keresahan rakyat, merongrong kepemimpinan gubernur serta menimbulkan kelabilan dalam ketahanan daerah.

“Pertikaian antara para ukung” - dengan sedih saya mengatakannya begitu - ternyata hanya tertunda sebentar. Sebab kedua pihak segera membawa "tawa’ang" yang dipertikaikan ke ibukota. Dan untuk pertama kali dalam sejarah kekawanua-an, sambil menemui pejabat-pejabat pusat seperti Mendagri dan Pangab, para "ukung" yang berseteru itu membawa perseteruan "ta-wa'ang" itu kepada konvensi “Min’hasa an Jakarta” yang dipimpin Dewan Pembina KKK- antara lain mantan gubernur Sulut, GH Mantik, dan Willy Lasut GA, mantan kepala Opstibpus EY Kanter dan Ketua Dewan Pengurus HN Sumual (Bung Vence).
Dorang samua datang ba klak menjelaskan pokok soal dan sikap masing-masing. Agar para tona’as dan masyarakat Kawanua di Jakarta dapat ikut menanggapi dan membantu menyelesaikan masalah yang dipertikaikan.

Sebelum tinggal landas dari bandar udara Sam Ratulangi, “tambor perang pernyataan” di koran-koran daerah dan Jakarta telah ditabuh bertalu-talu. Sampai-sampai, “Korang beking malu pa torang. Rupa mengabsahkan pelecehan stereotip negatif wanita Minahasa”, kata Hana Gultom dengan getir. Hanna mahasiswa FISIP–UI yang aktifis PAMMI (Persaudaraan Mahasiswa Minahasa di Jakarta) adalah gadis belia yang terlahir dari kesucian rahim perempuan taranak Taroreh.

Apa boleh buat, saya ter[aksa sesekali menggunakan kias budaya dan gaya euphemistik dalam menuliskan pokok soal yang diperseterukan. Soalnya - diluar estimasi - para tokoh petikai tampil secara amat santun. Selama berlangsungnya "konvensi Min’hasa", para “walak” dan “ukung” berpidato dalam kata-kata manis baik, bak insan-insan yang suka barang baik. Saking sopan dan berbudaya, nyaris tidak menyinggung soal mendasar. Padahal justru soal mendasar itulah yang mendorong mereka berbondong-bondong ke Jakarta walau mesti menghabiskan ongkos berjuta-juta rupiah.

Bahkan seusai "Min’hasa", ketika terlibat percakapan akrab segitiga penuh baku sedu dengan ketua delegasi kelompok Rio, sahabat saya Jopie Belung (mantan Komandan KOAM-Komando Operasi Anti Amoral semasa KAPPI, 1966) dan Philip Pantouw, kesan persaudaran dan persahabatan terasa sangat kental. Padahal di lapangan, Jopie dan Philip berada pada dua pihak yang saling berseteru. Kalau sudah begini, pernyataan perseteruan antara kedua belah pihak di media-media cetak yang kadang menyesak dada sidang pembaca pastilah bumbu politik praktis semata. Kasihan rakyat Sulut - sidang pembaca terluas dari pertikaian ini - yang jika tidak waspada mungkin masih dirundung prihatin. Lantaran menduga putra-putra mereka hidup dalam kebencian dan dendam kesumat.

Sudah barang tentu KKK bukan badan arbitrase. Maka menjatuhkan
judgement (penghakiman) adalah jauh dari hak dan wewenangnya. Ia bukan pula lembaga adat model kuna, sebagaimana sering digelar di Watu Pinawetengan dan di delta Minawanua. Sebab itu menjelang kata-kata para tonaas terucapkan, tidak ada babi disembelih. Tidak ada ritual raba-meraba hati hewan untuk mengetahui apakah mengidap tumor, kanker - bukan kantong kering - atau sehat walafiat.
Meski simbol dan acuan adat ini telah hilang, tidak berarti musyawarah “nyanda dapa senter” apakah pihak Jul Undap berhati bersih atau benarkah pihak Rio berhati mulus. Tidak pula dilakukan sumpah adat sebagaimana dilakukan pada Min’hasa yang sesungguhnya. Sebab pada zaman serba canggih ini, hati babi dan sumpah adat telah kehilangan daya magis, seperti kutukan, misalnya. Setelah lebih dari seabad lampau para leluhur menemukan realitas baru sebagai pengganti, yakni terang religi dan iman kepada Allah serta pola pikir pragmatis.

Maka kendati tak lagi ada simbol-simbol adat itu, para “ukung” dari Manado yang bertikai soal cabut-mencabut "tu’ur tawa’ang" tekun mendengar wajangan para "tona’as". Walau ada juga yang tampak berupaya keras memasang raut wajah mahal senyum.

Akhirnya sesudah masing-masing pihak dipersilakan bicara sekali saja, mereka pun diminta segera pulang kampung. Dengan pesan berdiam dirilah dulu, beri kesempatan dan ciptakan kondisi yang mantap, agar aparat pemerintah dapat menyelesaikan masalah dengan sebaik-baiknya. Pelihara persatuan dan kesatuan secara lebih bertanggung jawab. Jangan sekali-kali bertindak “tumoktok tou”, sekalipun demi eksistensi “tawa’ang” masing-masing.

Mengapa berakhir demikian? Untuk solusi pertikaian antara para taranak, ukung, walak dan pakasaan, konvensi Min’hasa memang tidak mengenal penabalan pemenang sebagai penakluk dan yang kalah sebagai tertakluk. Kita akan lelah mencari khasanah kata-kata “penjajah”, “terjajah”, “penakluk”, “tertakluk” dan yang sejenis dalam bahasa Minahasa. Akan siasia pula mencari fakta, apakah salah satu walak atau salah satu pakasaan pernah menjajah atau terjajah oleh walak atau pakasaan lain.

Namun hal itu tentu tidak bermakna adanya pengabsahan, sikap permisif dan sikap mendua bagi hal-hal kriminal - atau dalam kasus ini - "pencabutan tawa’ang". Min’hasa, sebagai lembaga “management of crisis” dipercayai mutlak sebagai pencari jalan terbaik. Kebenaran yang dipancarkannya berwibawa sebab bersifat hakiki. Relevan dengan kearifan Mahatma Gandhi, “tidak ada kebenaran utuh, selain serpihan-serpihan kebenaran, yang dilihat dari ketidakutuhan sudut pandang”.

Maka jika para ukung dan walak yang bertikai datang sendiri ke Jakarta dengan muatan kesadaran budaya demi mencari solusi terbaik, itulah fenomena – dan langkah monumental – yang memaknakan peluang bagi kian bercahayanya pencerahan budaya Minahasa.

Semoga analisis ini tidak keliru. Sehingga pertanyaan otoritik Bung Vence Sumual saat membuka Min’hasa : “apa yang salah
pa to rang (what’s wrong with us)?", tidak perlu jauh-jauh mencarinya.#

8. INSIDEN TELUK BETUNG

Willy H. Rawung
MANADO POST 26 NOVEMBER 1992

JAKARTA, 14 Februari 1972. Hari menjelang malam. Sebuah mobil VW Kombi putih perlahan-lahan meninggalkan Asrama Putri Menteng 36 di bilangan Jalan Menteng Raya. Beberapa anak muda duduk berdesakan di dalamnya. Pemiliknya Josi Katoppo di belakang setir. Didekatnya duduk Jeanne Mambu dan Yuyu Mandagie. Di dua bangku belakang, Theo Sambuaga, Max Wilar, Herman Mosal, George Warouw, Ferdinand Pandey, Lexy Abuthan dan Willy Rawung. Selang limabelas menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar di Jalan Teluk Betung No. Para penumpang belum ada yang turun, memasang mata saling berbisik. Dari jendela mobil nampak pemilik rumah, Brigjen TNI Hein Victor Worang, Gubernur Sulawesi Utara, sedang berbincang dengan Laksamana Pertama John Lie (Jahja Daniel Dharma) di beranda depan.

“Ayo turun “ kata Max. Kontan semua berhambur keluar. Theo dan Max berjalan di depan, sementara lainnya menguntit dari belakang. Theo mendekat berhadapan dengan tuan rumah, memberi salam dan menyatakan maksud kedatangan rombongan. Sebelum Theo menyelesaikan kalimatnya, Worang dengan garang langsung menghardik, “Ini rumah jenderal.
Kalu mo baku dapa nanti di kantor perwakilan. Ini kita pe rumah”. Dan tibatiba, “Buk !”, “Ado !” Semua terkejut, termasuk John Lie. Ternyata Max Wilar telah terkena pukulan gagang pistol. Ia melorot dan terjerembab mencium tanah. Di dekatnya berdiri seorang pengawal pribadi Worang. Dengan muka beringas mengokang pistol bak gorela Jan Timbuleng, mengarahkan moncongnya ke arah kumpulan anak-anak muda tadi.

Max pingsan. Untung pukulan telak sang pengawal belum sempat mengirimnya ke akhirat. Maka tanpa meladeni lagi sumpah serapah yang masih bersemburan dari mulut sang gubernur, acungan pistol ajudan dan ucap-ucap menyabarkan dari John Lie, rombongan langsung bubar. Kembali menuju pondokan Max dan Herman, asrama Sekolah Tinggi Teologia di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi). Tak lama kemudian John Lie datang dengan
jeep Gaz. Laksamana yang arif ini langsung membawa Max ke RSAL Bendungan Hilir. Menurut dokter ia perlu diopname. Tetapi si penakut jarum suntik itu hanya dapat betah semalam. Esoknya ia kabur pulang ke asrama.

Sementara itu para putri yang ikut malam itu mendatangi Polsek Menteng mengadukan tindak kriminal Worang. Tapi polisi menolak dan menyarankan untuk melapor langsung ke Skogar. Soalnya sang pelaku kriminal adalah oknum ABRI. Polisi jelas sungkan, sebab mungkin ini hal pertama kali dalam riwayat seorang gubernur yang jenderal didakwa sebagai pelaku kriminal. Jadi ada bedanya sedikit dengan gerakan Undap. Jika pada 1972 para anak muda melaporkan gubernurnya ke polisi sebagai pelaku kriminal, maka dalam gerakan Undap justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Kejadian ini adalah puncak dari konfrontasi yang terus menerus terjadi antara IPMMD (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Djakarta) dengan gubernur yang memerintah di kampung halaman anak-anak muda itu. Pasalnya, Worang didakwa sejak menjadi gubernur sangat nepotis, anarki, anti demokrasi. Kesenangannya disapa “jenderal” sebagai pengganti “pak gubernur” juga diprotes lantaran dianggap kelewat arogan. Kendati ia jenderal pertama di Mi-nahasa. Sampai-sampai anak-anak muda itu menjulukinya Gubernur Jenderal abad ke XX. Dan yang membuat mereka tidak sabar sampai harus mendatangi rumahnya ialah saat Worang mendukung program pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dengan bersedia membangun paviliun Sulut di kompleks tersebut. Mereka berpendapat Sulawesi Utara masih terlalu miskin untuk proyek elit semacam itu dan mendesak Worang agar menggunakan uang tersebut bagi kesejahteraan rakyat di daerah. Sebab anak-anak muda itu tahu bahwa dibalik sikap Worang tersembunyi maksud untuk menduduki jabatan keduakalinya.

17 Februari 1972, harian KAMI dalam Pojok Demonstran menulis, “Max Wilar dipukul Adjudan Gubernur Hein Victor Worang dengan pistol, hingga terpaksa masuk Rumahsakit. Itu masih bagus njong. Kalau di Manado sana, ngana so mati djo, en tra ada jang ribut” (ejaan lama, Pen.). Dan dalam berita 24 Februari 1972, harian itu memberitakan lengkap peristiwa tersebut dibawah judul “Insiden Teluk Betung ”.

Sudah tentu sesuai kelaziman saat itu harian KAMI yang memuat berita semacam itu tidak akan pernah tiba di Sulut. Harian malang itu sudah terlebih dahulu dibreidel (diberangus) dan menjadi "almarhum" di bandar udara Sam Ratulangi. Dibeli borongan oleh birokrasi, untuk tidak mengata-kannya sebagai "black out a la market fprce". Hal yang biasa diberlakukan pada penerbitan manapun yang mencoba mengunjang-ganjingkan kedudukan Worang. Sementara pers daerah dapat dimaklumi, menyiarkan berita berat sebelah yang intinya menyatakan para pelaku "Insiden Teluk Betung" tidak lebih dari "sampah masyarakat" yang harus dijauhi dan katanya-katanya tidak boleh dipercaya.

Max Wilar dan Herman Mosal memang sebelumnya sudah diincar. Soalnya duet mahasiswa calon pendeta ini getol menyebar pamflet di arena pertemuan sehari sebelumnya di aula Paldam Kwitang, saat Worang menyampaikan pidato kepada warga Sulut di Jakarta menjelang akhir jabatannya yang pertama. Tentu saja isi pamflet-pamflet itu membuat Worang marah besar. Dan sebagaimana yang terjadi saat ini dalam kasus Undap, Worang pun merekayasa sejumlah pernyataan dukungan dari berbagai pihak di daerah dan di Jakarta. Sehingga jadilah IPPMD dipaksa memasuki “perang saudara” berhadapan dengan rekan-rekan pemuda pro Worang.

Kedua mahasiswa STT ini bersama-sama dengan kelompok Arief Budiman memang sering melakukan aksi menentang pembangunan TMII, aksi anti korupsi dan sebagainya. Keduanya pernah "berkemah" di halaman Polda Metro Jaya menuntut pembebasan rekan-rekannya yang saat itu ditahan polisi. Interogasi polisi bagi keduanya bak makanan sehari-hari lantaran saking seringnya melakukan aksi unjuk rasa.

Kejadian pemukulan terhadap Max praktis telah memutus semua hubungan IPMMD dengan Worang. Sampai akhir hayatnya tak pernah lagi terbina komunikasi yang baik dengan almarhum. Boleh dikata sejak saat itu IPMMD mengambil sikap menjauh dan kurang peduli dengan masalah-masalah yang timbul di daerah. Mereka kemudian memusatkan perhatian kepada DKI Jakarta sebagai lahan tempat menimba ilmu dan perjuangan. Hubungan batin dengan daerah dipelihara melalui kegiatan-kegiatan sosial budaya yang kemudian lebih berkembang setelah dibentuknya KKK (Kerukunan Keluarga Kawanua). Dan baru setelah Willy Lasut G.A. menggantikan Worang, hubungan dengan pemerintah daerah pulih kembali.

Memang tidak semua aktifis ikut menggoyang Worang. Jan F. Mailangkay - kini Itwilprop Sulut - dan Max Ekel, kini pengusaha, terpaksa memilih nonaktif dalam organisasi. Sebab salah-salah bisa ditarik pulang. Keputusan mereka didukung rekan-rekan yang anti Worang. Sebab disini perbedaan pendapat dan hak azasi pribadi sangat dijunjung tinggi. Tidak melunturkan persahabatan, tidak ada saling caci maki, tidak ada saling menjelekkan, dan tidak ada tindakan anarki diberlakukan di antara sesama sahabat yang berbeda pendapat.

Tiga tahun setelah Insiden Teluk Betung, Theo Sambuaga dan Hariman Siregar ditangkap sebagai ekor dari Peristiwa Malari. Theo perlu lebih dari setahun meringkuk dalam rumah tahanan mahasiswa yang amat terkenal, Kampus Kuning. Untung saja dalam tahanan ia belajar bahasa Inggris secara intensif. Hal yang kemudian amat bermanfaat saat menjadi anggota dan kemudian Wakil Ketua Komisi Luar Negeri DPR RI dan anggota delegasi RI pada KTT Non Blok baru-baru ini.
Sementara itu Herman Mosal menjadi Pendeta dan kini menjadi Sekretaris Umum Badan Pekerja Sinode GMIM. Max tetap garang namun kian arif, dan secara tetap mengisi kolom-kolom artikel dan puisi-puisi di koran-koran, selain mengurusi usaha jasa konsultan keuangannya. Josi Katoppo dan Jeane menikah dan seusai bertugas di Suara Pembaruan kini menetap di Los Angeles, USA. Juju menikah dengan penyair Asbari N. Krisna, usai bertugas di Suara Pembaruan dan menjadi wanita pertama penerima penghargaan pers terkemuka – Piala Adinegoro – untuk rangkaian karya “Menelusuri Remang-Remang Jakarta”, kini menetap di Eropa.

Ketika Worang seusai menjabat gubernur untuk keduakalinya dipercaya Presiden menjabat Irjenbang di Bina Graha. Para anak muda itu ternyata tidak sampai menjadi "sampah amsyarakat". Mereka - mungkin juga - bukan emas dan pula bukan loyang. Tapi pasti bukan pula besi tua. Bahkan saat prajurit itu menutup usia, seluruh mantan aktifis itu berkumpul di rumahnya yang baru di bilangan Simprug, bak bernostalgia, datang menyampaikan penghormatan terakhir. Sebab bagaimana pun Worang tetaplah seorang besar dalan sejarahnya.

Kendati ia banyak dikritik, toh perlu diakui ia telah berbuat semampunya untuk membangun daerah. Ia memang keras, bahkan cenderung kejam, sebab pembawaan pengalamannya sebagai serdadu yang ikut berjuang mempertahankan Republik. Ia tak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan lebih suka bertutur Melayu Manado, bahkan - konon – ia melakukannya dengan bapak Presiden sekalipun. Ia didakwa anak-anak muda sebagai "gubernur jenderal", "nepotis", "arogan", kasar, tidak pernah lemah lembut bak priyayi Solo. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah salah satu waraney (
the warrior, serdadu) sejati yang pernah dimiliki Minahasa. Ia membuat Max Wilar gegar otak. Ia juga membreidel harian dan segudang tindakan nonpopuler lainnya. Tetapi satu hal, ia yang mendapat panggilan akrab Kembi dari rekan-rekan seangkatannya ini, tidak cukup mempunyai keberanian untuk melecehkan atau mempermalukan tatanan nilai moral yang menjadi tradisi budaya nenek moyangnya. Yakni setelah isterinya wafat, Hein Voctor Worang memberi patu'usan (teladan) kepada kita semua. Ayah dari Freddy, teman sebangku penulis di SMP Negeri I Cikini itu, membawa calon istrinya yang masih belia ke altar suci, Gereja Tuhan, untuk diberkati dalam nikah yang kudus.

Insiden Teluk Betung tinggal kenangan. Para pelakunya merasa saat itu adalah
the golden years (tahun-tahun emas) dalam menikmati masa muda. Tidak ada yang menyesal pernah mengalaminya. Mengapa? Karena insiden itu tidak menjadi penentu mana emas, mana loyang. Tidak melahirkan dendam kesumat, tidak mengancur luluhkan persahabatan. Dan yang paling substansial, tidak pernah menyakiti hati rakyat Sulawsi Utara.#

7. RAKYAT, WAKIL RAKYAT, SUARA RAKYAT

Oleh Willy H. Rawung
MANADO POST 21 NOVEMBER 1992

MAX WILAR berpendapat, jangan bertanya tentang sosok bupati idaman kepada anggota legislatif, sebab hal itu salah dan terbalik. Para anggota terhormat itu tidak lebih dari sekedar pembawa suara rakyat. Pemberi jawab yang absah untuk pertanyaan demikian ialah rakyat sendiri
(Rakyat dan Bupati - Manado Post 7/11/92).

Orang Inggris memang menyebut para anggota parlemen ini,
speaker. Para anggota DPRD Sulut pun jika suatu ketika diajak berdialog dengan penutur berbahasa Inggris, akan disapa Mr Speaker. Tapi jangan rancu. Mereka bukan speaker yang lazim dijual di toko elektronika. Karena perangkat tata suara untuk berhalo-halo itu nama dagangnya loudspeaker. Hanya Om Sampel yang tinggal di desa Paku Ure terbiasa menyebut kata singkatnya, spiker. Substansi antara spiker-nya Om Sampel dan speaker bermakna anggota legislatif seyogianya tiada jauh berbeda.

Speaker yang bermakna anggota DPRD ini adalah manusia sejati, dan telah mengangkat sumpah untuk tidak bersuara lain selain dari suara yang diterima dari rakyatnya. Walau ada gempa bumi, manakala rakyat mengatakan, “amin, amin”, para speaker pun akan ramai-ramai melantunkan koor : “amin, amin”. Jika seandainya rakyat bersuara, “ubi batata” umpamanya, tidak seharusnya para anggota terhormat menyanyikan lagu : “mie lao-lao”. Sebab jika hal ini sampai terjadi, maka akan berlaku peristiwa seperti runtuhnya menara Babel, kisah yang tak asing bagi para pembaca Alkitab yang rajin. Inti kisahnya, Allah mengacaubalaukan bahasa manusia sehingga proyek mercusuar para pendosa itu lalu runtuh sendiri. Bayangkan apa yang terjadi jika sang mandor meminta batu-batu dipasangkan, tapi para tukang bangunan malah membongkarnya.

Nah, bagaimana pula bila kita bertanya perihal seorang gubernur idaman. Bila menanyakan kepada para anggota legislatif tentu salah kaprah pula. Atau sopankah menanyakan kepada ibu-ibu, isteri - atau bapak-bapak para suami - dari para anggota legislatif yang tinggal di kompleks DPRD Malalayang, tempatnya gosip politik off the record beredar?

Jika hal ini dianggap kurang pas, maka tentu percuma pula menanyakan kepada KNPI, atau organisasi kemasyarakatan yang konon berjumlah 30 buah di Sulut. Dan mubazir mencari jawab dari pimpinan PPP, Golkar dan PDI. Serta sia-sia juga menanyakan hal tersebut kepada Julius Satyadarma Undap - putera almarhum pendeta Undap - yang dinobatkan Media Indonesia (14/11) sebagai “Tokoh Petisi 17” sebab menggonjang-ganjingkan kepemimpinan Sulut.

Menanyakan kepada para jurnalis di daerah - termasuk para koresponden harian Jakarta - mungkin malah akan mendapat jawab membingungkan. Setidaknya bila menggunakan tolok ukur runtunan berita satu harian pagi ibukota yang menyiarkan sosok idaman gubernur dan “petisi 17” bak siaran iklan humas Pemda.

Mencari jawab yang adil dan seimbang memang sulit. Bertanya gaya syair lagu Ebiet G Ade, ‘tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang’ malah mencerminkan sikap fatalistik yang tidak karuan. Namun memberanikan diri bertanya kepada Mendagri Rudini misalnya, paling tidak akan sama dengan Max Wilar, yang menganjurkan kita bertanya langsung kepada rakyat.
Jadi apa harus berlaku tidak waras, berjalan dari Miangas sampai Papayato menjumpai seluruh rakyat Sulut - tanpa kecuali - sekadar untuk mencari jawab yang disepakati bersama perihal sosok idaman seorang gubernur Sulut. Maka jadilah itu suatu kesia-siaan yang dileceh habis-habisan oleh para ahli ilmu ketatanegaraan dan membuat kesibukan baru bagi aparat keamanan.

Melakukannya melalui tanda tangan dukungan orang dan kelompok masyarakat rasanya ketinggalan zaman. Dalam era menyiapkan diri memasuki PJPT II saat ini, produk-produk rekayasa politik praktis demikian - habis mau disebut produk apa - dapat saja bermakna sebaliknya. “Kagak bisa dipegang”, kata pepatah Betawi. Apalagi pemerintah pun – dalam banyak kasus sejenis - tidak serta merta menerima dan mempercayai hal-hal demikian.

Di Amerika Serikat yang demokrasinya liberal, hal semacam itu akan tidak sulit. Sebab pada zaman pasca modern ini,
polling, atau pengumpulan pendapat bisa dilakukan melalui institusi-institusi, seperti perusahaan publik relasi komersial yang berbau iklan sponsor. Lembaga sedemikian pernah membuat Bush frustasi. Lantaran pengumuman hasil yang disiarkan berkala oleh CNN ke seantero belahan bumi dengan menyebut angka sekian persen, sekian persen, untuk keunggulan Bill Clinton, telah menimbulkan dampak sebaliknya. Siaran-siaran itu malah mempengaruhi pendapat umum, yang walau dilawan habis-habisan oleh Bush, hasilnya telah kita ketahui.

Pengumuman pendapat yang dilakukan dengan cara
sampling wawancara telepon, tatap muka, pengumpulan tandatangan, junk mail, dan bentuk praktis canggih lainnya, ternyata cukup benar dan akurat mencerminkan aspirasi rakyat Amerika. Maka meski petugas polling bukanlah Mr. Speaker, mereka ternyata mampu menyerap dan menyuarakan suara rakyat Uncle Sam.

Di negara kita apalagi di daerah, keahlian profesional demikian dilakukan secara sangat berbeda. Jika petugas
polling turun ke jalan, lorong dan rumah rakyat untuk bertanya-tanya langsung kepada responden. Adalah para pembawa suara rakyat kita lebih sering mengadakan rapat, lalu dari sana menjadi “pengunjuk rasa” gaya Undap, atau “pengunjuk rasa” khas 30 kelompok ormas kemasyarakatan kontra Undap. Lantaran untuk menggunakan skenario hearing atau kunjungan kerja sama halnya melanggar aturan main, dan melangkahi bidang yang hanya kompetensinya para anggota DPRD.

Para spiker nonformal ini terpaksa menggunakan cara yang sejak era Orde Lama sudah menjadi model. Membacakan pernyataan, pernyataan dan sekali lagi pernyataan. Dan jangan harap cara semacam ini melahirkan dialog,
urun rembug, atau yang sejenis. Padahal sopan santun demikian sangat diutamakan dalam tatanan demokrasi Pancasila kita. Kalau saja dialog sempat terjadi maka itu tak lebih dari letusan kata-kata yang sering dianggap belum patut didengar rakyat. Maka para “pengunjuk rasa” model inipun lalu sulit dikompetensikan sebagai wakil rakyat yang membawa suara rakyat.

Memasuki analogi-analogi demikian, di mana rakyat dan wakil rakyat menjadi tak terukur, tak terjamah, serta nyaris menjadi abstrak. Masakkan mau meniru Raja Perancis Louis XIV yang mengkonkretkannya dengan deklarasi “saya adalah negara”, lalu menyulut Revolusi Perancis. Dengan analogi yang sama kita lalu mengatakan, “saya adalah Sulut, kami adalah Sulut, atau karena saya Sulut berhasil”, dan yang sejenis dengan itu.

Maka seruan yang dilengkingkan Max Wilar, “suara rakyat adalah suara Allah”, walau cukup membangunkan bulu roma mereka yang beriman kepadaNya, mungkin adalah jawab yang pas dan aman bagi semua pihak. Maka jika ingin bertanya sosok idaman seorang gubernur. Tanyakanlah kepada Allah. Sebab jauh lebih mudah bertanya kepadaNya, ketimbang menelusuri jalan dan lorong untuk menanyai segala orang yang tinggal di Sulut. Dan jangan sekali-kali pergi kepada para alim ulama, sebab mereka pun belum tentu kredibel sebagai pembawa suara Allah. Lantaran - konon - ada juga satu dua dari mereka yang p
ang bagila.

Demikian pula, jika ingin menanyakan apakah suara
the angry young man - suara amarah – Julius Satyadarma Undap dan kawan-kawan, atau pernyataan 30 kelompok masyarakat pendukung gubernur adalah suara rakyat, tanyakanlah kepada Dia, Allah Yang Maha Kuasa. Ia pasti memberi jawab yang sungguh dan benar bagi semua pertanyaan kita. Ya Allah, tolonglah Sulawesi Utara !#

Rabu, 16 Juni 2010

6. BUDAYA MINAHASA TAK MENGENAL DIKOTOMI ABRI-SIPIL

Willy H. Rawung
MANADO POST, 13 November 1992

MENGHERANKAN. Hiruk pikuk pencalonan Bupati Minahasa masih saja selalu dimeriahkan pendapat berbagai tokoh dan kelompok masyarakat yang memberi alternatif: ABRI atau Sipil. Kendati dikotomi (pemilahan) semacam itu kerap didengungkan dalam pencalonan mulai dari bupati sampai wakil presiden, serta “ngepop” dalam diskusi-diskusi politik di forum resmi maupun di rumah-rumah kopi. Tetap saja terasa aneh jika hal itu dihubungkan dengan pencalonan Bupati Minahasa.
Bagi para praktisi politik, menggunakan dikotomi yang bersumber dari tradisi demokrasi Barat yang liberalistik itu - dalam kerangka manuver politik - sudah barang tentu adalah sah-sah saja. Namun dari segi budaya, dikotomi tersebut seperti “benda asing” yang menyumbat kerongkongan dan sukar tertelan. Mengapa ?

TATANAN NILAI KESERDADUAN

Dalam tatanan nilai budaya Minahasa tiada hal yang dapat direlevansikan dengan dikotomi ABRI-Sipil. Dari catatan sejarah lokal misalnya, dapat disimpulkan bahwa jauh sebelum lahirnya ide dwi fungsi ABRI, para leluhur telah melaksanakan “dwi fungsi
waraney”, “dwi fungsi ukung”, dan "dwi fungsi kepala walak", dalam tata kehidupan wanua, ro’ong (desa ) atau walak.

Waraney adalah orang-orang terpilih, yang menjadi serdadu sesudah terlebih dulu membuktikan kejagoan dan keahlian dalam berkelahi dan bertempur. Legitimasi dan pengangkatan dilakukan oleh
taranak - kumpulan keluarga - dari mana ia berasal. Misalnya, taranak Wilar mengakui dan melegitimasi beberapa waraney, taranak Tumbel demikian pula, taranak Runtuwarouw dan seterusnya.

Hal ini bermakna akar keserdaduan Minahasa ialah dari institusi terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga dan bukan dari Wanua, atau Walak. “Kewaraneyannya” dalam keluarga itulah yang menjadi bekal dan legitimasi untuk kelak memapak ke jenjang berikut sebagai Ukung, dan akhirnya sebagai Kepala Walak. Tatanan
tou keter, tou ente’ (orang kuat orang perkasa) menjadi acuan mutlak untuk menjadi waraney, ukung, kepala walak, telah menunjuk kepada nilai-nilai pokok keserdaduan yang tidak diwariskan berdasar garis keturunan, tapi mesti dibuktikan secara individu melalui taranak masing-masing. Dalam tatanan yang egaliter ini, anak, adik atau kemenakan seorang ukung belum tentu terpilih sebagai waraney, ukung atau kepala walak.

Sebuah wanua yang dikepalai seorang ukung bisa saja terdiri dari beberapa taranak. Sementara kepala walak mengkoordinasikan kumpulan wanua dalam satu wilayah tertentu yang berbahasa sama. Misalnya walak
Pasan, walak Sonder dan seterusnya. Dan bila kumpulan walak dan ukung dari berbagai wilayah mengadakan musyawarah adat, maka musyawarah itulah yang disebut Min’hasa oleh Residen Schierstein (1789). Sayang, pada abad XIX setelah istilah ini berkembang menjadi Minahasa, maknanya pun ikut berubah : menjadi sebutan teritorial seluruh distrik (pakasaan).

DWI FUNGSI WARANEY

Dalam keadaan perang yang mesti resmi dinyatakan dalam musyawarah dan sumpah adat, mekanisme rekrutmen waraney tidak lagi sebatas memilih para jagoan, tapi meluas menjadi wamil (wajib militer) yang diberlakukan kepada seluruh warga taranak, wanua atau walak tergantung dari derajat kerawanan dan gangguan keamanan yang menghadang. Peranan struktur organisasi kemasyarakatan tetap sama seperti pada masa damai. Pasukan bela diri - boleh disebut demikian – tetap menerapkan hirarki komando yang sama seperti pada masa damai, yakni waraney, ukung, kepala walak. Yang berubah hanya jenis tugasnya.

Seusai perang, peran sipil kembali berfungsi. Para waraney kembali mencangkul, menanam padi dan bekerja menafkahi keluarga, sebagaimana mereka yang nonwaraney, nonukung, dan nonkepala walak. Tidak berarti lantaran tidak menjadi waraney lagi, lalu
makang gaji buta. Mantan waraney tetap harus bekerja seperti biasa. Kewaraneyan (keserdaduan) hanya berlaku di masa perang. Kapan ia menjadi serdadu, bilamana menjadi sipil lagi, ditentukan bukan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh musyawarah adat.

Struktur perang dalam tatanan budaya Minahasa kuna ini adalah mekanisme alamiah, yang terorganisir dengan sendirinya untuk menghadapi segala jenis tantangan. “Well contained” dan relevan menghadapi semua tuntutan dan gerak kehidupan masyarakat. Baik semasa berlangsungnya pembangunan (menanam padi, membangun ru-mah, membangun wanua), maupun untuk menangkal ancaman perang.

Maka dalam tatanan ini jelas tidak ditemukan dikotomi antara waraney yang terpilih menjadi serdadu saat bertempur, dan mantan waraney yang bekerja sebagai rakyat biasa di masa damai. Analog dengan sem-boyan ABRI – Rakyat laksana ikan dengan air, tatanan ini memaknakan hubungan serdadu-sipil sebagai : sama-sama ikan dan sa-ma-sama air.

MENOLAK TATANAN SERDADU BAYARAN

Walhasil, kekokohan tatanan budaya ini sempat mesti dibayar mahal oleh kolonial ketika coba-coba memaksakan rekrutmen serdadu gaya Eropa dengan memperkenalkan
the mercenaries (sedadu bayaran).

Sejarawan HJ de Graaf (1949) dalam
De geschiedenis van Indonesie menulis tentang perlawanan dan reaksi keras terhadap upaya rekrutmen serdadu bayaran oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, seperti dikutip Bert Supit (makalah, Penyebab pecahnya Perang Tondano, seminar Perang Tondano, YKM, Jakarta, 1986: "Men wierdaarron op grote schaal Indo-nesiers aan, liefst uit de krijgshaftige rassen als Madurezen, Minahassersen zelfs Dayaks. Melden zinchniet voldoende vrijwilligers aan, dan een vok-sopstand leidde, trwijl de regent van Sampang, een Tjakaranigrat, er de Soeltans-titel mee won” - Maka dipanggillah orang-orang Indonesia dalam jumlah besar untuk menjadi serdadu. Paling disukai yang berasal dari suku pemberani dalam pertempuran seperti Minahasa, Madura, sampai suku Dayak. Dan bila yang melapor secara sukarela tidak memadai, maka dipergunakanlah pemak-saan. Hal mana telah mengakibatkan pem-berontakan rakyat di Manado. Sedangkan Kepala Pemerintahan Sampang, seorang Cakraningrat, telah mendapat gelar Sultan karenanya).

Selain sebagai referensi atas penolakan terhadap model keserdaduan Barat, sumber di atas menjelaskan kepada kita bahwa pihak kolonial mengakui potensi Minahasa sebagai lahan sumber daya manusia serdadu. Yang jadi soal bagi kolonial saat itu ialah bagaimana memaksa Minahasa mengubah tatanan keserdaduan dengan model Barat, dengan mencoba memperkenalkan uang sebagai ganti pengakuan waraney oleh taranak.

Contoh kasus Lontho, kiranya dapat menambah pemahaman kita bahwa mengubah tatanan yang tidak mengenal dikotomi waraney-rakyat, atau dikotomi serdadu-sipil dapat dianggap sebagai penghinaan. Ketika ide serdadu bayaran dibawa Prediger melalui utusan yang menemui Lontho, Ukung Kamasi yang masyhur itu menegaskan: “setelah aku menanyakan kepada rakyat, apakah mereka ingin menjadi serdadu Belanda dengan uang muka 15 ringgit (gulden)), mereka serentak menjawab, bahwa jika aku ingin menjadikan mereka serdadu Belanda, mereka akan membakar kampungnya dan mengeluarkan isi perutnya”.



LAHAN SUMBERDAYA SERDADU

Kolonial yang tentu memahami tatanan itu bukannya undur, malah sebaliknya lebih menggebu dan terus berupaya menjadikan Minahasa sebagai lahan sumberdaya serdadu. Belanda tergiur melihat kehandalan Minahasa dalam memerangi VOC (1661-1604), memerangi Hindia Belanda terus menerus sejak mereka melanggar Verbond 10 Januari 1679, sambil harus secara sporadis menempur perompak-perompak Mindanao, Ternate dan lain-lain yang mengganggu kawasan pantai-pantai Minahasa. Dan seperti yang sudah kita ketahui, sejarah kemudian mencatat klimaks perlawanan-perlawanan Minahasa tersebut dalam perang Tondano (1808-1809). Daftar perlawanan Minahasa yang membuat pihak kolonial menjulukinya sebagai congkak, keras kepala, alifuru,
mamu'is (pemancung kepala), dan lain-lain itu justru membuat mereka lebih yakin dan tidak sabar untuk memanfaatkan manusia-manusia serdadu itu bagi pelaksanaan ambisi kolonialnya.

Maka setelah dikalahkan dan nyaris dimusnahkan dalam “the mother of the Minahasan’s battle” di delta Minawanua, terjadilah apa yang disebut
the winner takes all (sang pemenang berhak atas segalanya). Di bawah tekanan dan paksaan terjadi anti klimaks dalam perlawanan Minahasa. Ibu-ibu meratap dan melepas keberangkatan putera-putera terkasihnya berlayar ke tanah jauh : menjadi serdadu!

Pada tahun 1850, 40 tahun setelah berakhirnya Perang Tondano, penduduk Minahasa berjumlah 99.500 jiwa
(Kroeskamp, hal 99, 119-120), seperti dikutip AB Lapian dalam makalah "Perang Tondano bagi perjuangan Kemerdekaan Bangsa"). Jumlah serdadu bayaran yang ditargetkan Prediger di tahun 1808 adalah 400 orang. Taruhlah jumlah penduduk ketika itu (1808) adalah 50.000 jiwa, maka perbandingan sudah 4 serdadu di antara 50 orang penduduk (termasuk wanita, orang lanjut usia dan anak-anak). Dengan asumsi kasar dan perbandingan kuantitif ini saja, Minahasa - dapat dinyatakan - sudah daerahnya serdadu.

Tekeng soldado (menandatangani pendaftaran sebagai serdadu) yang dilakukan karena terpaksa akhirnya bertumbuh menjadi realitas baru dalam bentuk exodus terbesar dalam sejarah Minahasa. Baik untuk menjadi serdadu, ataupun menjadi pelaut, pelajar, wiraswasta, dan seterusnya. Suatu perubahan sikap yang kemudian melahirkan kawanua disphora di berbagai penjuru Tanah Air. Dan dari diasphora inilah mata Minahasa terbuka terhadap dunia luar, terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, terbuka dan berhubungan dengan berbagai suku bangsa di Nusantara dan seterusnya.

Langkah-langkah besar ini kemudian melahirkan akses-akses politik, militer, sosial budaya dengan daerah-daerah lain di seluruh Nusantara yang sama-sama menderita di bawah cengkeraman penjajah. Akses yang akhirnya menghantar serdadu-serdadu dari Minahasa memasuki paruh abad XX sebagai pejuang-pejuang yang ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajahan Belanda, Jepang dan Sekutu.

Maka sejarah pun mencatat kembali peran manusia-manusia serdadu dari Minahasa. Dari mantan KNIL, muncul sosok Kolonel Alexander Evert Kawilarang. Walau keserdaduannya pernah dianggap kontroversial, ia tetap menjadi panutan. Sosok luar biasa ini oleh Letjen (Pur) Raden Hidajat dari Siliwangi dikomentari, “Lex (Alex, pen),
is good soldier”. Komentar Hidajat diberikan saat mendengar Kawilarang menerima Bintang Gerilya dari pemerintah baru-baru ini. Hidajat semasa berpangkat Kolonel mewakili pemerintah saat menerima “kembalinya” Kawilarang selepas pergolakan Permesta. Sementara dalam sejarah ABRI, ahli perang tersebut ikut hijrah ke Jawa Tengah dengan 4500 pasukan se-masa berkecamuk perang mempertahankan kemerdekaan, Panglima Divisi Siliwangi ke-V ini pernah menjadi Panglima Teritorium Sumatera Utara dan Indonesia Timur, yang pada 27 Desember 1949 menerima penyerahan kekuasaan atas Sumatera Utara dari Generall Majoor P. Scholten.
Tahun 1946 Mayor Daan Mogot, serdadu belia, yang kepahlawanannya diabadikan dalam Monumen Pertempuran (desa) Lengkong di Tangerang juga diberi kehormatan warga Jakarta dan Jawa Barat. Namanya ditahbiskan sebagai nama jalan raya yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Kotif Tangerang. Kemudian di tahun 1965, Kapten Pierre Tendean, satu-satunya serdadu yang dibenamkan hidup-hidup ke dalam sumur "lobang buaya" oleh Gestapu/PKI hanya karena berani mengakui : “saya Nasution”. Namanya pun terpampang megah pada nama jalan raya prestisius di kawasan yang dikenal sebagai segitiga emas Jakarta.
Lalu, “the mother of the Indonesian’s battles”, pertempuran 10 November 1945 yang menewaskan serdadu Inggris, Brigadir Mallaby di Surabaya. Di antara arek-arek Suroboyo, tidak sedikit
utu, alo, tole dan keke yang ikut bertempur. Belum lagi Wolter Mongisidi alias Bote, pemuda yang berjiwa serdadu. Pahlawan belia, si Koko ne Bantik ini bahkan lebih dihormati di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara ketimbang di Minahasa.

Praktis, hampir seluruh operasi militer yang dilakukan selama negara kita berdiri diikuti oleh satu atau dua serdadu dari tanah Lumimuut-Toar. Semua mereka adalah monumen-monumen hidup dari air mata kesukacitaan ibu-ibu Minahasa yang dengan setianya tetap melahirkan waraney-waraney baru yang “well contained” dengan nilai-nilai keserdaduan leluhur bagi Ibu Per-tiwi.

Tak syak lagi lembar-lembar tulisan ini tidak akan cukup menampung daftar serdadu - dikenal atau tidak dikenal - dari tanah Lumimuut-Toar yang telah mendarmabaktikan jiwanya bagi bangsa dan negara. Hanya Taman Pahlawan dan Taman Bahagia yang berserakan di seluruh Tanah Air menjadi salah satu saksi kehadiran para kusuma bangsa dari Minahasa itu dalam usaha bela negara. Sementara sapaan akrab kepada mereka yang masih hidup dan kini kembali ke desa kelahirannya akan terdengar,
“Tete (kakek) Kopral, Tete Sersan, Tete Mayor”, dan seterusnya. Kendati telah pensiun dan sepuh, kebanggaan pernah menjadi serdadu tidak tergerus, apalagi masyarakat - sebab tatanan budayanya - memang memberi penghormatan tulus dengan mengabadikan pangkat keserdaduannya dalam nama panggilan sehari-hari.

“SIPIL YANG SERDADU DAN SER-DADU YANG SIPIL”

Dalam tatanan nilai kewaraneyan, persoalan mendasar bagi Minahasa ialah bukan pada apakah sosok idaman yang terpilih sebagai Bupati mesti seorang ABRI atau nonABRI. Seorang serdadu atau seorang sipil. Seorang waraney atau seorang nonwaraney. Apalagi pemilihan itu dikaitkan kepada seolah-olah daerah ini ”memiliki kerawanan sosial tertentu”, atau alasan daerah perbatasan dan alasan lain sejenisnya yang dibuat-buat. Terus terang dari segi budaya, argumen-argumen tersebut lebih tampak sebagai
mop politik yang nyanda garap (lelucon politik yang tidak lucu). Sebab sebagai kabupaten “serdadu”, adalah lebih baik menggunakan tolok ukur nilai-nilai luhur keserdaduan ketimbang ramai-ramai mempermasalahkan dikotomi ABRI-Sipil. Lantaran dengan itu kita boleh tacolo pada ukuran artifisial, instan, yang bisa-bisa salah kaprah, lalu rakyat juga yang menanggung akibatnya.

Mestinya pola pikir kita demikian. Jika yang terpilih dari jajaran ABRI, ia mesti ABRI
beneran seperti disiratkan Sebelas Azas Kepemimpinan ABRI, Jiwa Kejuangan, Prajurit Profesional, Sapta Marga, dan seterus-nya. Sebab tidak sedikit yang pangkat dan seragamnya ABRI tetapi lepe-lepe, keso (loyo, sakit-sakitan). Dan tidak mustahak, ada pula yang kriminal - atau pang bagila – yang biasa dibahaskan sebagai “oknum”. Juga ada yang sukses semasa aktif di jajaran ABRI, tetapi melempem setelah di jajaran kepamongan. Sebab tidak selalu kesuksesan bersifat mutlak, kontinu dan otomatis bak komputer. Jika yang bersangkutan pindah tempat, pindah jabatan, ganti seragam, ganti anak buah, dan melepas senjata, boleh jadi yang terjadi adalah ketidaksuksesan.

Sementara bila dari sipil yang terpilih, ia mesti memilliki tatanan keserdaduan dalam dirinya. Minimal ia adalah pula seorang waraney, tegar perkasa, gagah, pemberani, rela berkorban, berdisiplin tinggi,
maar jangang komang congkak deng kepala batu. Ia pun perlu ekstra hati-hati, sebab jika terjebak menjadi kriminal-koruptor atau pang bagila misalnya, ia tidak akan pernah disebut “oknum sipil”. Maka kalau sudah berasal dari sipil kong lei lepe-lepe, bisa-bisa repot nantinya.

Di sinilah pokok soal. Yang dipilih adalah seorang idaman yang dalam dirinya mengandung sarat nilai. Kita tidak memilih jajaran, korps atau yang sejenisnya. Sebab itu, apalah guna memilah-milah atau mendikotomikan ABRI-Sipil. #

5. SOSOK IDAMAN BUPATI MINAHASA 1993-1998

Willy H. Rawung
MANADO POST 22, 23, 24 Oktober 1992

AKHIR tahun ini rakyat di Kabupaten Minahasa akan memilih Bupati/Kepala Daerah baru - tentu saja – melalui wakil-wakil di DPRD. Kepala Daerah adalah pilihan rakyat. Tetapi lantaran sosok ini juga menyandang jabatan Bupati, ia sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Sebab itu jika kebijakan Mendagri Rudini dilaksanakan konsisten, bahwa jabatan sejenis ini cukup satu periode saja. Niscaya tahun depan, rumah dinas besar di Sasaran, Tondano, akan berpenghuni baru. Dan bila tidak ada aral melintang akan menetap di sana sampai tahun 1998. Dua tahun sebelum usainya abad ke-XX.

Lepas dari berhasilnya Bupati yang lama, ide satu periode saja adalah masuk akal. Karena berarti mekanisme kaderisasi kepemimpinan di daerah tidak berhenti. Sementara jika dua perioede, perlu menunggu lima tahun lagi yang untuk realitas masa kini sungguh masa penungguan yang terlampau lama. Padahal, sebagai akibat logis berhasilnya pembangunan sumber daya manusia dalam beberapa Pelita, telah muncul banyak sosok yang pas dan layak untuk jabatan itu, baik dari kalangan ABRI atau terutama dari kalangan sipil. Sehingga rekrutmen untuk derajat jabatan demikian bukanlah hal sulit. Bahkan kalau saja ingin menoleh ke arah sejarah, sudah sejak masa sulit di awal-awal revolusi kemerdekaan pun daerah ini tidak pernah mengalami “paceklik calon”. Apatah lagi pada masa sekarang.

REKRUTMEN POLITIK

Dengan kian tersedianya banyak calon, tiba saatnya elite politik dan birokrasi daerah mengambil manfaat semaksimal mungkin. Sedemikian rupa, hingga sosok yang terpilih, hanya yang benar-benar terbaik. Caranya ialah, dengan melakukan mekanisme rekrutmen secara terbuka dan terus terang. Dimana seluruh aspirasi masyarakat terakomodasi. Dengannya, pencalonan tidak lagi rekrutmen birokrasi semata. Tetapi rekrutmen politis, di mana aspirasi rakyat memperoleh tempat terhormat. Sekaligus mencegah kehadiran tiba-tiba seorang calon
droping, yang walau sudah dianggap foso di negara kita, mungkin saja terjadi.

Dalam iklim keterbukaan, pencalonan tidak lagi menjadi rekrutmen birokrasi semata. Tetapi rekrutmen politis, dimana aspirasi rakyat memperoleh tempat terhormat. Sebab jika hanya menggunakan ukuran birokrasi, sosok-sosok calon yang berkualitas dan diterima secara politis oleh rakyat, akan tersingkir. Lalu terganti dengan sosok yang memiliki akses “khusus” dengan birokrasi. Seperti misalnya teman seangkatan, keluarga, kemenakan, atau hal-hal yang tidak rasional. Kekuatiran ini cukup berdasar, sebab contoh rekrutmen birokrasi untuk anggota MPR, telah berakibat masuknya banyak kalangan pejabat, istri, anak pejabat, dan lain-lain, yang belum tentu selaras dengan aspirasi rakyat
(Amir Santoso, Dosen FISIP UI, Tempo 3/10).

SOSOK ANTISIPATIF

Untuk menghindari berlaku mutlaknya rekrutmen birokrasi, sosok Bupati harus ditaruh dalam konteks acuan bangsa, PJPT-II. Ini perlu ditegaskan. Sebab dengannya, ia disyaratkan menjadi sosok antisipatif yang mengacu ke masa depan. Sementara jika tetap mengacu ke masa lampau, betapa luar biasanya pun hasil yang telah dicapai tetap saja ketertinggalan dari kabupaten-kabupaten termaju di Indonesia akan terus membayangi bumi Lumimuut-Toar.

SOSOK CENDEKIA

Dengan acuan antisipatif tersebut, sosok idaman mestilah tipikal pemimpin masa depan. Sarat idea dan inovasi masa depan. Berotak cerdas, berkeahlian manajerial, tangkas menangkap peluang serta mampu memacu pertumbuhan ekonomi rakyat. Tidak hanya terlatih menyoal setiap masalah dari segi keamanan
(security approach) - cara yang sudah bukan zamannya - tetapi telah belajar mendekati soal-soal dari segi kesejahteraan rakyat (prosperity approach). Dan hal itu tidak sekedar diungkapkan secara cendekia dalam konsep dan program-program. Namun - terutama - dalam penampilan (performance) kepada rakyat. Seperti halnya calon ABRI untuk Wakil Presiden mendatang yang digambarkan Kasospol ABRI Letjen Harsudiono Hartas sebagai, “tidak seram dan suka senyum”.

SOSOK BUDAYA

Seorang pemimpin masa depan tidak cukup sekadar antisipatif. Ia mesti pula sosok budaya. Sebab bila “roh” antisipasi berada pada diri sang sosok, itu adalah “roh” budaya di hati rakyat. Maka adalah bijak bila sang pemimpin “merasuki" dirinya dengan "roh budaya" itu. Agar ia tidak menjadi asing di tengah rakyat yang dipimpin. Dalam “roh”nya budaya, sosok Bupati Minahasa adalah
"sang makatana". Dengan demikian siapapun cucu Lumimuut-Toar yang kelak terpilih, ia mesti telah memiliki kelengkapan budaya etnik secukupnya. Misalnya, ia mesti mampu bertutur dengan salah satu bahasa Minahasa : Tountemboan, Ponosokan, Bantik, Tolour, Tounsea atau lainnya. Selain harus bisa ba Malayu Manado, bahasa pergaulan khas Sulawesi Utara.
Kendati – mungkin - ia Kawanua
kaart, yang dilahirkan, bersekolah, dan berkarir di rantau. Lalu lancar pula bertutut bahasa Sunda, Jawa, Dayak, Betawi, dan lain-lain. Ia toh tetap diharuskan hidup dalam “roh” bahasa leluhur. Jangan seperti cirita mop, sudah hampir sekian tahun tinggal di daerah maar ba logat trus. Sehingga jadilah ia sasaran lelucon masyarakat. (Soal rendahnya apresiasi sebagian cendekiawan dan perantau terhadap bahasa etnik leluhur adalah akibat “dosa budaya” Belanda penjajah juga. Yang terlambat disadari hingga akhirnya menjadi “dosa berkelanjutan”. Adalah Residen Prediger, otak pembantai dalam Perang Tondano (1808-1809) dan bule-bule saat itu yang punya kebiasaan menyebut para penutur bahasa Minahasa sebagai “De Bovenlander” - orang-orang gunung. Pelecehan ini diteruskan pribumi Minahasa sendiri - pridger-pridger cangkokan - yang merasa berbahasa etnik adalah sesuatu yang lucu, terhina, biongo, terkebelakang, atau buta huruf. Sehingga, demi gengsi dan terlihat sebagai sumicola (terdidik), lebih memilih bercas-cis-cus bahasa Walanda).

Nah, dengan membiasakan diri berbahasa etnik, sang sosok baru diharap akan memberi kontribusi positif dalam merubah orientasi nilai
prediger-prediger kecil yang masih cukup banyak di tanah Minahasa. Sudah tentu kefasihan bertutur bahasa Indonesia yang baik dan benar dari sang sosok, mesti terpuji. Tetapi seperti dimaklumi, bahasa nasional kita itu belum mampu mengungkapkan totalitas rasa hati dan jiwa seluruh etnik di seantero Tanah Air. Mungkin karena masih kurangnya khasanah kata-kata, maka kemampuan bertutur bahasa Indonesia yang baik dan benar pun belum memadai, bahkan pun pada tingkat para cendekiawan, seperti diamati pakar bahasa Indonesia Anton Moeliono (Kelemahan itu mencerminkan betapa penting penguasaan bahasa etnik, disamping perlu terus meningkatkan kualitas bertutur bahasa Indonesia (Peneliti LIPI, EKM Masinambow dalam Struktur Bahasa Sebagai Cermin Pandang Hidup (1978) menulis bahwa bahasa etnik adalah pengungkapan kebudayaan etnik. Hal yang diartikan DR Wiesye HCM Lalamentik dalam makalah "Minahasa, Suatu Tinjauan Dari Segi Linguistik" (Seminar Si Tou Timou Tou, KKK Jakarta, 1991), sebagai “mengungkapkan pandangan dan nilai-nilai masyarakat etnik. Tidak mengenal/menguasai bahasa itu dapat berarti hilangnya pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan yang bersangkutan, yang mungkin saja sangat bermanfaat da-lam mengarungi kehidupan dewasa ini”)

Disini maknanya kian jelas. Penguasaan bahasa etnik oleh Bupati niscaya akan lebih mendekatkannya pada nilai-nilai yang hidup di hati sanubari rakyat. Hal yang sama terlihat dari keteladanan bapak Presiden. Yang sesekali menyelipkan tegur sapa kata etnik saat berdialog dengan rakyat demi mencairkan kekakuan protokoler agar tercipta hubungan antara manusia yang hangat, menyentuh dan manusiawi. Gaya komunikasi demikian sebenarnya tidak hanya bermakna budaya, tetapi mencerminkan profesionalitas dalam menciptakan komunikasi yang efektif antara yang dipimpin dan yang memimpin. Analoginya terlihat pula pada apa yang dilakukan KKK saat mematok persyaratan utama menguasai bahasa Minahasa bagi seluruh direktur, staf dan karyawan Bank Perkreditan Rakyak (BPR) yang mulai beroperasi November mendatang. Maknanya sama, yaitu agar tercipta komunikasi hangat, akrab dan efektif antara bank dengan nasabah yang memang disasar berasal dari golongan bawah. Selain – tentu - sebagai apresiasi konkrit terhadap bahasa leluhur.
Dapat dibayangkan jika birokrasi bank-bank yang beroperasi sebatas tingkat kecamatan tersebut - sambil berdasi – ber-
cus-ces-cos bahasa Inggris, atau ba logat trus. Bisa-bisa si Tole dan si Unggu dari Tiniawangko jadi terlongo-longong dan akhirnya menjauhkan diri. Karena ia pikir, jangan-jangan ia sedang berhadapan dengan suruhan boss-boss yang siap menerkam tanah atau cengkehnya dengan bon atau cek mundur.

Selanjutnya mesti menerima kenyataan bahwa menjadi Bupati Minahasa berarti sekaligus memangku jabatan adat yang setelah di-Indonesia-kan disebut Ketua Majelis Kebudayaan Minahasa. Konsekwensinya, ia tidak hanya menjadi pamong sebatas kabupaten Minahasa, tetapi juga diterima dan diakui sebagai “pemimpin” Kawanua di perantauan. Jabatan itu menempatkannya bak kepala
Walak-Walak, atau kepala Pakasaan-Pakasaan. Suatu legitimasi yang kini tercipta sebagai akibat makin kuatya apresiasi terhadap budaya leluhur serta kian concernnya para perantau Minahasa akan pembangunan kampung halaman. Suatu fenomena “gerakan kebudayaan” - katakanlah begitu - yang secara konsisten terus digiatkan oleh organisasi-organisasi seperti KKK Jakarta, Surabaya, dan seterusnya (Bahkan kini KKK Jakarta misalnya mulai mengembangkan landasan-landasan esensial, pemikiran-pemikiran falsafati, etos-etos baru, dan lain-lain yang digali dari khasanah budaya Minahasa. Lalu dari sana dikembangkan program-program praktis yang berakses pada pembangunan ekonomi dan kebudayaan. Seperti terlihat pada didirikannya beberapa BPR di akhir tahun 1992 ini, sumbangan ratusan juta rupiah untuk pembangunan stadion Tondano, serta kontribusi-kontribusi lain pada tahun-tahun sebelumnya. Pengorganisasiannya pun semakin profesional. KK Jakarta misalnya, dengan lebih dari 200 anggota perkumpulan (Ro’ong, Taranak, Wilayah, Pemuda, Profesi, Kebudayaan, dll), nyaris menjangkau segenap lapisan masyarakat Kawanua di Jakarta, Bekasi dan Tangerang).
Sehingga memanfaatkan potensi-potensi itu bagi mempercepat dan mendinamisasikan pembangunan di daerah, adalah pilihan yang arif. Dan hal ini seyogianya tidak sulit dilakukan, jika sosok baru Bupati pandai-pandai menggunakan komunikasi budaya yang pasti mempertautkan hati dan jiwa Kawanua perantau untuk
iko ambe bageang membangun kampung halaman. Tentu saja, jangan mengharap intensitas dan volume partisipasi ini sebesar taipan Liem Sioe Liong yang menginvestasikan bermilyar-milyar rupiah di kampung kelahirannya, provinsi Fuchien RR China. Namun segi terpenting ialah bahwa berseminya “renaissance” budaya Minahasa di perantauan diberi peluang secukupnya untuk berwujud dalam pembangunan kampung halaman.

SOSOK MORAL

Pastor Dr Alex Paat, pr dalam makalah "Manusia Minahasa, Falsafah dan Pandangan Hidupnya" dalam Seminar
Si Tou Timou Tumou Tou, KKK Jakarta (1991) menulis bahwa manusia Minahasa adalah orang Asia karena kelahiran dan latar belakang geografis, tetapi menjadi dewasa dalam suatu matrix Barat. Namun ia tetap memberi penghormatan luar biasa terhadap kebajikan untuk menjauhkan diri dari dosa atau kejahatan yang tidak pantas. Maka jelas dan tak dapat ditawar, moral sosok baru Bupati haruslah baik dan menjadi patu’usan (teladan) bagi rakyat. Mencoba bermain meleceh moral kesusilaan pasti akan membangkitkan prahara. Karena soal yang juga religius itu bukan hanya monopoli rakyat Aceh Tengah, yang Bupatinya terpaksa dicopot Mendagri Rudini (MI 14/10).
Seperti diketahui, Bupati tersebut dicopot setelah Mendagri menerima laporan Tim Irjen Depdagri yang ditugaskan ke Takengon, Aceh Tengah, beberapa waktu lalu. Agaknya Tim tersebut telah menemukan bukti-bukti keterlibatan Kolonel T.M. Joeoef Zainoel dalam pelanggaran kesusilaan, sehingga mantan Wakil Ketua DPRD tersebut dinyatakan “cacat fungsional”. Pejabat yang mabuk kepayang itu dikabarkan berbuat serong dengan istri mantan Wakapolres setempat. Sampai-sampai Mendagri berkomentar, “saya saja sewaktu komandan peleton, tidak pernah rumah saya dilempari batu oleh anak buah saya. Kok ini ada Bupati dilempari".

Minahasa pun tiada berbeda. Di desa Paku Ure, misalnya, pernah hidup tradisi untuk mencari siapa warga desa yang berani-berani berbuat dosa asmara, jika tiba-tiba terjadi bencana alam, bencana penyakit aneh atau kelangkaan lain yang membingungkan dan meresahkan warga desa. Bencana-bencana tersebut sering diasosiasikan sebagai 'Tuhan sedang murka' akibat ada warga yang telah "mengotori" desa. Maka jika ketahuan, para pendosa akan digiring ke luar kampung lalu dipesan baik-baik untuk tidak kembali lagi. Dapat dibayangkan bahwa hukum
bekeng malu ini akan terus diingat warga desa dan anak keturunan. Barangkali tradisi ini diberlakukan oleh para leluhur sebagai ungkapan terima kasih atas karunia Tuhan yang telah memenuhi tanah Minahasa dengan wanita-wanita idaman. Maka kendati skandal seperti ini belum pernah terjadi dalam sejarah perbupatian di Minahasa, ada baiknya tetap diingat bahwa siapapun sosok baru kelak, ia mestilah sosok moral yang kuat. Untuk itu teguh-teguhkanlah iman dengan banyak berdoa.

MEMAHAMI ORIENTASI NILAI

PJPT-II akan memberi tekanan khusus kepada pembangunan sumber daya manusia. Maka memahami orientasi nilai manusia Minahasa mesti benar-benat dimantapkan. Jangan terperangkap pada pengertian semu atau serba tanggung karena dapat berakibat timbulnya frustasi. Para mantan Bupati mungkin akan memberikan nasehat yang sama. Sebab itu analisis Pastor Paat tentang deskripsi orientasi nilai Manusia Minahasa – kendati belum akurat benar - bolehlah disimak untuk menjadi patokan bagi sosok baru kita. Siapa tahu, deskripsi itu bukan hal baru baginya, karena toh sang sosok adalah manusia Minahasa.

Pastor yang
Summa Cum Laude Universitas Salesian Roma, sebelum membuat deskripsi lebih dahulu membelah manusia Minahasa dalam akar, hati dan pikirannya. Ditulisnya, “Akar manusia Minahasa adalah Melayu dan Cina. Watak Melayu menjadi komponen utama kebudayaannya. Memahami orang Melayu berarti memahami orang Minahasa. Melayu sendiri adalah sintesa pencangkokan dari India dan terutama Cina pada masa dinasti Chou. Orang Melayu penuh kepercayaan seperti anak-anak, sikap tolerannya alamiah, sabar dan baik hati. Situasinya yang sering bangkrut disebabkan oleh kemurahan hati yang berlebihan. Ia enggan memaksakan pendapat, tetapi berani menentang pendapat yang sembrono. Tentu saja ia mesti fasih berbicara. Kecepatannya menyesuaikan diri dengan suatu situasi baru adalah unsur paling kuat. Kelenturan ini sudah diperlihatkan selama ratusan tahun dari sejarahnya : migrasi yang alami, kolonialisasi yang menyakitkan, cuaca yang panas, dan lain-lain. Ia senantiasa menginginkan untuk menerima konsep baru atau datangnya seorang pemimpin baru. Walau kekristenan mendorongnya menjadi saleh tetapi apa yang berarti bagi dirinya adalah menjadi baik, serasi dan menyenangkan. Keterusterangan adalah bagian dari kesopansantunan dan ketepatan waktu ialah tanda kekerasan. Suatu kesesuaian alamiah dengan kepribadian improvisasi yang khas Melayu. Sebagai anak alam yang memiliki persediaan melimpah, cintanya akan pesta-pesta berlebihan. Program sosial dan prasarana menjadi tugas sulit, sementara pengangguran bukan sebuah masalah sosial, karena kebanyakan orang menganggur karena pilihan. Maka manusia Minahasa sudah dikondisikan berpikir ‘sempit’. Yang tetap dalam dunianya yang berubah-ubah itu ialah pertalian keluarga, upacara dan pemujaannya. Keluarga menjadi sistem keamanan yang terbaik baginya. Komponen kedua dari akar manusia Minahasa adalah Cina. Para pendatang Cina mulai mendarat di Minahasa pada akhir dinasti Tang (618-907 AD) memperkenalkan pembangunan pertanian, peralatan rumah tangga, metode pertanian, pemasaran dan lingkungan pergaulan domestik. Mungkin sekitar sepeluh persen gen manusia Minahasa mengandung gen Cina. Filsafat Confusius menanamkan banyak nilai seperti piety filial (kesalehan anak), dimana ajaran sebagai “mahluk sosial” sudah dibawa dalam kehidupan manusia Minahasa. Baginya pengembangan diri melalui kebajikan, harga diri dan kebebasan, jelas tampak dalam kerinduannya yang besar akan pendidikan. Hatinya adalah kristen Spanyol. Kekristenan dan organisasi sosial Barat yang mengarah kepada kesatuan dan institusi yang disebut bangsa adalah sumbernya Spanyol bagi Minahasa. Agamanya didasarkan pada kristianitas rakyat bercampur takhayul dan penyembahan praSpanyol. Sumbangan lain ialah hukum Spanyol dan kebudayaan Yunani-Romawi. Banyak nilai yang ditetapkan atau menjadi standard sosial kehidupan aslinya berasal dari Spanyol. Kecantikan, kegagahan, jelas konsep berciri Spanyol. Keturunan bangsawan, perhatian pada penampilan, reputasi, previlege serta status, kemewahan dan keanggunan, semuanya berasal dari Spanyol. Pikirannya adalah Belanda. Pikiran pragmatis yang berpengaruh pada dikem-bangkannya sistem pemikiran dimana persoalan pokok ialah mengenai barang, kuantitas dan prestasi. Bukan ‘apa yang dirasakan orang lain’ seperti lazimnya orang Timur, juga bukan ‘siapakah dia’ seperti lazimnya orang Spanyol. Tetapi ‘apa yang dapat dikerjakan’ adalah unsur pokok yang terpenting. Unsur Belanda lainnya ialah etik Protestan tentang rasionalitas, perdebatan, pikiran bebas dan komunikasi langsung.”

Dari hasil “membedah” akar, hati dan pikiran manusia Minahasa tersebut, sang Pastor yang anggota International Association of Moral Education (AME) itu menyimpulkan bahwa "manusia Minahasa adalah warisan kemanusiaan multi rasial. Ia adalah monumen orang-orang Melayu, Spanyol, Amerika, Cina, Jepang, Hindu dan Belanda. Sebab itu ia menderita krisis nilai. Ambivalen dalam keyakinan-keyakinannya dan selalu meragukan kompetensinya. Orientasinya lebih mengarah ke luar dari pada ke dalam. Lebih menyukai modal asing dalam menyusun cara berpikir, gaya manajemen, proses membuat keputusan dan memecahkan masalah, sekedar memantapkan kepercayaan dan membenarkan kompetensinya. Orientasi jenis ini mengindikasikan suatu kompleks inferioritas ke dalam. Perasaan inferior yang timbul karena tekanan-tekanan sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, psikologi yang berbeda-beda selama beradab-abad. Ia dianggap malas dan malu-malu, tetapi sudah sungguh konsisten menghendaki, siap dan mampu bersaing. Tetapi ia juga menjadi pemboros dan dapat menjadi buta huruf jika datang dari keluarga pedesaan yang miskin. Namun dapat menjadi sarjana bila datang dari keluarga menengah yang dekat dengan urat nadi pendidikan. Ia dapat menjadi bapak melarat terkurung bersama keluarga dalam gubuk, atau seorang aristokrat makmur dan berkuasa yang hidup dalam rumah istana. Dan sekarang - diakhir abad ke XX - manusia Minahasa berada di persimpangan jalan. Ia mencoba mendefinisikan kembali identitasnya. Setelah tango Spanyol dan dansa Belanda, ia mencoba mengintegrasikan kebudayaannya yang asli dengan warisan kebudayaan Spayol dan Belandanya.

“Pisau bedah” sang Pastor memang tajam “mengerat ulu hati”. Menjadi sejenis otokritik manusia Minahasa terhadap dirinya sendiri. Maksudnya tentu baik, yaitu agar setelah ranting-ranting lapuk terkerat tuntas akan tumbuh mekar dan subur tunas-tunas kemanusiaan yang baik dan sehat. Sebagai bekal dalam kesatuannya sebagai bangsa Indonesia.

Itulah sebabnya Bupati Minahasa mesti sadar bahwa pada masa kini telah makin muncul kesadaran baru dari masyarakat sendiri untuk lebih menyempurnakan nilai-nilai hidup dan jatidirinya. Supaya tetap relevan dengan pembangunan manusia di daerah-daerah lain di Tanah Air dalam kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Kesadaran memahami “apa dan siapa manusia” Minahasa, pada hakikatnya akan menjadi kata kunci keberhasilan dari siapapun sosok yang kelak terpilih.

Akhirnya, karena esei ini memang tidak dikompetensikan untuk menyoal persyaratan dan rekrutmen administratif atau perundang-undangan, yang memang menjadi wewenangnya birokrasi. Maka yang tertinggal hanya harapan. Semoga birokrasi dan elite politik daerah tidak hanya melihat yang dekat di mata. Tetapi mau berlelah dan bekerja keras merekrut yang terbaik. Karena – sekali lagi – kini telah banyak sosok idaman tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Siap bertugas demi kemajuan kampung halamannya, demi kemajuan bangsanya. #